Cek Logika: Jika Ingin Membangun Iklim Investasi Sehat, Kenapa Lewat UU Cipta Kerja dan Revisi UU KPK?
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah kembali merespons penolakan UU Cipta kerja, termasuk demonstrasi berselip kericuhan yang terjadi hari ini di berbagai daerah se-Indonesia. Mewakili pemerintah, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut akan menindak tegas para pelaku anarkisme. Mahfud juga meyakinkan masyarakat bahwa pembentukan UU Cipta Kerja didasari oleh niat baik pemerintah. Ada masalah investasi yang harus diberesi lewat UU ini. Selain itu, UU ini juga penting untuk meminimalisir potensi korupsi. Narasi yang patut dipertanyakan.

Kamis malam, 8 Oktober, Mahfud memasang podium di kantornya, ketika jalan-jalan Ibu Kota dan berbagai daerah lain se-Indonesia dipenuhi massa. Didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, serta Mendagri Tito Karnavian, Mahfud menjelaskan banyak hal tentang kesalahpahaman masyarakat melihat UU Cipta Kerja.

Salah satu penjelasan Mahfud adalah terkait pentingnya UU Cipta Kerja ini untuk membangun investasi. UU Cipta Kerja adalah senjata pamungkas. Dengan pertumbuhan investasi, pemerintah berharap persoalan pengangguran dapat ditangani. Seperti tokoh-tokoh lain di dalam pemerintahan, Mahfud menyebut pembangunan ekonomi lewat investasi makin mendesak.

"UU Cipta Kerja dibentuk justru untuk melaksanakan tugas pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat, melalui penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak, perlindungan terhadap buruh, penyederhanaan birokrasi, dan kemudahan berusaha serta untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pungli, dan pencegahan tindak pidana korupsi lainnya," kata Mahfud.

Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Menko Polhukam Mahfud MD, Kepala BIN Budi Gunawan, Mendagri Tito Karnavian (Sumber: Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Sebelum Mahfud, narasi ini pernah kita dengar dari mulut Menkumham Yasonna Laoly. Menurutnya, UU Cipta Kerja akan memancing banyak investor untuk menanam modal di Indonesia. Penyegaran ekonomi, katanya.

Senada, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan UU Cipta Kerja akan menarik lebih banyak proyek investasi asing langsung ke Indonesia. Hal itu akan membuka lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.

Pimpinan tertinggi negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segamblang yang lain menjelaskan semangat investasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Produk hukum ini bahkan bisa dibilang mimpi besar Jokowi yang jadi nyata. Gagasan omnibus law ini bahkan disampaikan Jokowi dalam pidato kenegaraannya usai dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, 20 Oktober 2019 lalu.

Dalam pidato itu Jokowi menyampaikan harapan agar Indonesia memiliki produk hukum omnibus yang dapat merevisi banyak UU sekaligus. Demi menggenjot investasi, katanya. Sebab, terlalu banyak permasalahan produk hukum yang menurut Jokowi mengganggu minat investasi ke Indonesia.

Investasi kita bermasalah?

Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi di Indonesia terpantau mengalami kenaikan. Pada triwulan I (periode Januari-Maret) tahun 2020, investasi mencapai Rp210,7 triliun. Nilai tersebut meningkat 8,0 persen dibanding periode yang sama pada 2019: Rp195,1 triliun.

Jumlah itu didapat dari  Rp112,7 triliun nilai investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Rp 98,0 triliun dari Penanaman Modal Asing (PMA). Indonesia sendiri memasang target investasi 2020 mencapai Rp886,1 triliun. Belum tercapai, memang. Tapi banyak persoalan investasi yang muncul akibat pandemi. Dan seluruh negara di dunia mengalaminya.

Mengutip penelitian Arianto Patunru dan Andree Surianta di East Asia Forum, pandemi COVID-19 dijelaskan sebagai salah satu tantangan terbesar bagi perdagangan dan investasi internasional. Naluri untuk membatasi perdagangan global bertentangan dengan keterkaitan yang penting bagi rantai nilai global (GVC).

Organisasi Perdagangan Dunia memperkirakan perdagangan internasional turun antara 13-32 persen. Sementara, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan memperkirakan proyek investasi asing langsung (FDI) akan turun sebesar 40 persen.

Hal ini sangat menantang bagi negara seperti Indonesia yang sedang berjuang untuk menarik investasi langsung sekaligus menunjukkan penurunan partisipasi GVC. Dengan kondisi ini, penyederhanaan aturan bukan solusi paten. Atau dengan kata lain, meski Indonesia memiliki RUU Cipta Kerja yang mempermudah investor, belum tentu investor berani berinvestasi.

Ilustrasi foto (Achmad Basaruddin/VOI)

Selain pandemi, ada beberapa perkara lain yang secara umum paling sering mengganggu investasi. Salah satu dan yang paling signifikan adalah korupsi. Korupsi tak hanya menghalangi masuknya investor, korupsi juga mengganggu manfaat investasi bagi negara. Seperti yang dialami Indonesia, misalnya. Melihat data di atas, pertumbuhan investasi Indonesia sejatinya terbilang tinggi. Yang patut disoroti, tentu saja pendapatan negara dari investasi.

Indonesia mencatatkan incremental capital output ratio (ICOR) yang tinggi, mencapai level 6,3 sepanjang periode 2016 hingga 2018, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ICOR tertinggi di ASEAN. ICOR adalah rasio investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. ICOR mengukur seberapa besar investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu unit output atau PDB (produk domestik bruto). Dan korupsi merupakan akar dari segala kegagalan.

"Korupsi itu bikin investor di luar negeri maupun di dalam negeri sakit kepala. Nomor satu masalahnya korupsi. Nomor dua, birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Ketenagakerjaan, nomor sebelas," ungkap ekonom, Faisal Basri dalam program televisi Mata Najwa, disiarkan Selasa, 7 Oktober.

Korupsi dan investasi

Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI

Seperti dijelaskan di atas. Korupsi tak hanya menghalangi masuknya investor, tapi juga mengganggu arus kas negara dari hasil investasi. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin saiman membawa pemahaman lebih dalam mengenai masalah korupsi dalam investasi Indonesia.

Sulit mengamini kata-kata Mahfud, Yasonna atau Jokowi yang menyebut iklim investasi yang saat ini dibangun pemerintah didasari oleh semangat menyejahterakan rakyat. Apalagi setelah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jika korupsi adalah perkara terbesar yang menghambat laju dan pemanfaatan investasi, kenapa pemberantasan korupsi justru dilemahkan. Padahal, kata Boyamin, tegaknya hukum di sebuah negara merupakan salah satu pertimbangan terbesar bagi setiap investor. Apalagi bagi investor luar negeri yang akan lebih tenang karena investasinya terjamin dengan sistem hukum yang baik. Tak ada tipu-tipu. Tak ada kecurangan.

"Tapi pemikiran lainnya, justru hukum yang tegak menakuti orang yang akan berinvestasi. Katanya investor luar negeri takut semua. Katanya hukum kita selalu mengganggu investasi. Padahal orang luar negeri kalau hukumnya tegak malah berani berinvestasi," Buyamin, dihubungi VOI, Kamis, 8 Oktober.

Selain itu, seharusnya pemerintah juga mampu membuat penegakan hukum atas tindakan korupsi di dunia investasi Indonesia agar mampu memerangi investor yang curang. Kemudahan selebar-lebarnya bagi investor justru bisa jadi bumerang bagi Indonesia karena memperbesar potensi kerugian. Namun, lain soal kalau investasi yang dibangun memang bukan untuk negara, apalagi rakyat di dalamnya. 

"Ini kalo investornya dimanjakan seperti itu, siapa yang datang ke Indonesia? Ya, investor nakal. Dia akan mencurangi, menggelapkan pajak lah. Kan gitu. Kalau hukum kita tegak, yang datang investor baik. Namun kalau korupsinya masih dibiarkan, maka yang datang, ya investor nakal. Kita kembali rugi karena dikerjai dan sebagainya. Pemikiran seperti itu sederhana, namun seolah-olah tidak sederhana," tegas Buyamin.