Bagikan:

JAKARTA - Salah satu ruang kelas di Sekolah Rakyat, Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah yang sedang belajar aljabar itu mendadak berhenti. Mereka kedatangan 2 orang tamu. Bersama wali kelas, kedua tamu itu berdiri di depan 30-an murid kelas lima. Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan, mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, kemudian uluk salam dan memperkenalkan diri. "Saya Soedirman, dan ini Pak Isdiman." 

Semua murid tertegun. Dengan seksama mereka mendengarkan apa yang disampaikan orang yang kelak jadi Panglima Tentara Nasional Indonesia pertama itu. "Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nippon," ujarnya. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan bercelana panjang berwarna krem itu melanjutkan kalimatnya. "Saya minta pangestu semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara."

Seluruh murid yang berada dalam kelas serentak menjawab, "Nggih, Pak!". Soedirman mengakhiri kunjungan itu dengan menyalami para murid samnil meninggalkan ruangan. Isdiman, yang tak mengatakan berbicara apa-apa mengikuti di belakangnya. 

Soedirman Taufik, menceritakan kisah yang ia alami 69 tahun silam itu kepada Tempo yang dimuat dalam bukunya "Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir" (2013). Taufik juga mengetahui, Soedirman dan Isdiman juga berpamitan ke beberapa sekolah lainnya sebelum bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). "Pak Dirman memang guru," katanya. 

Hari ini, seluruh Indonesia merayakan Hari Guru Nasional. Hari Guru Nasional diperingati setiap tahun untuk mengapresiasi, mendukung, serta mendorong kualitas guru Indonesia. Pada momen kali ini kita akan mengingat sosok Soedirman sebagai seorang guru sebelum akhirnya menjadi Panglima Besar. 

Cara Soedirman mengajar

Lulus dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Parama Wiworotomo--setingkat SMP-- pada 1934, Soedirman sempat melanjutkan Sekolah Guru Bantu (Hollandsche Indische Kweekschool) di Solo, Jawa Tengah. Namun ia tak menamatkan sekolahnya di sana, dan kembali ke Cilacap setahun kemudian. 

Kemudian Soedirman bertemu tokoh Muhammadiyah Cilacap, R. Mohammad Kholil. Berkat guru pribadinya itu, ia diangkat menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap. 

Cara Soedirman mengajar dinilai tak monoton, kadang dibumbui dengan canda, dan kerap diselingi pesan agama dan nasionalisme. Hal itu dituturkan oleh salah satu muridnya, Marsidik, kepada Sardiman dalam bukunya "Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman" (2008). 

Kepiawaian Soedirman mencampurkan humor dan selingan cerita-cerita pewayangan membuat dirinya populer di kalangan muridnya. Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Beberapa tahun kemudian, kegigihannya itu berbuah manis. Ia diangkat menjadi kepala sekolah meski tak punya ijazah guru. Hasilnya, gaji bulannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah gulden.   

Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru. Masih menurut Marsidik (2008), seorang rekan kerjanya pernah mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang moderat dan demokratis. Soedirman tak itungan soal pekerjaan, ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.

Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga aktif sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler.