Pengamat Sebut UU Cipta Kerja Masih Bisa Dikalahkan di MK
Ilustrasi sidang di MK (Foto: Instagram @mahkamahkonstitusi)

Bagikan:

JAKARTA - Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tahun ini dianggap melemahkan kewenangan putusan MK dan menghapus kewajiban pemerintah dan DPR mematuhi putusannya.

Hal ini mengakibatkan sejumlah masyarakat pesimis bisa membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja lewat jalur konstitusi, yakni permohonan uji materi atau judicial review (JR) Omnibus Law di MK.

Namun, menurut pengamat hukum tata negara, Said Salahuddin, penghapusan pasal 59 ayat (2) dalam revisi UU MK sejatinya telah dihapus atau dibatalkan sejak sembilan tahun lalu lewat Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011

"Perlu diketahui, Ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak sembilan tahun yang lalu melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020," kata Said saat dikonfirmasi VOI, Rabu, 14 Oktober.

Kata Said, penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sifat Putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (final and binding).

"Penghapusan Pasal 59 ayat (2) juga tidak menyebabkan Putusan MK bisa dikesampingkan oleh DPR dan Presiden, sebab dalam pengujian undang-undang kedudukan Putusan MK dipersamakan juga dengan undang-undang," ungkap Said.

"Jadi, sekalipun Pasal 59 ayat (2) telah dihapus oleh UU 7/2020, dalam hal JR UU Cipta Kerja dikabulkan dan UU tersebut, misalnya, dibatalkan oleh MK, maka tidak ada tafsir lain lagi," lanjut dia.

 

Seperti diketahui, perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menjadi Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Mahkamah Konstitusi enam hari sebelum pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR dikhawatirkan masyarakat.

Dalam undang-undang yang telah direvisi tersebut terdapat perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua. Jika pada masa sebelumnya, ketua dan wakil ketua masa jabatannya dibatasi selama dua tahun enam bulan, kini, berdasarkan aturan yang baru mereka bisa menjabat selama lima tahun sesuai dalam Pasal 4 Ayat 3.

Selain itu, revisi UU MK juga mengatur hakim konstitusi yang menjabat saat ini bisa terus menjalankan tugasnya hingga 70 tahun asalkan keseluruhan masa tugas tidak lebih dari 15 tahun.

Perubahan UU MK dianggap membuat MK menjadi tidak kredibel karena hakimnya mudah disuap. Argumen ini didasari pada pengalaman dua Hakim Konstitusi yang pernah ditangkap oleh KPK karena tersangkut kasus korupsi. 

Masyarakat juga meragukan kredibilitas Mahkamah Konstitusi karena secara empiri terdapat sejumlah putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Kasus yang dicontohkan diantaranya adalah Putusan MK mengenai sengketa hasil Pilpres.

Ada pula argumen yang mengaitkan dengan proses pengisian jabatan Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU Cipta Kerja. Hal tersebut menyebabkan masyarakat ragu MK dapat bersikap objektif dalam memutus JR omnibus law.