<i>"Dumbing Down"</i> Gagal: Pembodohan Publik yang Justru Ciptakan Masyarakat Kritis
Demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ironi karena salinan yang diteken Jokowi nyatanya cacat. Banyak kesalahan editorial. Istana mengklarifikasi, menyebut hal itu sebagai maladministrasi belaka. Klarifikasi yang bahkan lebih ironi dari kesalahan itu sendiri. Masyarakat terus dibodohi dengan praktik "dumbing down". Bagai senjata makan tuan, karena kini orang-orang di pemerintahan justru menunjukkan kapasitas mereka sendiri.

Salinan yang diteken Jokowi berjumlah 1.187 halaman. Jumlah itu berbeda dengan draf final versi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diserahkan ke Jokowi pada 14 Oktober yang berjumlah 812 halaman. Terkait kesalahan editorial di 1.187 halaman yang diteken Jokowi, sejauh ini kami mencatat beberapa kejanggalan.

Pertama, Pasal 6 di Bab "Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha". Pasal tersebut berbunyi:

Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi:

(a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko;

(b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha;

(c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor;

(d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) keliru karena Pasal 5 tidak memiliki turunan ayat. Pasal 5 hanya berbunyi, "ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait."

Selanjutnya, kejanggalan terdapat dalam Pasal 175 di Bab "Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja". Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri dari lima ayat yang mengatur syarat sah keputusan pemerintahan yang rinciannya berbunyi:

Ayat (1): batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ayat (2): jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Ayat (3): dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.

Ayat (4): apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Ayat (5): ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Lalu, di mana kejanggalannya? Yakni seharusnya ketentuan dalam ayat (5) merujuk ke ayat (4). Sementara, dalam UU Cipta Kerja, tertulis merujuk pada ayat (3).

Perkara klasik salah ketik

Selasa siang, 3 November, Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) Pratikno mengakui ada kekeliruan teknis penulisan dalam UU Cipta Kerja. Pratikno bilang kekeliruan itu tak akan berpengaruh pada implementasi UU Cipta Kerja.

"Hari ini kami menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan ini bersifat teknis administrasi sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," kata Pratikno dalam keterangan tertulis. Kita catat ini sebagai "dumbing down" pertama dalam konteks salah ketik naskah UU Cipta Kerja. Kenapa?

Kesalahan ini bukan tak berpengaruh pada implementasi UU Cipta Kerja sebagaimana dikatakan Pratikno. Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti mengatakan segala kesalahan yang tercatat dalam UU Cipta Kerja dapat menyebabkan poin-poin yang bermasalah itu tak bisa dilaksanakan. Jadi, narasi Pratikno terbantahkan.

Mensesneg Pratikno (Sumber: Setgab)

"Apa dampak hukumnya? Pasal-pasal yang sudah diketahui salah tidak bisa dilaksanakan. Karena dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai dengan imajinasi penerap pasal saja. Harus persis seperti yang tertulis," kata Bivitri, Selasa, 3 November.

Dan menggampangkan perkara ini sebagai maladministrasi belaka adalah kekeliruan. Pembuatan UU bukan perkara main-main. Implikasinya luas menyangkut hajat hidup banyak orang. Bivitri mengatakan, "Penting sekali (pematangan UU), sehingga dikenal teori fiksi hukum, di mana bila sudah diumumkan, tidak ada orang yang boleh mengaku dirinya tidak mengetahui bahwa UU itu ada sehingga bisa menghindar dari kewajiban menerapkan UU itu."

Bivitri juga mengatakan kesalahan apapun dalam sebuah UU yang telah disahkan tidak dapat diubah begitu saja. Presiden harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengeluarkan pasal-pasal bermasalah tersebut.

"Kalau cuma perjanjian, bisa direnvoi, dengan membubuhkan tanda tangan semua pihak di samping. Kalau di UU tidak bisa, tidak diperbolehkan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011. Dan secara praktik tidak mungkin ada pembubuhan semua anggota DPR dan presiden di samping," ungkap Bivitri.

Apa yang disampaikan Pratikno mirip dengan yang dilakukan pemerintah pada Februari lalu. Kita catat sebagai "dumbing down" kedua. Kala itu UU Cipta Kerja masih berbentuk rancangan. Ada poin yang juga disoroti publik kala itu, yakni Pasal 170. Saat itu, Pasal 170 RUU Omnibus Law Cipta Kerja berbunyi: 

Ayat (1): Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

Ayat (2): Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal 170 ayat 2.

Ayat (3): Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Poin itu jadi masalah karena memberi ruang bagi pemerintah untuk mengganti isi UU dengan peraturan pemerintah (PP) ataupun peraturan presiden (Perpres). Saat itu pemerintah mengatakan kesalahan tersebut hanya salah ketik belaka. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD saat itu menyebut kesalahan itu sebagai hal lumrah.

"Kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan perpres, itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik," tutur Mahfud.

Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly melengkapi Mahfud, mengatakan bahwa tak ada niat buruk pemerintah untuk bermain curang menyelipkan pasal tersebut. Yasonna kala itu melempar tanggung jawab pengubahan poin itu kepada DPR.

Memang, saat itu bola panas pembahasan UU ada di tangan DPR. "Ya, ya, enggak bisa dong PP melawan Undang-Undang ... Tidak perlu (diperbaiki) karena nanti di DPR nanti akan diperbaiki," tutur Yasonna.

Dalam salinan terbaru 1.187 halaman yang disahkan Jokowi, Pasal 170 dihapus.

Salinan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Setneg.go.id)

"Dumbing down" yang gagal

Di luar berbagai permasalahan lain, salah ketik jadi salah satu perkara yang tak juga beres. Sejak awal payung hukum ini berbentuk rancangan, pun ketika telah disahkan jadi UU oleh tanda tangan RI-1. Dan respons pemerintah tetap sama: menganggap seakan-akan hal itu sepele.

Dalam teori politik, aksi yang dipertontonkan pemerintah dalam konteks ini dikenal dengan "dumbing down". Pemerintah tengah bermain dengan psikologis massa untuk membentuk sebuah realitas semu di kepala masyarakat dengan mempertontonkan hal-hal yang jelas-jelas tak masuk akal.

Dalam satu atau dua pertunjukkan, barangkali masyarakat masih terjaga dengan kritismenya. Namun, ketika pola-pola ini terus dilakukan, psikologis masyarakat pada akhirnya akan teralihkan dengan pemakluman-pemakluman.

Penulis Inggris, Ivo Mosley menggambarkan praktik dan tujuan "dumbing down" dalam tulisannya. Mosley menjelaskan "dumbing down" sebagai upaya jangka panjang penguasa menguasai rakyatnya lewat intervensi-intervensi psikologis.

Demo tolak Onmibus Law UU Cipta Kerja (Irfan Meidianto/VOI)

"Negara mengambil semacam realitas abstrak di benak kita, membuat kita berhenti mempertanyakan hal-hal yang dilakukan orang-orang dengan kekuatan yang kita berikan (lewat proses demokrasi) dan membiarkan mereka menjalankan kekuasaan di atas kita," terimbuh dalam tulisan berjudul Dumbing Down Democracy yang jadi bagian dari buku esai berjudul "Dumbing Down: Culture, Politics and the Mass Media" rilisan tahun 2000.

Praktik "dumbing down" ini diamini pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin. Menurut Ujang, ada upaya terstruktur yang dilakukan pemerintah untuk perlahan-lahan menguasai psikologi massa.

Tujuan akhir dari praktik dumbing down yang dilakukan pemerintah, menurut Ujang adalah melemahkan kontrol publik. Apatisme meningkat, kritisme melorot. Kontrol publik yang melemah akan membuat pemerintah lebih leluasa meloloskan produk hukum atau pun kebijakan-kebijakan yang sejatinya bermasalah.

Namun, hari ini upaya "dumbing down" terbukti gagal, bahkan jadi senjata makan tuan. Masyarakat yang diharap terbuai dengan pemakluman-pemakluman justru semakin cerdas dan terasah. Menariknya, yang membangun kritisme masyarakat justru upaya "dumbing down" kelewat masif yang dilakukan pemerintah sendiri.

"Rakyat sudah paham. Sudah sering dibodohi. Karena rakyat sering dibodohi, maka rakyat jadi sadar. Saat ini rakyat sudah cerdas, bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar." kata Ujang, dihubungi VOI, Selasa, 3 November.

Kekeliruan demi kekeliruan yang dilakukan pemerintah dalam pembentukan UU Cipta Kerja bahkan memperparah posisi pemerintah di mata masyarakat. "Kesalahan tersebut membuat kredibilitas pemerintah hancur di mata rakyat. Karena rakyat akan memandang, pemerintah tak bisa urus negara."

"Saat ini yang kelihangan akal pemerintah. Karena kinerjanya yang tak seberapa, akhirnya menjadi bulan-bulanan kritik dari publik."