Bagikan:

JAKARTA - Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR memicu gelombang protes. Selain karena pembahasan yang dikebut di tengah pandemi, RUU Cipta Kerja juga dianggap tak mewakili kepentingan rakyat. Kini, riak-riak perlawanan mulai bergerak. Pemerintah harus ingat, terakhir kali rakyat digencet, reformasi terjadi.

Wakil Kepala Departemen Advokasi Walhi Eksekutif Nasional Edo Rakhman menyebut RUU Cipta Kerja sebagai gangguan besar terhadap hajat hidup warga negara yang mendasar. Dan di mata Edo, bukan tak mungkin situasi ini memicu reformasi jilid II. Edo bukan sembarang bicara. Ada sejumlah persamaan situasi antara hari ini dengan masa lampau, baik secara sosial dan ekonomi.

Sebelum reformasi pecah, Indonesia dihantam krisis ekonomi, jatuh ke jurang resesi paling parah di medio 1997-1998. Kala itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus selama enam bulan di tahun 1997 dan berlanjut hingga sembilan bulan pertama tahun 1998. Saking parahnya, pemerintah sampai harus meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 1997. Meski diketahui belakangan bantuan tersebut tak cukup membantu Indonesia.

Hari ini pun begitu. RUU Cipta Kerja disahkan ketika Indonesia berada di tengah resesi. Sejak awal Oktober, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu telah mengumumkan resesi. Ekonomi Indonesia mengalami minus hingga 5,32 persen di kuartal II 2020. Sebelumnya, di kuartal I, minus PDB Indonesia berada di angka 2,97 persen.

Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Krisis ekonomi berdampak pada aspek sosial. Angka PHK yang meningkat tajam memunculkan gelombang pengangguran dan memicu keresahan massal. Di tahun 1998, angka pengangguran mencapai 5,8 juta. Angka itu meningkat 1,4 juta dibanding tahun 1997: 4,4 juta orang. Indonesia, pada Februari 2020 mencatat angka pengangguran hingga 6,88 juta. Pandemi memperburuk keadaan, menjaring 3,7 juta orang dalam gelombang PHK dalam hitungan hingga Agustus 2020. Dengan begitu, ada sekitar 10,58 juta pengangguran di Indonesia. Angka yang diprediksi akan terus meningkat seiring melorotnya penanganan pandemi.

Dengan segala kondisi, Edo mengatakan, turun ke jalan barangkali memang pilihan. Meski jadi pilihan sulit di tengah pandemi. Tapi, di matanya, ini lagi-lagi dosa penguasa, yang menempatkan rakyat dalam dilema besar ini. “Soal turun ke jalan, saya kira itu salah satu pilihan penting sebagai bukti perlawanan dan penolakan rakyat," kata Edo kepada VOI, Selasa, 6 Oktober.

"Tapi protokol kesehatan dan waspada COVID-19 juga penting, dan keduanya berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Untuk pilihan lain, saya kira juga banyak hal yang bisa dilakukan. Intinya bahwa harus kita buktikan bahwa perlawanan rakyat itu sangat besar,” tambah dia.

Pengkhianatan terhadap rakyat

Suasana paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Pengesahan RUU Cipta Kerja adalah pengkhianatan besar terhadap rakyat, begitu setidaknya di mata Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta. “Karena UU ini secara substansi tidak bicara sama sekali untuk kemaslahatan dan kepentingan rakyat Indonesia,” ucap Tubagus dihubungi VOI, Selasa, 6 Oktober.

Tubagus mencontohkan dalam hal lingkungan hidup. Kata Bagus, lingkungan hidup Indonesia saat ini sedang mengalami krisis. Banyak kelompok masyarakat sedang bahu membahu bergerak melakukan inisiasi-inisiasi untuk memulihkan Indonesia. Parahnya, di tengah situasi itu, pemerintah malah membuat kebijakan yang melanggengkan dan memperparah kerusakan lingkungan hidup.

Belum lagi pembahasan yang dilakukan secara diam-diam. Dan pembahasan UU di tengah pandemi? Seluruh proses pembahasan adalah kecurangan. Di matanya, pemerintah sengaja memanfaatkan pandemi COVID-19 untuk memuluskan RUU Cipta Kerja, ketika pandemi membatasi ruang gerak masyarakat melakukan pengawasan.

“Pembahasan RUU dilakukan secara diam-diam. Kalau kita lihat secara proses peraturan perundang-undangan, ya memang banyak cacatnya. Maka kami sedari awal telah menolak RUU Cipta Kerja, apalagi untuk segera dibahas, karena pada dasarnya tidak pantas diulas karena merugikan masyarakat,” imbuh Bagus.

"Malah, pemerintah sibuk mengurusi kebijakan ini yang notabene adalah untuk kepentingan korporasi atau kepentingan oligarki. Jelas, mereka sangat memanfaatkan situasi pandemi,” tambahnya.

Riak perlawanan

Siang ini, Selasa, 6 Oktober, aksi mogok dan unjuk rasa terkait pengesahan RUU Cipta Kerja terjadi di berbagai daerah di Nusantara. Di Bandung, ribuan buruh di kawasan industri Rancaekek, Kabupaten Bandung, turun ke jalan hingga menyebabkan kemacetan serius di di Jalan Bandung-Garut.

Para buruh yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) memblokade jalan. Mereka juga melakukan aksi jalan kaki dari Pertama Hijau di Rancaekek.

Tak cuma di Bandung, ratusan buruh di Surabaya juga ikut melakukan unjuk rasa. Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Surabaya tampak bergerak dari Jalan Mastrip Karangpilang. Seelanjutnya, mereka bergerak menuju Kantor DPRD dan Kantor Gubernur Jawa Timur.

Di Makassar, ratusan mahasiswa Universitas Islam Negeri Allauddin memblokade jalan dengan membakar ban. Dari pantauan VOI, demonstran masih bertahan menutup Jalan Sultan Alauddin Makassar hingga pukul 17.55 WITA, Selasa, 6 Oktober. Mereka memalang jalan dengan mobil.

Mahasiswa UIN Makassar memblokade Jalan Sultan Alauddin (Thamzil/VOI)

Dalam orasinya, pengunjukrasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja. UU yang disahkan pada paripurna DPR, Senin, 5 Oktober dinilai tidak berpihak kepada para pekerja dan buruh.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono mengatakan, aksi demonstrasi nasional akan dilakukan para buruh. Aksi akan dilakukan di tiap daerah, tanpa ada pergerakan massa ke DPR. "Kami mempertimbangan masalah kesehatan rekan-rekan buruh. Sehingga memutuskan tidak menggelar aksi di DPR," kata dia.

Demo yang hanya per daerah juga dikarenakan ingin memfokuskan di lokasi-lokasi industri. Sehingga, aksi para buru lebih efisien dan menekan resiko yang ada.

"Hampir semua daerah yang melakukan aksi (mogok kerja dan demo). Di Serang, Cilegon, Depok, Bogor, Karawang, itu beberapa di antaranya," papar dia.

Segala aksi itu, kata Kahar hanya memiliki satu tuntutan, yakni “cabut Omnibus Law!”

RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan pemerintah. RUU Cipta Kerja juga jadi bagian dari RUU Prioritas pada tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.

Dibanding RUU lainnya, RUU CIpta Kerja menjadi RUU yang paling kilat pembahasannya. Bahkan, orang nomor satu di Indonesia memberi perintah agar RUU tersebut dapat selesai sebelum 17 Agustus, sekalipun di tengah pandemi COVID-19. Pemerintah mengklaim, dikebutnya pembahasan merupakan bagian dari rencana pemerintah dalam memberikan kemudahan investasi di Indonesia.

Kemudian, sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang-malam. Ajaibnya, pembahasan juga dilakukan hingga larut malam, dan mengesampingkan masa reses dan pandemi. Alhasil, RUU Omnibus Law Cipta Kerja resmi disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna Senin kemarin.