Bukan UU Ciptaker, Demo yang Bantu Mereka: Alasan Kenapa 'Abang <i>Starling is Always There in Any Situation</i>'
Mang Engkus, pedagang starling yang kami temui di sekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Demonstrasi massa menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja meninggalkan banyak kisah. Beberapa menyoroti keberadaan starling alias "starbak keliling". Kata mereka, "abang starling is always there in any situation." Setelah pantauan aksi demo 8 Oktober berujung ricuh, kami kembali memantau aksi demo lanjutan pada Senin, 13 Oktober. Hari itu, kami coba menggali sisi menarik dari keberadaan starling di banyak aksi demo. Kami sadar, dalam konteks UU Cipta Kerja, demonstrasilah yang membantu kehidupan starling, bukan UU itu sendiri.

 [Klik untuk Menambah Rasa]

Suara bel sepeda berkali-kali lewat di telinga, terdengar di antara keriuhan massa demontrasi yang didominasi massa Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK NKRI). Kami berdiri di bawah sinar matahari yang terik. Upaya menghindari sesaknya manusia jadi nihil. Ribuan orang tumpah ruah di tempat kami berdiri di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Situasi yang panas dan sesak memancing naluri kami pada sumber kehidupan utama: air. Kerongkongan kami butuh dibasuh. Dan lagi-lagi dengan dorongan naluri, kami tahu suara bel yang berkali-kali kami dengar sebelumnya adalah sumber air yang kami cari.

"Kopi! Kopi!" seru Mang Engkus, penjaja minuman keliling. Mang Engkus dan teman-temannya lah yang biasa disebut starling, meski barang jualan mereka sejatinya tak cuma kopi. Mang Engkus menghentikan gowesan sepedanya setelah menyadari panggilan kami.

Usianya 50 tahun. Ia mengaku datang dari jauh: Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia datang ke Jakarta dengan modal uang kurang dari Rp1 juta. Uang itu ia alokasikan untuk membeli sepeda sebagai modal awal merintis bisnis starling.

Mang Engkus (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Kelenturan Mang Engkus luar biasa. Ia mampu menjangkau banyak kalangan. Dari kuli bangunan yang bekerja di proyek-proyek urban di kawasan Sudirman, pegawai Mal Grand Indonesia, hingga karyawan-karyawan kreatif di MNC Tower, meski waktunya paling banyak ia habiskan dengan mangkal di Taman Suropati, Menteng. Daya jelajah Mang Engkus terbilang luar biasa untuk pria seusianya.

Namun, kini ia tak bisa terlalu banyak bergerak. Bukan melemah. Tapi pandemi COVID-19 membatasi penjelajahannya. Pun jika harus bergerak, Mang Engkus tak akan mampu menjumpai orang-orang dengan jumlah sebanyak masa-masa sebelum pandemi.

Tak banyak yang dapat dilakukan Mang Engkus di situasi itu, hingga demonstrasi UU Cipta Kerja muncul bagai musim semi baginya. Hasil kesabarannya selama pandemi ia panen dalam satu, dua momen kumpul massa yang terjadi dalam dua pekan ke belakang.

"Saya tuh biasanya kan dagang di Menteng, Taman Suropati. Cuma kan sekarang lagi di-lockdown. Enggak dibuka-buka," ungkapnya.

Kepada kami, Mang Engkus juga menjawab keramaian media sosial yang sempat terjadi beberapa hari lalu, tentang keberadaan para starling di berbagai situasi, termasuk dalam demonstrasi berujung rusuh 8 Oktober lalu. Hal pertama yang ia ungkap pada kami adalah soal ketakutan yang sebenarnya ia rasakan harus berjualan di tengah demonstrasi, apalagi kerusuhan. Namun, apa boleh buat.

Mang Engkus juga merespons narasi banyak orang mengenai kepekaan mereka melihat situasi. Starling dinilai memiliki insting kuat memprediksi dinamika massa. Mereka bisa menempatkan diri di situasi dan suasana yang tepat. Hal yang menurut Mang Engkus terjadi secara alamiah.

"Ya saya takut, mah, takut. Tapi, ya sebisa mungkin cari aman. Jadi kalau ada rusuh-rusuh lari saja. Ada gas air mata, kabur," katanya.

"Kalau dulu, nih, enggak ke mana-mana. Udah di Taman Suropati saja biarpun ada demo. Jadi sekarang sampai ke sini-sini," katanya dalam logat sunda yang kental.

Dari Mang Engkus, kami bergerak menuju pagar berduri pemisah demonstran dengan aparat. Mencari jalan, akhirnya kami yang tadinya berada di barisan pendemo berpindah berada di barisan aparat di dekat Kantor Kemenko Polhukam. Di sana, kami menemui Hari, seorang pedagang kopi keliling yang tengah berbincang dengan beberapa pedagang lain.

Hari (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Berbeda dengan Engkus. Hari tidak tampak begitu sibuk. Sesekali dia bahkan sempat merokok. Kami mendatangi Hari dan memesan minuman dingin. Sambil mengaduk minuman, Hari bercerita, hari ini ia salah mangkal. Sisi pada barisan polisi tak memberinya uang sebanyak ketika ia mangkal di sisi demonstran, sebagaimana biasanya.

"Ini baru laku 20 gelas. Sedikit hitungannya. Cuma lagi kekepung sama ini (polisi), jadi enggak bisa keluar ... Enggak rugi. Karena yang penting kita tuh selamat," ungkapnya sembari tersenyum tipis.

Hari punya alasan kenapa ia kali itu mangkal di sisi aparat. Pada demo 8 Oktober, Hari mengalami kesialan. Selain terpapar gas air mata, dagangan Hari sempat "dirampok" oleh massa perusuh. "Jadi pas saya lihat ke belakang, udah enggak ada. Aduh, pada kemana itu. Saya bingung," katanya.

Dan soal kepekaan starling melihat dinamika massa, Hari menjawab pertanyaan itu dengan empiris. Detik itu, demonstrasi damai berubah rusuh, tepat beberapa saat setelah Hari menutup perbincangan bersama kami dengan kalimat: Saya duluan, mbak. Mau cari tempat aman.

Bukan UU Cipta Kerja tapi demonstrasi

Kepada Mang Engkus dan Hari, kami juga mengorek sudut pandang mereka terkait UU Cipta Kerja. Keduanya mengaku tak paham apa substansi dalam UU Cipta Kerja, apalagi keresahan banyak orang yang memicu protes begitu luas. Bagi mereka, yang terpenting adalah uang.

Engkus mengaku demonstrasi bisa memberinya keuntungan hingga Rp200 ribu per hari. Angka itu dua kali lipat dari hasil yang ia dapat di hari-hari lain. Hari pun begitu. Ia mengatakan demonstrasi memberinya lebih banyak pemasukan.

"Kalau lagi demo gini. Pokoknya alhamdulillah. Ada lebihannya buat makan," kata Hari.

Keduanya juga sepakat, UU tak pernah banyak mengubah hidup mereka. Sementara, dengan segala hormat, demonstrasi adalah berkah yang langsung mereka rasakan. Bukan salah Mang Engkus dan Hari. Sebab UU Cipta Kerja memang tak berdampak langsung bagi kelompok ultramikro macam pedagang starling.

Hal itu diamini Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Secara substansi, kelompok pedagang macam starling tak mendapat manfaat dari kemudahan perizinan, pendirian PT atau hal-hal lain yang dimuat dalam UU Cipta Kerja, yang konon berpihak pada pengusaha kecil.

"Pedagang kecil atau kelompok mikro dan ultramikro sebenarnya tidak mendapatkan manfaat langsung. Mereka tidak mendapatkan manfaat dari kemudahan perizinan, kemudahan mendirikan PT, dan sebagainya. Mereka juga tidak potensial masuk dalam supply chain dengan perusahaan besar," kata Piter kepada VOI, Kamis, 16 Oktober.

Mang Engkus menyiapkan minuman (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Pernyataan Piter sesuai dengan kajian yang dipaparkan situs awasomnibuslaw.org. Kajian yang dilakukan Aliansi Rakyat Bergerak, BEM FEB UI, serta Indonesian for Global Justice (IGJ), disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja tidak menjawab kebutuhan lapangan.

Kesulitan yang dihadapi UMKM dan sektor informal tidak terakomodir dalam UU Cipta Kerja. Hal itu berbanding teebalik dengan kebutuhan pengusaha sektor formal dan investor besar yang kepentingannya diatur sedemikian teliti dan menyeluruh di berbagai sektor.

"Bagi UMKM dan sektor informal, substansi RUU Cipta Kerja tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Misalnya soal basis data tunggal, pola kemitraan yang eksploitatif, dan revisi aturan koperasi ... Terlihat jelas bahwa UMKM dan sektor informal bukan merupakan fokus dari penyusun RUU Cipta Kerja," tertulis dalam kesimpulan kajian.

Namun, Piter merinci substansi yang menyangkut kepentingan UMKM dalam UU Cipta Kerja. Katanya, meski tak terdampak langsung, kelompok ultramikro macam starling mendapat manfaat tidak langsung, "ketika perekonomian mengalami booming akibat terjadinya lonjakan investasi, persaingan di level mikro dan ultramikro akan menurun karena banyak dari mereka akan terserap masuk ke sektor formal," kata Piter.

Jurnalisme Rasa Lainnya