Bagikan:

JAKARTA - Demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja berlanjut. Massa dominan buruh dan mahasiswa yang ingin menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara Jakarta gagal. Jokowi ada di Istana Bogor, dengan agenda menemui Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga malam nanti. Publik mengaitkan kejadian ini dengan peristiwa sejarah Malapetaka 15 Januari (Malari) tahun 1974. Kenapa Malari? Seperti apa peristiwa itu? Apa saja kesamaannya?

Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyindir Jokowi dalam orasi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. "Kami ingin bertemu Jokowi biar menerbitkan Perppu. Tapi, Pak Presidennya di Bogor kawan-kawan," kata orator, Alif, dengan pelantang suara, Selasa, 20 Oktober.

Di Istana Bogor, Jokowi akan menemui Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga. Menteri Luar Negeri Jepang Motegi Toshimitsu dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sepakat pertemuan ini penting untuk mencapai sasaran-sasaran strategis terkait hubungan bilateral dua negara.

“Menteri Luar Negeri Motegi mengharapkan agar lawatan Perdana Menteri ini akan bermakna sehingga hubungan bilateral (dengan Indonesia) yang merupakan mitra strategis akan semakin kokoh,” kata Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, lewat pernyataan tertulis yang diterima Selasa, 20 Oktober.

Indonesia nampak penting. Suga baru saja ditunjuk sebagai pengganti Shinzo Abe yang beberapa waktu lalu mundur dari posisi perdana menteri karena sakit. Dan Suga memilih Indonesia serta Vietnam dalam kunjungan bilateral pertamanya sebagai pemimpin Jepang.

Malari 1974

15 Januari 1974, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta turun ke jalan memprotes kebijakan ekonomi Pemerintahan Soeharto yang dianggap terlalu getol pada investasi asing. Aksi massa itu dilakukan di waktu yang sama dengan kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka yang hendak menemui Soeharto.

Aksi ini jadi protes massa terbesar pertama di era Soeharto. Aksi ini juga mencoreng wajah pemerintahan Soeharto di depan tamu istimewanya sendiri.

Seperti ditulis Widiarsi Agustina dalam Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama Dalam Sejarah Orde Baru (2014), demonstrasi berawal dari Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia pimpinan Hariman Siregar yang turun ke jalan. Tujuan pertama mereka saat itu adalah Bandara Halim Perdanakusuma, tempat Tanaka mendarat.

Pada saat yang sama, kelompok lain yang disebut massa Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI), tukang-tukang becak, dan preman-preman Kramat atas suruhan pimpinan Ali Moertopo bergerak ke arah Pasar Senen. "Huru-hara meledak di sini," tulis Agustina. 

Kerusuhan kemudian melebar ke sejumlah tempat, seperti Jalan Juanda, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, dan ke kawasan Kota. Aksi yang mulanya damai berujung rusuh. Gedung-gedung dan kendaraan bermotor, khususnya yang diproduksi Jepang diamuk massa.

Kerusuhan Malari (Foto: MalariRiotsJakarta1)

Aksi massa juga menyebabkan kebakaran di sejumlah titik. Api berkobar sejak siang hingga tengah malam. Kerusuhan ini membakar 144 gedung, 807 mobil, dan 187 sepeda motor. Sementara, sebelas orang tewas, 17 terluka berat, dan 120 orang luka ringan.

Saat itu, Soeharto memang sedang lebar-lebarnya membuka pintu untuk investasi. Di awal pemerintahannya itu, Soeharto berupaya melakukan pembenahan dalam berbagai aspek kenegaraan, salah satunya melunasi utang warisan Orde Lama.

Salah satu kebijakan Soeharto untuk melunasi utang adalah lewat investasi asing. Saat itu Amerika Serikat (AS) yang jadi mitra besar Indonesia, terutama di bidang energi dan tambang. Namun, dominasi Jepang di Asia, khususnya Indonesia saat itu lebih terlihat nyata.

Berbagai macam produk, mulai dari alat transportasi, elektronik dan barang-barang konsumen didominasi oleh produk Negeri Sakura. Hal ini yang kemudian memicu meletusnya peristiwa Malari, meski belakangan muncul dugaan bahwa aksi itu disusupi kepentingan elite. Malari juga disebut sebagai medan seteru dua Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro dan Asisten Pribadi Soeharto Ali Moertopo.

Kunjungan PM Suga

Seperti dikatakan Menteri Luar Negeri Jepang Motegi Toshimitsu dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, pertemuan ini penting untuk hubungan strategis dua negara. Hubungan apa yang dimaksud?

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyebut setidaknya empat makna dalam kunjungan Suga ke Istana Bogor, di mana sebagian besarnya berkaitan dengan investasi dan ekonomi. Hikmahanto mengatakan: Pertama, Jepang ingin menegaskan kepada Indonesia bahwa keberadaan Indonesia sangat penting di mata Jepang. 

Dalam konteks di atas, Jepang ingin menegaskan posisi mereka dalam pembangunan Indonesia yang sedang gencar-gencarnya. "Dalam konteks ini Indonesia tidak perlu bertumpu hanya pada satu negara, yaitu China dengan kekuatan ekonomi dan teknologinya," Hikmahanto, kepada VOI, Selasa, 20 Oktober.

PM Jepang Yoshihide Suga (Sumber: Antara)

Makna kedua, Jepang ingin memperkuat kemitraan strategis, terutama terkait jalur pelayaran internasional, mengingat Jepang kini tengah mengalami gangguan dari China. Kita ingat, banyak negara --seperti AS, Australia dan Jepang-- khawatir kekuatan militer dan ekonomi China akan mendominasi laut China Selatan, jalur penting pelayaran internasional.

"Dalam konteks ini Jepang akan all out membantu Indonesia agar China tidak menegaskan klaim sepihak sembilan garis putus dengan memanfaatkan nelayan-nelayan dan kapal-kapal coastguard-nya untuk menghalau nelayan-nelayan Indonesia," kata Hikmahanto.

Ketiga, Jepang ingin meminta perhatian Indonesia bahwa perusahaan-perusahaan dan teknologi Jepang lebih unggul dan terpercaya daripada perusahaan-perusahaan dan teknologi China. Oleh karenanya, kembali ke poin pembangunan, Indonesia memiliki alternatif dalam memilih perusahaan dan teknologi: Jepang.

Poin keempat, Hikmahanto mengatakan Jepang ingin mengajak Indonesia terus mengembangkan pertumbuhan di kawasan Indo-Pasifik. Jepang berharap kawasan itu dapat mengembangkan pertumbuhan ekonomi dengan negara-negara Afrika, di mana Indonesia saat ini sedang gencar melakukan hubungan yang lebih kuat dengan negara-negara Benua Hitam.

"Dalam konteks tersebut Jepang akan mendukung Indonesia, bahkan bila Indonesia mengajak ASEAN dalam pengembangan hubungan dengan berbagai negara di Afrika."

Tak ada yang menafikan pentingnya pembangunan ekonomi. Tak ada pula yang mengharapkan kekacauan, apalagi pertumpahan darah. Maka, mengingat sejarah selalu penting. Apalagi dalam kondisi hari ini. Sensitivitas pemimpin negara terhadap kepentingan rakyat jadi harga mati.

Prajurit TNI memantau bekas kericuhan demo menolak UU Cipta Kerja di Jakarta (Irfan Meidianto)

Soeharto, hari-hari itu begitu bebal. Arief Budiman, dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 yang kami kutip dari Historia.id menulis: Dengan Peristiwa Malari, Soeharto tampaknya mengambil sikap tegas: Go to hell with civil society. Dia sepertinya mengingatkan para cendekiawan/mahasiswa who is the boss.

Dan alasan lain pentingnya melihat sejarah adalah mengingat apa yang pernah disampaikan bapak sosiologi modern, Karl Marx. Kutipan itu juga termuat dalam paragraf awal artikel Malapetaka Politik Pertama, mengutip apa yang disampaikan Dhaniel Dhakidae dalam acara mengenang 40 tahun peristiwa Malari 15 Januari 2004. Kutipan yang tak mungkin kami lewatkan.

"Pengulangan sejarah merupakan lelucon pada kali pertama dan akan menjadi tragedi pada pengulangan yang kedua," sang cendekiawan mengutip Karl Marx: History repeats itself first as tragedy then as farce.