Beda Cara Presiden, Legislator, dan Rakyat 'Jual DPR'
Gedung DPR RI (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - "Dijual karena tidak berguna." "Dijual (Gedung DPR) beserta isinya." "Dijual murah. Isinya silakan dibuang." Deskripsi berbagai iklan di ecommerce. Pemasang iklan adalah rakyat. Objek iklannya, anggota DPR. Terlihat receh. Namun ini adalah sindiran keras sejatinya. Pihak DPR merespons, meminta polisi turun tangan atas aksi yang mereka sebut pelecehan. Selain tak masuk akal. Pernyataan DPR sebenarnya tak perlu. Sebab, sejak lama sejatinya DPR telah dijual. Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja buktinya.

Menurut penulusuran VOI, ada empat akun yang menjual gedung tersebut di platform ecommerce, Shopee. Satu di antaranya bahkan memasang iklan penjualan Gedung DPR beserta "para impostor" di dalamnya. Istilah impostor merujuk pada gim Among Us. Dalam gim itu, impostor adalah penipu yang juga pembunuh di waktu yang sama.

Selain itu ada juga akun lain yang menjual Gedung DPR seharga Rp99 ribu dengan deskripsi: Dijual bersama isinya. Dijual karena tidak berguna. Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah menyebut menyebut parade iklan ini sebagai bentuk sinisme publik kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Tangkap layar iklan jual Gedung DPR

DPR, melalui sekretaris jenderalnya, Indra Iskandar merespons iklan ini dengan meminta kepolisian turun tangan. Indra juga menyebut reaksi masyarakat sebagai candaan yang tidak pada tempatnya. "Ini kan BMN (barang milik negara)," kata Indra kepada wartawan di Kompleks DPR, Rabu, 7 Oktober.

"Jadi kalau ada jokes-jokes semacam itu sebenarnya sangat insinuatif. Itu urusan Kementerian Keuangan dan kepolisian. Dan menurut saya kepolisian harus mengambil tindakan tegas. Ini kan BMN (barang milik negara). Jadi jokes semacam itu tidak pada tempatnya lah, ya," tambah Indra.

Tindak tegas siapa?

Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Indra tak perlu membawa-bawa polisi. Bahkan, merespons pun sejatinya tak perlu. Toh, DPR sudah lama "dijual". Hari demi hari pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja hingga pengesahannya yang sembunyi-sembunyi, Senin, 5 Oktober adalah bukti. Tak cuma gedung, bahkan. Para anggota dewan, bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai telah menjual negara ini lewat Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

"Negara dijual oleh Presiden dan DPR yang setuju Omnibus Law," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat dihubungi VOI, Rabu, 7 Oktober. Jadi, jika harus ada yang ditindak tegas oleh polisi, siapa orangnya?

Asfin mengaku tak terkejut dengan fakta terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terjadi beberapa hari belakangan. Gelagat kecurangan sudah tercium sejak awal pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang di mata Asfinawati memang dibuat khusus untuk kepentingan para pemilik modal besar. Para oligarki. Dan fakta itu gamblang sejatinya. Segamblang fakta beleid itu berdampak kesengsaraan bagi masyarakat.

Soal peraturan ketenagakerjaan, misalnya. Asfin menyebut regulasi Omnibus Law RUU Cipta Kerja termasuk dalam kategori perbudakan modern. "Kalau kita lihat tadi, misalnya. Soal peraturan ketenagakerjaan kan itu diregulasi dan termasuk ke dalam kategori perbudakan modern. Karena misalnya kontrak jadi tidak ada jumlah maksimal tahunnya. Dan banyak contoh lain-lainnya," jelasnya. 

Bukan cuma itu. Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga berpotensi merusak alam. Beleid tersebut jelas dibuat tanpa memedulikan faktor lingkungan. Dan sekali lagi. Segala kecurangan itu dipertontonkan secara gamblang. Maka, jadi wajar ketika gelombang penolakan mengalir deras dari berbagai kalangan, baik buruh, mahasiswa, aktivis, bahkan para akademisi dan pemuka agama.

"Makanya akademisi, profesor-profesor, marah. Kalau enggak keterlaluan, mana mungkin mereka gerak," katanya.

Siapa jual ke siapa?

Bau anyir tercium sejak awal. Asfin menyebut pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja telah skandal, bahkan sejak pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law. Ia memaparkan, komposisi Satgas Omnibus Law amat tak ideal karena didominasi oleh 127 pengusaha. Dan tak sedikit di antara mereka yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan. Para mantan tim sukses dan pengusaha yang memiliki keterkaitan dalam pembentukan kebijakan.

Sejumlah nama besar yang duduk di posisi Satgas Omnibus Law, antara lain adalah CEO Lippo Group James Riady, Komisaris Utama Bosowa Corporation Erwin Aksa, Komisaris PT Bakrie & Brothers Tbk., Bobby Gafur Umar, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial Anton J. Supit, Ketua Umum Indonesia National Shipowners Association (INSA) Carmelia Hartoto, dan Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan.

Selain itu, naskah RUU Omnibus Law, menurut catatan Asfin terkesan disembunyikan, terutama saat pembahasan oleh pemerintah. Lalu, pada pembahasan tingkat II naskah itu juga tidak dibagikan ke anggota DPR secara menyeluruh. "Prosesnya di satgas ini abnormal dan tertutup," tertulis pada poster catatan YLBHI yang didapat VOI.

Dan pembahasan beleid yang dikebut hingga tengah malam, hal itu adalah anomali besar. Menurut Asfin, hal ini jarang terjadi sebelumnya. Pola itu terus terjadi hari demi hari pembahasan. Klimaksnya adalah sidang penutupan yang rencananya dilaksanakan 8 Oktober, tiba-tiba dimajukan menjadi 5 Oktober. Saat itu juga RUU Omnibus Law disahkan. Sementara anggota dewan yang hadir pada saat pengesahan tidak memperoleh salinan fisik. Bahkan pimpinan sidang mematikan mikrofon anggota dewan yang menyatakan protes.

Dari sisi pemerintah, orang yang paling bertanggung jawab atas produk hukum bermasalah ini adalah Jokowi. Ide soal Omnibus Law pertama kali ia cetuskan dalam pidato kenegaraan sesaat setelah dirinya dilantik menjadi Presiden RI untuk periode kedua, usai memenangi Pemilihan Presiden 2019.

Pelantikan Presiden Jokowi (Instagram/jokowi)

Berikut isi pidato Jokowi dalam sidang paripurna MPR RI 20 Oktober 2019 itu:

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera Bagi Kita Semua, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan, Yang saya hormati para Pimpinan dan seluruh anggota MPR; Yang saya hormati Bapak Prof. Dr. K.H. Ma'ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia; Yang saya hormati Ibu Megawati Soekarnoputeri, Presiden ke-5 Republik Indonesia;

Yang saya hormati Bapak Prof. Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 Republik Indonesia;

Bapak Hamzah Haz, Wakil Presiden ke-9 Republik Indonesia; Bapak Prof. Dr. Boediono, Wakil Presiden ke-11 Republik Indonesia; Bapak Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke12 Republik Indonesia;

Yang saya muliakan kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negaranegara sahabat; Yang saya hormati para pimpinan lembagalembaga tinggi negara; Para tamu lainnya yang saya hormati. Bapak, Ibu, Saudara-Saudara sebangsa & setanah air.

Mimpi kita, cita-cita kita di tahun 2045 pada satu abad Indonesia merdeka mestinya, Insya Allah, Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita. Target kita bersama.

Mimpi kita di tahun 2045, Produk Domestik Bruto Indonesia mencapai US$ 7 triliun. Indonesia sudah masuk 5 besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen. Kita harus menuju ke sana. Kita sudah hitung, sudah kalkulasi, target tersebut sangat masuk akal dan sangat memungkinkan untuk kita capai. Namun, semua itu tidak datang otomatis, tidak datang dengan mudah. Harus disertai kerja keras, dan kita harus kerja cepat, harus disertai kerja-kerja bangsa kita yang produktif. Dalam dunia yang penuh risiko, yang sangat dinamis, dan yang kompetitif, kita harus terus mengembangkan cara-cara baru, nilai-nilai baru. Jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas yang monoton.

Harusnya inovasi bukan hanya pengetahuan. Inovasi adalah budaya. Cerita sedikit, tahun pertama saya di istana, saat mengundang masyarakat untuk halalbihalal, protokol meminta saya untuk berdiri di titik itu, saya ikut. Tahun kedua, halalbihalal lagi, protokol meminta saya berdiri di titik yang sama, di titik itu lagi. Langsung saya bilang ke Mensesneg,

"Pak, ayo kita pindah lokasi. Kalau kita tidak pindah, akan jadi kebiasaan. Itu akan dianggap sebagai aturan dan bahkan nantinya akan dijadikan seperti undang-undang." Ini yang namanya monoton dan rutinitas. Sekali lagi, mendobrak rutinitas adalah satu hal. Meningkatkan produktivitas adalah hal lain yang menjadi prioritas. Jangan lagi kerja kita berorientasi proses, tapi harus berorientasi pada hasil-hasil yang nyata.

Saya sering ingatkan ke para menteri, tugas kita bukan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi tugas kita adalah membuat masyarakat menikmati pelayanan, menikmati hasil pembangunan. Seringkali birokrasi melaporkan bahwa program sudah dijalankan, anggaran telah dibelanjakan, dan laporan akuntabilitas telah selesai. Kalau ditanya, jawabnya "Program sudah terlaksana Pak." Tetapi, setelah dicek di lapangan, setelah saya tanya ke rakyat, ternyata masyarakat belum menerima manfaat. Ternyata rakyat belum merasakan hasilnya.

Sekali lagi, yang utama itu bukan prosesnya, yang utama itu hasilnya. Cara mengeceknya itu mudah. Lihat saja ketika kita mengirim pesan melalui SMS atau WA. Ada sent, artinya telah terkirim. Ada delivered, artinya telah diterima. Tugas kita itu menjamin delivered, bukan hanya menjamin sent.

Saya tidak mau birokrasi pekerjaannya hanya sending-sending saja. Saya minta dan akan saya paksa bahwa tugas birokrasi adalah making delivered. Tugas birokrasi itu menjamin agar manfaat program dirasakan oleh masyarakat.

Para hadirin dan seluruh rakyat Indonesia yang saya banggakan, Potensi kita untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah sangat besar. Saat ini, kita sedang berada di puncak bonus demografi, di mana penduduk usia produktif kita jauh lebih tinggi dibandingkan usia tidak produktif. Ini adalah tantangan besar dan sekaligus juga sebuah kesempatan besar. Ini menjadi masalah besar jika kita tidak mampu menyediakan kesempatan kerja.

Tapi akan menjadi kesempatan besar jika kita mampu membangun SDM yang unggul. Dengan didukung oleh ekosistem politik yang kondusif dan dengan ekosistem ekonomi yang kondusif. Oleh karena itu, 5 tahun ke depan yang ingin kita kerjakan:

Pertama, pembangunan SDM akan menjadi prioritas utama kita, membangun SDM yang pekerja keras, yang dinamis. Membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengundang talenta-talenta global bekerja sama dengan kita.

Itupun tidak bisa diraih dengan cara-cara lama, cara-cara baru harus dikembangkan. Kita perlu endowment fund yang besar untuk manajemen SDM kita. Kerja sama dengan industri juga penting dioptimalkan. Dan juga penggunaan teknologi yang mempermudah jangkauan ke seluruh pelosok negeri.

Kedua, pembangunan infrastruktur akan kita lanjutkan. Infrastruktur yang menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, yang mempermudah akses ke kawasan wisata, yang mendongkrak lapangan kerja baru, yang mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat.

Ketiga, segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan 2 undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.

Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi.

Keempat, penyederhanaan birokrasi harus terus kita lakukan besar-besaran. Investasi untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong.

Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II, eselon III, eselon IV, apa tidak kebanyakan? Saya minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi.

Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat dan birokrat, agar serius menjamin tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya copot.

Pada akhirnya, yang kelima adalah transformasi ekonomi. Kita harus bertransformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Para hadirin dan seluruh rakyat Indonesia yang saya muliakan, pada kesempatan yang bersejarah ini, perkenankan saya, atas nama pribadi, atas nama Wakil Presiden K.H. Ma'ruf Amin, dan atas nama seluruh rakyat Indonesia, menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Muhammad Jusuf Kalla yang telah bahu-membahu menjalankan pemerintahan selama 5 tahun terakhir.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh lembaga-lembaga negara, kepada jajaran aparat pemerintah, TNI dan Polri, serta seluruh komponen bangsa yang turut mengawal pemerintahan selama 5 tahun ini sehingga dapat berjalan dengan baik.

Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudarasaudara sebangsa dan setanah air untuk bersamasama berkomitmen:

"Pura babbara' sompekku...

Pura tangkisi' golikku..."

"Layarku sudah terkembang...

Kemudiku sudah terpasang..."

Kita bersama

Menuju Indonesia maju!!!

Terima kasih,

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Semoga Tuhan Memberkati.

Om Shanti Shanti Shanti Om, Namo Buddhaya.

Ai Nurhidayat

Maka, di mata Asfin, dengan segala catatan di atas, tak ada pilihan lain selain menolak pemberlakuan Omnibus Law. "Omnibus law harus tidak diberlakukan sama sekali karena bukan untuk kepentingan rakyat banyak, sedangkan undang-undang, itu untuk kepentingan umum," kata dia.