JAKARTA - Jumlah halaman draf Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja terus berubah, bahkan ketika sudah dinyatakan final. Dari 1.028, 905, 1.035, hingga yang terakhir 812 halaman. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan perbedaan --terakhir khususnya-- terjadi karena perubahan format. Tak ada substansi yang diganggu. Bohong. Kami menemukan sejumlah perubahan. Hal ini merupakan kecurangan legislatif. Namun, kecurangan ini juga bisa jadi senjata melawan produk hukum ini di Mahkamah Konsitusi (MK).
Di awal keramaian isu pembahasan, ketika Omnibus Law Cipta Kerja masih RUU, tercatat drafnya berjumlah 1.028. Draf tersebut dapat diunggah melalui situs resmi Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Lalu, ketika disahkan menjadi UU pekan lalu, Senin, 5 Oktober, naskah yang beredar mengalami perubahan menjadi 905 halaman. Naskah tersebut beredar sebagai draf final RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dibacakan dalam paripurna.
Kemarin, Senin, 12 Oktober, salinan naskah beredar menunjukkan perubahan jumlah halaman menjadi 1.035. DPR mengonfirmasi naskah tersebut. Naskah ini berbeda dengan naskah pertama, RUU Cipta Kerja Juni lalu ataupun naskah dalam pembahasan terakhir September lalu. Pagi tadi, kembali beredar salinan lain dengan jumlah halaman yang lagi-lagi berubah. Kali ini menjadi 812 halaman.
Naskah 812 halaman disebut sebagai yang paling final dan segera diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan perbedaan terjadi karena perubahan format, yang semula menggunakan ukuran A4 (210x297 milimeter) menjadi ukuran legal: F4 atau folio (210x330 milimeter). Terkait perubahan substansi, Indra enggan bicara.
"Iya (812 halaman). Terakhir itu. Kan kertasnya pakai format legal. Kan tadi (draf dengan 1.035 halaman) pakai format A4. Sekarang pakai legal jadi 812 halaman ... Saya enggak mau soal substansi. Saya hanya administrasi," kata Indra kepada wartawan, Senin, 12 Oktober.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin lebih tegas menyatakan pembelaan tak ubah substansi. "Bagi sahabat-sahabat anggota dewan terhormat yang menyatakan ada substansi berubah baik ayat, pasal, dan kandungannya semua ada rekaman, notulensi. Ada catatannya," ungkapnya.
Ketentuan ukuran kertas dalam pembuatan UU memang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Aturan penggunaan kertas tercantum di bagian Penjelasan, tepatnya di Lampiran II tentang Teknik Penyusunan Undang-Undang. Huruf C poin 284 dalam Bab III tentang Ragam Bahasan Peraturan Perundang-Undangan di lampiran itu mengatur:
Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
Pendalaman
Kami mencoba mendalami perubahan format yang dimaksud. Temuan pertama kami, ada perubahan jumlah karakter. Mengonversi dua salinan PDF UU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi format Word, kami justru mendapatkan penambahan jumlah karakter di antara keduanya.
Salinan berjumlah halaman 1.035 terdiri dari 177.554 kata dan 1.306.373 karakter. Sementara, salinan 812 halaman terdiri dari 178.738 kata dan 1.314.779 karakter. Dengan kata lain, DPR tak cuma mengubah format kertas, jenis, serta ukuran font. Ada perubahan dalam editorial.
Tak perlu bicara substansi. Sejak awal, proses pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja telah bermasalah. Apalagi dengan perubahan ini. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) mengatakan seharusnya tak boleh ada perubahan apapun --kecuali format-- ketika sebuah UU telah disahkan dalam paripurna.
"Perubahan-perubahan yang berdampak pada pemaknaan yang berbeda pada dua naskah seharusnya tak bisa terjadi pascaparipurna, kecuali atas hasil keputusan paripurna, untuk satu dua hal yang disebutkan jelas pada rapat paripurna," kata Lucius, dihubungi VOI, Selasa, 13 Oktober.
"Faktanya tak ada pembicaraan soal adanya substansi yang masih perlu dirumuskan saat paripurna. Artinya tak ada ruang bagi munculnya norma baru dengan cara apapun. Bila ada maka sudah pasti bermasalah secara formil," tambahnya.
Atau, mari bicara substansi. Sebelum berubah menjadi 812 halaman, draf UU Omnibus Law Cipta Kerja telah menyalahi prinsip di atas. Kami mencatat perubahan substansi yang signifikan di dalam draf berjumlah 905 (5 Oktober) dan 1.035 (12 Oktober). Perubahan itu sama-sama terjadi pascaparipurna.
Perubahan pertama terdapat pada BAB IV KETENAGAKERJAAN atau Klaster Ketenagakerjaan. Perubahan itu mencakup lima pasal, tiga di antaranya terdapat pada Bagian Kedua Ketenagakerjaan dan dua lainnya ada pada Bagian Ketiga Jenis Program Jaminan Sosial. Mari kita lihat satu per satu.
Perubahan pertama ada pada Pasal 79 yang mengatur tentang waktu istirahat dan cuti. Ada penambahan klausul pada draf 12 Oktober. Dari yang tadinya lima Ayat, ditambahkan menjadi enam Ayat.
Ayat tersebut berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu pada Pasal 88A terkait hubungan kerja buruh dan perusahaan juga terjadi penambahan tiga Ayat pada draf versi 12 Oktober. Tiga Ayat tersebut yakni:
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.
Terakhir, terdapat sejumlah perubahan antara draf 905 dan 1.035 terkait ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kita ambil beberapa contoh.
Pertama, pada Ayat (1) poin a dalam draf UU Ciptaker versi 5 Oktober, dijelaskan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan.
Sedangkan pada draf versi 12 Oktober, peraturan pemutusan hubungan kerja pada poin a ditambah: perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh.
Selain itu, pada poin b terkait ketentuan PHK juga diubah. Pada draf 905 halaman, isi dari poin b PHK dapat terjadi bila perusahaan melakukan efisiensi. Sementara pada draf versi 1.035, poinnya diperpanjang menjadi: Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian.
Tertutup dan cacat formil
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus bilang adanya perubahan substansi pada draf tersebut semakin menguatkan dugaan cacat formil dalam perjalanan RUU Ciptaker ini. "Draf yang diputuskan di paripurna makin diutak-atik lagi dan mengubah makna yang ada dalam norma-norma yang sudah diputuskan di paripurna," kata Lucius saat dihubungi VOI.
Selain itu ia mengatakan adanya perubahan substansi itu juga mengonfirmasi bahwa proses pembahasan hingga pengesahan RUU Ciptaker ini memang dilakukan secara tertutup. "Rupanya ketertutupan itu punya dasar untuk memberikan kemudahan DPR dan pemerintah untuk mengubah klausul sesuai dengan keinginan mereka sampai di tahapan menyerahkan naskah final ke presiden untuk ditandatangan," ujarnya.
Namun, ada yang perlu diwaspadai dari segala kerumitan gonta-ganti jumlah halaman ini. Menurut Lucius, tersebarnya beberapa versi dari RUU Ciptaker ini merupakan taktik DPR untuk mengecoh publik. Sehingga hal itu membuka peluang DPR untuk menyisipkan naskah final sesungguhnya kepada pemerintah.
"Ini adalah agenda elite, DPR dengan pemerintah yang nampaknya secara sengaja tidak ingin membuka diri kepada publik untuk partisipasi pada proses pembahasannya. Karena tahu betul bahwa hal-hal yang ditolak publik, justru kemudian itu yang diakomodasi," tegasnya.
Jalan terakhir
Untuk itu, jalan terakhir untuk menggugat beleid ini tak lain melalui Mahkamah Konstitusi. Segala perubahan jumlah ini, di satu sisi dapat memperkuat narasi cacat formil dalam proses pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. "Dan itu pasti menguatkan pembuktian publik yang menggugat ke MK nanti," Lucius.
Lucius juga mengatakan bahwa gugatan judicial review ke MK harus diajukan secepat mungkin. Hal itu perlu untuk memastikan tidak ada upaya lanjutan dari pemerintah untuk mengubah-ubah hasil pembahasan sebelumnya sesuai dengan apa yang menjadi keputusan mereka.
BACA JUGA:
"Karena pasti penting di MK nanti pembuktian melalui risalah rapat dengan rekaman audio dan videonya untuk memastikan apakah yang kemudian ada dalam naskah final (UU Ciptaker) yang ditandatangani presiden itu benar-benar hasil pembahasan," beber Lucius.
Kata Lucius pengujian tersebut yang nanti bakal dibuktikan di MK. Makanya penting untuk publik yang mengajukan JR menyusun keberatannya dari sekarang. Bukti-bukti itu nanti akan diminta di MK untuk kemudian menjadi dasar pertimbangan, apakah cacat formil itu terbukti atau tidak," katanya.