Peristiwa Malari 1974 Jadi Medan 'Perang' Dua Jenderal
Kerusuhan Malari (Foto: commons.wikimedia.org. File:MalariRiotsJakarta1)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, 46 tahun lalu, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta turun ke jalan memprotes kebijakan ekonomi Pemerintahan Soeharto yang dianggap terlalu getol kepada investasi asing. 

Gerakan mahasiswa itu, belakangan, disinyalir ditunggangi para elite pemerintah. Selanjutnya, ini menjadi medan perseteruan antara Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro dan Asisten Pribadi Soeharto Ali Moertopo.

Aksi yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) ini dilakukan bertepatan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka yang mau bertemu Presiden Soeharto. Peristiwa ini juga jadi aksi protes terbesar pertama saat Soeharto memimpin. Aksi ini sekaligus mencoreng muka pemerintah di depan muka tamunya sendiri. 

Seperti ditulis Widiarsi Agustina dalam Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama Dalam Sejarah Orde Baru (2014), demonstrasi berawal dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia yang dipimpin Hariman Sirega turun ke jalan. Mahasiswa awalnya mengarah ke Bandara Halim Perdanakusuma, tempat Tanaka mendarat. 

Pada saat yang sama, kelompok lain yang disebut Soemitro sebagai massa Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI), tukang-tukang becak, dan preman-preman Kramat atas suruhan pimpinan Ali Moertopo justru bergerak ke arah Pasar Senen. "Huru-hara meledak di sini," tulis Agustina. 

Kerusuhan kemudian melebar ke sejumlah tempat, seperti jalan Juanda, jalan Gajah Mada, jalan Hayam Wuruk, dan ke kawasan Kota. Aksi yang mulanya damai ini berujung rusuh. Gedung-gedung dan kendaraan bermotor khususnya yang 'dibawa' dari Jepang diamuk massa.

Kerusuhan membuat kebakaran di sejumlah titik. Api berkobar sejak siang hingga tengah malam. Kerusuhan ini membakar 144 gedung, 807 mobil, dan 187 sepeda motor. Sementara, sebelas orang tewas, 17 luka berat, dan 120 orang terluka ringan.  

Dipicu investasi asing

Seperti diwartakan kompas.com, pada awal pemerintahannya, Soeharto berusaha melakukan pembangunan dalam berbagai aspek, salah satunya adalah melunasi utang warisan Orde Lama. 

Salah satu kebijakan Soeharto untuk melunasi utang tersebut yakni dengan memasukkan investasi dari negara lain. Saat itu Amerika Serikat menjadi mitra yang besar bagi Indonesia utamanya di bidang energi dan tambang. Namun, dominasi Jepang di Asia khususnya Indonesia saat itu lebih terlihat nyata.  

Berbagai macam produk mulai dari alat transportasi, elektronik dan barang-barang konsumen terlihat dibanjiri produk negeri sakura. Ini lah yang kemudian memicu meletusnya peristiwa Malari 1974. 

Perseteruan dua jenderal

Seperti ditulis Asvi Warman Adam dalam bukunya Menguak Misteri Sejarah (2010), peristiwa Malari digambarkan sebagai klimaks dari aksi mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Dalam catatan Jenderal Yoga Sugomo --yang kemudian menggantikan posisi Sutopo Juwono menjadi Kepala BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara)-- kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi, akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. 

Diskusi-diskusi tersebut mulanya digelar di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo dan T.B. Simatupang. 

Lalu disusul dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan "Petisi 24 Oktober". Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaks saat kedatangan PM Jepang Tanaka yang kemudian berujung peristiwa Malari tersebut. 

Dengan mengutip beberapa sumber buku, Asvi menjelaskan, terlihat ada kecenderungan Soemitro menyalahkan Ali Moertopo sebagai penyebab munculnya gerakan mahasiswa tersebut. Kemudian Ali Moertopo disebut "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). 

Masih menurut Asvi, lewat organisasi tersebut, dilakukan pengerahan massa  oleh Ramadi dan Kiai Nur dari Banten yang terlibat dalam kasus Malari. Selain itu ada juga Bambang Trisulo yang disebut-sebut mengeluarkan Rp30 juta untuk membayar preman. Mereka dibayar antara lain untuk melakukan perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola. Hal itu dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro dan Soetopo Juwono, saat masih menjadi kepala BAKIN.

Sementara itu sebaliknya, dalam dokumen Ramadi --kawan dekat Ali Moertopo-- diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. 

"Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh", tulis Ramadi. Ramadi dikenal dekat dengan Ali Moertopo, tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro. 

Perseteruan antara kedua jenderal tersebut, seperti dijelaskan historia.id, sudah bergulir sejak tahun 1971. Dalam pandangan Soemitro, Ali berambisi menjadi Kepala BAKIN. Namun Soemitro tak pernah setuju. 

Dia lantas menyarankan agar Ali mengisi posisi menteri penerangan. Soeharto setuju, namun Ali menolak. Setelah itu Soemitro pernah memperingatkan Ali yang menurut rumor ingin menggantikan Soeharto sebagai presiden. 

“Jangan kamu mengadakan machtosvorming (pembentukan kekuatan) dengan tujuan untuk menjatuhkan dia (Soeharto). Kalau itu yang kamu lakukan, kamu akan berhadapan dengan saya,” demikian ultimatum Soemitro kepada Ali seperti dikutip historia.id

Sementara di sisi Ali, Soemitro dinilai kerap bertindak arogan melampaui kewenangannya sebagai Pangkopkamtib. Seomitro layaknya perdana menteri atau orang kedua yang menjalankan roda pemerintahan. Ia sering memanggil menteri-menteri ke kantor Kopkamtib dan rapat di sana. Selain itu Soemitro atas nama Soeharto juga pernah memarahi Ali perihal pernyataan Ali mengenai wilayah Sabah. 

Puncaknya, Soemitro menggalang simpati kepada kalangan mahasiswa. Kampanyenya berhasil. Di kalangan mahasiswa citranya lekat sebagai reformator di tengah kemuakan terhadap istilah "jenderal politik" dan "jenderal uang" yang bernaung di bawah lembaga Aspri. Di sini Ali yang menjadi sasaran narasi yang dibangun Soemitro. Lembaga Aspri ini kemudian mendapat cap sebagai antek kapitalis Jepang. 

Namun sebaliknya, Soemitro seperti kalah canggih dari si asisten Presiden. Ali memang digadang-gadang punya agenda politik yang lebih tinggi. Ia disebut ingin menjadi wakil presiden di bawah Soeharto untuk kemudian menggantikannya.

Akhirnya, setelah meletusnya peristiwa Malari, Soemitro kalah. Terjadinya kerusuhan tersebut turut mencoreng muka pemerintah Soeharto di depan tamu negaranya. Dan pejabat yang paling bertanggung jawab atas hal itu adalah Soemitro. Dari situ akhirnya Soemitro mengundurkan diri sebagai Pangkopkamtib. Jabatan itu kemudian diambil alih oleh presiden. 

Selain itu teman duetnya Soemitro, Sutopo Juwono juga turut digeser dari posisinya sebagai Kepala Bakin. Ia dikirim ke Belanda sebagai duta besar. 

Mulanya, terlihat Ali Moertopo sebagai pemenangnya. Namun tak selang berapa lama, Lembaga Aspri juga dibubarkan. Pengaruh Ali perlahan-lahan redup. Ali juga turut dihabisi. Dan pemenang sebenarnya adalah tetap sang pemimpin Orde Baru, Soeharto.