JAKARTA - Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menduga ada penyelenggara acara atau event organizer (EO) yang mendapat orderan untuk menyusun skenario unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja.
Sebab, dalam pandangannya, sejumlah pelaku kerusuhan saat aksi unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja beberapa waktu belakangan ini, tidak memiliki dinamika lapangan yang jelas. Berbeda dengan serikat buruh atau mahasiswa yang punya koordinator di lapangan.
"Saya khawatir bahwa yang menggerakkan demonstrasi belakangan ini adalah EO. EO ini didesain untuk menyediakan jasa demonstrasi dengan berbagai menu. Bisa menu damai hingga menu anarkis. EO ini hanya mencari insentif," kata Adi dalam diskusi virtual, Minggu, 18 Oktober.
Lembaga pengumpul massa ini, kata Adi, tak hanya digencarkan pada aksi tolak UU Cipta Kerja semata. Adi juga melihat gerakan EO ini terjadi pada aksi revisi Undang-Undang KPK di Gedung DPR RI dan sekitar Istana Negara setahun lalu.
BACA JUGA:
"Di Jabodetabek ini banyak sekali demo itu bisa dipesan kapan saja. Hari ini misalnya ada demo menolak revisi undang-undang KPK, besoknya bisa ada demo mendukung revisi undang-undang KPK," ungkap Adi.
Hal yang mendasari dugaan adanya EO sebagai penyelenggara aksi pesanan ini telah bekerja sejak gerakan aktivis tahun 1998 telah berkurang di Indonesia.
"Dulu ada simpul-simpul aktivis mahasiswa yang tergabung dalam demonstrasi misalnya itu Forkot, Elemende, atau aktivis Cipayung. Kalau ada massa yang tertangkap akibat rusuh, ini sudah teridentifikasi," jelasnya.
Semangat aksi ini mulai berkurang sejak tahun 2008, di mana panel saluran politik semakin terbuka seiring dengan perkembangan teknologi, seperti penggunaan ponsel dan media sosial.
"Sekarang, kalau mau ada protes, melalui Mahkamah Konstitusi, media sosial, atau gerakan politik yang sifatnya persuasif datang ke DPR ikut rapat. Sehingga, organ-organ demonstrasi ini mulai berkurang," imbuhnya.