Demo UU Cipta Kerja, Pengamat Dorong Presiden Jokowi Temui Pedemo
Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di Jakarta 22 Oktober (Muhammad Iqbal/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) harusnya meluangkan waktu untuk menemui pedemo bukan mengutus hanya stafnya. Hal ini disampaikannya untuk menanggapi aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja yang dilakukan mahasiswa dan buruh, hari ini.

"Ya, Presiden Jokowi harus menemui demonstran. Mereka kan rakyatnya sendiri, jadi ya harus ditemui. Mereka kan ingin menyampaikan aspirasi jadi harus direspon dengan baik," kata Ujang saat dihubungi VOI, Rabu, 28 Oktober.

Ujang beralasan, upaya Jokowi untuk mengutus staf khusus hingga pihak Kantor Staf Presiden (KSP) dianggap tak akan memberikan pengaruh banyak. Sebab, berkaca dari pertemuan staf khusus dengan pedemo ataupun pihak KSP dengan pedemo tidak berjalan lancar karena mereka merasa belum menyampaikannya secara utuh kepada Presiden.

Kedua, lanjutnya, menemui pedemo di lokasi lebih tepat daripada mengundang mereka ke Istana. Kata Ujang, mengundang pedemo ke Istana malah bikin kegaduhan baru.

Alasan ketiga, Ujang meyakini, para peserta aksi itu enggan masuk ke dalam Istana Negara karena khawatir gerakannya akan digembosi oleh pemerintah.

"Jika Jokowi muncul di tengah-tengah para demonstran maka akan memberi efek kejut bahwa aspirasi mereka ternyata didengar," tegasnya.

Lagipula, Ujang menilai, pemerintah seharusnya membuka telinga, mendengar aspirasi masyarakat. Selain itu, pemerintah tidak mengabaikan tuntutan masyarakat, termasuk yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, Presiden Jokowi harusnya tak perlu menghindari para demonstran agar tak ada kesan jika pemerintah berjarak dengan publik. 

"Akan lebih baik jika ada dialog karena setidaknya Presiden Jokowi konsisten terbuka dan menerima keluh kesah publik. Jangan sampai ada anggapan jika Jokowi melupakan publik dan hanya mengutamakan kepentingan kelompok tertentu," katanya.

Menurutnya, mendengarkan aspirasi dan tuntutan publik sebenarnya adalah bagian dari kedewasaan politik. Selain itu, Dedi menilai, cara ini bisa membuat masyarakat sedikit demi sedikit memberikan dukungan. Karena, pemerintah tak bisa jalan sendiri dan membutuhkan dukungan dari publik.

"Bagaimanapun pemerintah memerlukan dukungan publik agar kebijakan yang dibuat dapat terimplementasi dengan baik," kata Dedi.

 

Sebelumnya, sejumlah massa diperkirakan akan menyuarakan aspirasi mereka untuk menolak UU Cipta Kerja yang dinilai kontroversial. Adapun salah satu organisasi yang akan turun dalam aksi tersebut adalah Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).

"Perjuangan yang akan kita teruskan dengan momentum 28 Oktober, bertepatan dengan Sumpah Pemuda. BEM SI akan menyuarakan narasi Sidang Rakyat terhadap permasalahan negeri ini yang belum dituntaskan oleh pemerintah," kata Koordinator Pusat BEM SI, Remy Hastian dalam keterangan tertulis, Selasa, 27 Oktober.

Remy menyebut, aksi akan dilaksanakan pada pukul 13.00 WIB. Dia memprediksi massa yang akan hadir berjumlah 1.000 orang. Beberapa mahasiswa juga datang dari luar Provinsi DKI Jakarta.

Adapun alasan BEM SI kembali menggelar aksi, karena Remy mengaku pihaknya kecewa dengan sikap Presiden Joko Widodo yang tidak mengacuhkan suara penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang datang dari berbagai elemen masyarakat.

Sementara terkait aksi ini, Polda Metro Jaya sudah memetakan pergerakan massa yang bakal menggelar aksi demonstrasi. Setidaknya, ada tiga lokasi yang nantinya menjadi titik kumpul para pendemo.

"Besok ada di Istana, DPR-MPR dan Tugu Proklamasi," ucap Dirlantas Polda Metro Jaya, Kombes Sambodo Purnomo Yogo kepada wartawan.