Bagikan:

JAKARTA - Pengamat intelijen dan terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai ada kelompok penyusup yang membuat aksi demonstrasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja berujung rusuh. 

Dia menduga kelompok ini berasal dari pihak yang berada di kubu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendukung undang-undang tersebut.

"Penunggang alias penyusup demo yang memprovokasi kerusuhan, menurut analisa saya adalah justru elemen yang bekerja, diupah untuk menjaga dan mengamankan rezim dengan segala agenda politiknya," kata Harits seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 15 Oktober.

Harits menyebut penunggang aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja tersebut tak menutup kemungkinan merupakan tangan gelap pendukung pemerintah atau bahkan loyalis. 

Mereka, kata Harits, menempuh jalan ini karena saat ini pemerintah baru mengesahkan produk hukum yaitu UU Cipta Kerja yang disebut-sebut akan merugikan publik dan menimbulkan gelombang protes. Keadaan ini yang kemudian dianggap berisiko membuat kehidupan politik, ekonomi, dan keamanan dapat terkontraksi.

Para penunggang yang memiliki kemampuan ini disebut Hartis membuat rencana termasuk diduga menyiapkan aksi anarkis di tengah demo.

Keyakinannya soal adanya penunggang aksi demonstrasi ini, kata dia, juga terbukti dari adanya fakta lapangan, video amatir, hingga kesaksian peserta aksi.

"Terlihat jelas ada indikasi pihak-pihak yang kontra terhadap aksi demonstrasi ikut serta dalam barisan aksi," ungkapnya.

"Tentu keterlibatan mereka dengan agenda dan target berbeda. Mereka yang kontra, pola gerakan di lapangan kerap mengesankan terorganisir. Menyusup di barisan demo dengan melakukan provokasi yang memicu anarkisme," imbuhnya.

Menurutnya, tujuan dari kelompok penunggang ini sebenarnya sangat mudah terbaca. Tujuan pertama, kata Harits, penunggang ini sengaja mencederai tuntutan positif dari elemen masyarakat yang berdemonstrasi bergeser ke arah negatif atau bahkan mengecam karena adanya tindakan anarkis.

Aksi mereka, sambungnya, juga dapat berdampak adanya legitimasi dari masyarakat terhadap pembubaran demonstrasi, tindakan represif, hingga berujung pada pemidanaan pelaku demonstrasi.

Tujuan selanjutnya adalah membuat aksi unjuk rasa itu bisa dipolitisir sebagai penyebab kerusuhan. 

"Propaganda bahwa aksi ditunggangi kepentingan kelompok tertentu, misalkan dari barisan sakit hati, dan lainnya dengan mudah bisa dibangun secara massif. Targetnya mendelegitimasi aksi demonstrasi," jelas Harits.

Terakhir, adalah membuat publik lupa substansi aksi demonstrasi karena terfokus pada hal yang terjadi pasca aksi demonstrasi. 

Dalam masa 'cooling down' ini, publik kerap dialihkan perhatiannya kepada isu-isu sekitar aktor, motif politik demonstrasi, tindak pidana pelaku demo, hingga kerugian material akibat kerusakan fasilitas umum. "Publik kemudian dikaburkan dari substansi utama," tegasnya.

Dari analisisnya ini, Harits meminta publik tetap harus mengingat esensi aksi demonstrasi penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut. Selain itu, dia meminta agar aparat kepolisian berhati-hati dalam menangani masalah aksi demonstrasi ini.

"Saat ini kita berharap penanganan ekses demo oleh aparat polisi harus lebih berhati-hati. Kalau ada bukti yang cukup terkait pidana maka perlu ditindak dengan adil dan bijak," pungkasnya.