JAKARTA - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin genap satu tahun pada Selasa, 20 Oktober. Pemerintah merilis laporan kinerja, termasuk bagaimana Jokowi-Ma'ruf memimpin penanganan pandemi COVID-19. Ujian terberat. Sangat banyak hal yang perlu dijelaskan ke publik. BAB tersebut mendominasi dengan penjelasan lebih dari 30 halaman. Semua yang tercatat baik. Artikel ini adalah pembanding, tentang apa saja yang tak dicatat dalam laporan kinerja satu tahun Jokowi-Ma'ruf.
“Jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Krisis ini harus kita manfaatkan sebagai momentum untuk melakukan lompatan besar,” tertulis sebagai kutipan Jokowi dalam pembukaan laporan.
Singkat, namun penting untuk didalami. Krisis ini memang sangat buruk dan begitu sulit dihadapi. Dunia panik. Puluhan juta orang terinfeksi virus corona. Jutaan orang meninggal. Tak ada satupun negara yang benar-benar berhasil. Lalu, bagaimana bisa pemerintah menyebut pandemi sebagai momentum melakukan lompatan besar?
Kami berbincang dengan epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman. Dicky berbahagia untuk kutipan itu. Namun, pernyataan pemerintah hanya masuk akal jika segala kebijakan dilakukan dengan cepat dan akurat. Pandemi memang menghancurkan. Namun, setiap negara harus belajar dan beradaptasi.
Segala kebijakan terkait pandemi harus diukur secara ilmiah untuk mencapai perbaikan sistem yang solid ke depan. Dicky menganalogikan pandemi bagi sebuah negara seperti serangan jantung untuk seseorang. Ketika selamat, orang itu harus mengubah pola hidup untuk menghindari ancaman serangan jantung berikutnya.
“Saya setuju. Tetapi harus betul-betul kebijakan dilakukan. Karena sekali lagi kita masuk dalam era pandemi, di mana pandemi ancamannya bisa semakin cepat. Gap-nya dulu lima tahun sekali. Sekarang bisa lebih cepat lagi. Maka ini harus jadi momentum untuk perbaikan sistem,” kata Dicky kepada VOI, Selasa, 20 Oktober.
Lalu, cukup sigapkah pemerintah? Menurut laporan kinerja versi pemerintah, ya. Namun, kami mencatat pandangan lain dari Dicky. Sejak kasus pertama muncul di bulan Maret, pemerintah belum juga memenuhi standar tes COVID-19. Ada peningkatan, memang. Namun tak cukup.
Situs Our World in Data mencatat rata-rata angka tes harian di Indonesia per 1 Agustus hingga 20 Oktober ada di angka 30 ribuan. Tes paling sedikit tercatat pada 2 Agustus dengan 6.428 tes. Sementara, tes tertinggi terjadi pada 23 September, dengan angka tes mencapai 56.563.
Pemerintah, pada Agustus lalu sempat mengakui jumlah tes harian Indonesia masih jauh di bawah standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Standar yang ditetapkan WHO kepada setiap negara adalah tes dengan rasio satu per seribu orang tiap pekan. Artinya, jika penduduk Indonesia ada 267 juta, maka idealnya pemerintah melakukan tes kepada 267.700 orang per pekan.
Laporan Jokowi-Ma'ruf juga memuat angka. Dalam data yang dihimpun per 11 Oktober, otoritas mencantumkan rasio, namun dengan variabel berbeda. Jika standar WHO menetapkan angka satu per seribu orang tiap pekan, laporan otoritas mencantumkan angka 8.539 spesimen per satu juta penduduk. Dengan angka itu, artinya ada 2,31 juta orang yang telah dites.
Linimasa
Hal menarik lain dari narasi kesigapan pemerintah adalah pencantuman linimasa atau timeline, yang memuat respons pemerintah dari waktu ke waktu. Dimulai dari pengumuman virus pertama di China pada Desember 2019, evakuasi WNI dari Wuhan ke Natuna untuk kemudian dikarantina pada Februari 2020, penetapan status Bencana Nasional dan larangan mudik Lebaran pada April 2020, hingga keputusan menggeser pilkada ke bulan Desember yang diumumkan Mei. Berikut potongan dari lembar laporan versi pemerintah.
Segalanya tentu benar. Namun, begitu banyak yang tak tercatat. Kita harus mengakui progres dan pembenahan yang dilakukan pemerintah. Namun, jika bicara respons dan kesigapan, kita juga perlu mengingat respons pemerintah Indonesia di masa-masa awal pandemi menyerang dunia. Beberapa yang kami ingat sangat konyol.
Jauh sebelum hari ini, tepatnya 31 Desember 2019, otoritas China melaporkan kasus pneumonia jenis baru --belakangan diidentifikasi disebabkan virus corona jenis baru-- kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 11 Januari, dua hari setelah WHO memublikasikan prosedur deteksi virus corona baru, kematian pertama dilaporkan di China.
Empat hari berselang setelah kematian itu, WHO memperingatkan potensi penyebaran virus berdasar bukti penularan antarmanusia. Rumah sakit di seluruh dunia diminta waspada. Hari yang sama, di Indonesia, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mengimbau semua pihak di dalam negeri waspada. Pelabuhan dan bandara disiagakan. Di tanggal 20 Januari, kasus pertama di luar China dilaporkan di Jepang, Korea Selatan, dan Thailand.
Pemerintah Indonesia merespons dengan mengaktifkan alat pemindai suhu tubuh di seluruh pintu masuk negara, baik darat atau pun udara. Situasi di China semakin gawat. 23 Januari, pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown di Kota Wuhan.
Kekhawatiran dunia makin meningkat. Namun, 27 Januari, Jokowi memastikan tak ada indikasi masuknya virus corona ke Indonesia. Satu hari berselang, Indonesia menetapkan travel warning ke Provinsi Hubei. Pada 30 Januari, WHO mendeklarasikan status gawat darurat untuk wabah virus corona. Memasuki bulan februari, penyebaran virus corona di dunia makin meluas. Bulan ini adalah bulan terberat bagi China dan beberapa negara lain yang telah terdampak.
Bagi Indonesia, bulan Februari justru sangat cerah. Pemangku kepentingan malah doyan-doyannya berguyon. Tanggal 3 Maret, di Gedung Parlemen, anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning berseloroh soal singkatan corona yang ia sebut "komunitas rondo --dalam bahasa jawa berarti janda-- memesona". Selorohan itu disampaikan dalam rapat kerja bersama Menkes Terawan.
"Itu tadi dijabarkan sama ahli paru itu di Metro TV, kalau enggak salah, saya lihat. Ini lebih bahaya MERS dan SARS, dibanding itu, daripada si corona. Kecuali komunitas rondo memesona. Bahaya itu penghuni 'korona'-nya itu, sebab hati-hati itu, ya kan," kata Ribka yang disambut tawa para peserta rapat, dilansir Warta Ekonomi.
Tanggal 5 Februari, kasus dalam jumlah besar tercatat. 3.600 penumpang kapal pesiar Diamond Princess dikarantina di Pelabuhan Yokohama, Jepang. Kasus ini jadi kasus terbesar pertama di luar China. Di hari yang sama, WNI pertama di Singapura terkonfirmasi positif. Setali, Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS) menyampaikan pertanda buruk hari itu. Lewat sebuah studi yang terbit di jurnal medRxiv, para peneliti menyimpulkan Indonesia seharusnya sudah mengonfirmasi kasus di dalam negeri.
Kejadian lain di hari itu, Indonesia resmi tutup penerbangan dari dan menuju China setelah menerima rujukan Public Health Emergencies of International Concern (PHEIC) dari WHO. Namun, sehari setelah penutupan, 285 warga negara China tercatat masuk ke Indonesia. Tiga orang lagi datang menyusul pada 8 Februari.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea dan Cukai, Syarif Hidayat menjelaskan, kemungkinan warga negara China bisa masuk karena datang dengan maskapai dari negara selain China. "Bisa saja melalui pesawat lain. Melalui Singapura, melalui Timor Leste," kata Syarif, ditulis Tirto.
Sikap serupa yang ditunjukkan Ribka turut dipertontonkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, ketika wartawan menanyakan dugaan virus corona di Batam. Luhut menjawab, "(Corona masuk Batam?) Hah? Mobil Corona?" katanya, ditulis Detik.
Hari demi hari, kabar keberadaan virus corona di Indonesia menguat. Pemerintah saat itu dianggap menutupi kebenaran. Terawan merespons dengan menantang Universitas Harvard membuktikan studinya secara langsung. "Ya, Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," kata Terawan.
Pada 13 Februari, perusahaan Singapura, Temasek Foundation menawarkan bantuan alat pengujian virus corona kepada Indonesia. Indonesia diminta serius melakukan deteksi. Namun, bantuan itu ditolak Terawan karena merasa alat yang dimiliki otoritas Indonesia telah sesuai dengan standar WHO. Belakangan, Jokowi membantah penolakan itu.
Beberapa hari berselang, giliran Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi yang berkelakar. Menurutnya, orang Indonesia memiliki kekebalan tubuh super karena gemar memakan nasi kucing. "Tapi (ini) guyonan sama Pak Presiden, ya. Insyaallah, ya, (virus) COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal," tutur Budi ditulis Republika. Satu bulan setelah pernyataan ini, tepatnya 16 Maret, Budi Karya dinyatakan positif COVID-19.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga ikut-ikutan. Ia menyebut sulitnya perizinan investor di Indonesia turut berdampak pada sulitnya virus corona masuk ke Indonesia. "Sampai katanya virus korona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah," katanya.
Pada 21 Februari, lonjakan kasus atau outbreak terjadi di Korea Selatan. Penyebaran amat cepat terjadi di Gereja Shincheonji, Kota Daegu. Keadaan semakin gawat. Dua hari setelah outbreak di Korea Selatan, Italia memutuskan me-lockdown sejumlah wilayah. Sepuluh kota di Lombardy ditutup aksesnya.
Di tengah kondisi ini, sebuah ide "brilian" muncul di kepala pemerintah Indonesia. Mereka menganggarkan Rp72 miliar untuk mempromosikan pariwisata Indonesia lewat buzzer di media sosial. Hal ini dilakukan untuk menangkal dampak COVID-19 terhadap sektor pariwisata. Pemerintah berstrategi menyasar wisatawan dari negara yang --saat itu-- masih aman, seperti Australia dan beberapa negara Eropa yang tak terdampak.
Selain buzzer, pemerintah juga menggelontorkan dana Rp443,39 miliar sebagai insentif 30 persen diskon tiket pesawat ke sepuluh tujuan wisata di Indonesia. Diskon yang diberlakukan Maret sampai Mei 2020 itu ditargetkan untuk dinikmati 25 persen penumpang per pesawat. "Kami beri dukungan untuk sepuluh destinasi wisata untuk tidak memungut pajak hotel dan restoran," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Pada 2 Maret, Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus COVID-19 pertama di dalam negeri. Seorang ibu 61 tahun dan anaknya, 31 tahun, yang berdomisili di Depok, Jawa Barat dinyatakan positif. Jokowi, dalam kesempatan itu menyatakan Indonesia siap menangani COVID-19. "Sejak awal, pemerintah benar-benar mempersiapkan. Rumah sakit lebih dari seratus dengan ruang isolasi yang baik," kata Jokowi hari itu.
Hari yang sama, di tempat berbeda, Menkes Terawan Agus Putranto menjelaskan, penularan pertama terjadi pada pasien 31 tahun yang berdansa dengan seorang warga Jepang pada 14 Februari. Setelah dansa di malam valentine itu, ia mengalami batuk berkepanjangan hingga akhirnya dinyatakan positif COVID-19 pada 28 Februari.
Yang jadi masalah, identifikasi virus corona baru dipastikan setelah si warga Jepang memberi kabar kepada pasien 31 tahun bahwa si warga Jepang dinyatakan positif COVID-19 oleh rumah sakit di Malaysia. Ada yang tidak beres di sini. Pertama, virus tak teridentifikasi sejak awal. Hal itu berimplikasi pada perawatan terhadap dua pasien yang dilakukan di luar ruangan isolasi. Bayangkan, apa jadinya jika warga Jepang tak pernah menelepon?
Kelemahan ini diakui Juru Bicara Kemenkes Achmad Yurianto kepada VOI. Ia mengakui keterlambatan otoritas mengidentifikasi virus corona di dalam tubuh pasien. "Memang, kalau tidak ada telepon, kita akan semakin telat mengetahuinya. Semakin telat ... Seandainya tidak ada telepon, mungkin RS yang merawat tidak segera memindahkannya," katanya di Kantor Kemenkes pada Selasa, 3 Maret.
Ada beberapa alasan yang menurut Yuri jadi kendala otoritas mengidentifikasi. Pertama, pasien pengidap tidak menyadari dirinya terjangkit virus. Ia tak tahu warga Jepang yang berdansa dengannya telah terpapar. Kedua, yang rasanya juga dirasakan banyak orang, bahwa pada dasarnya gejala COVID-19 mirip dengan beberapa penyakit lain.
Meski begitu, Yuri menolak disebut abai. Menurutnya, setelah ada informasi dari pihak ketiga, RS Mitra Keluarga langsung bertindak memindahkan kedua pasien ke RSPI Sulianti Saroso. "Tapi, ketika ada informasi, ada contact tracking-nya, maka langsung rumah sakit yang merawat memindahkan," tutur Yuri.
Simpang siur diagnosis ini juga sempat terjadi. Seorang pria di Cianjur dinyatakan positif COVID-19 setelah meninggal dunia. Di awal peristiwa kematian korban, Plt Bupati Cianjur Herman Suherman sempat menyatakan kematian korban adalah kasus COVID-19.
Herman kemudian ditegur oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Herman disebut Mahfud telah menyebar kabar sembarang. Lebih parah lagi, pemerintah pusat meminta pemerintah di daerah tak banyak cakap. Otoritas sepenuhnya ada di tangan pemerintah pusat.
Namun, belakangan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengonfirmasi kematian itu sebagai kasus COVID-19. Istri dan anak korban pun dipastikan dalam kondisi tertular. Mahfud, diam, tak lagi menimpali.
Tiga hari setelah pengumuman, Mahfud membuat pertanyaan bahwa kematian virus corona tak lebih banyak dari jumlah korban meninggal akibat penyakit flu biasa. "Flu biasa itu lebih banyak korbannya yang meninggal," kata Mahfud, ditulis Suara.com. Di hari yang sama, Indonesia melarang masuk pendatang dari Italia, Korsel, dan Iran, tiga negara yang saat itu terdampak paling parah.
Empat hari berselang, pertama kalinya Indonesia mencatatkan peningkatan drastis kasus COVID-19, dari tujuh orang di tanggal 8 Maret hingga 13 orang di hari itu. Esokan harinya, WHO mendorong Indonesia menetapkan status darurat nasional COVID-19. Dorongan itu direspons dengan penetapan status Bencana Nasional Nonalam untuk COVID-19 pada 14 Maret. Status darurat pertama.
Kolaborasi solid, katanya
Pemerintah, dalam laporan itu juga mengklaim kolaborasi apik yang dilakukan, baik secara nasional maupun internasional. Pemerintah, di halaman 10 laporan menulis sebuah paragraf yang pada intinya mengklaim bahwa Indonesia mampu berkolaborasi dengan negara lain dunia dalam menghadapi pandemi.
Entah kolaborasi apa yang dimaksud karena infografis dalam halaman itu tak merinci apapun, kecuali jumlah kasus, korban meninggal dan korban sembuh negara-negara dengan kasus COVID-19 tertinggi, seperti Amerika Serikat (AS), Brazil, hingga Argentina. Halaman itu juga mencantumkan angka 19 sebagai peringkat Indonesia.
Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman tak melihat alasan apapun untuk menyebut pemerintah telah melakukan kolaborasi solid --selain memang karena tak dijelaskan dalam laporan-- dengan dunia internasional. Dicky justru mengatakan, jangankan dengan AS, Brazil, dan Argentina, dengan negara ASEAN saja tak ada kolaborasi signifikan yang tampak.
“Kolaborasinya kurang, ya. Di antara sesama negara ASEAN, hanya beberapa negara yang dapat merespons dengan cepat dan tepat pada awal dari terjadinya pandemi ini. Sehingga itu yang menyebabkan tren dari pengendalian pandemi di kawasan ASEAN ini hanya sedikit negara yang mencapai tahap berhasil. Terutama, negara-negara yang merespons sedari awal secara cepat dan tepat, seperti Singapura, Thailand, Vietnam, belakangan Malaysia,” tutur Dicky kepada VOI, Selasa, 20 Oktober.
Lalu, kolaborasi tingkat nasional dengan pemerintahan di daerah. Pemerintah pusat di bawah Jokowi jelas mengalami banyak kendala. Ketidakcakapan pemerintah pusat mengoordinir pergerakan daerah sangat terbaca. Survei Indikator Politik Indonesia menghimpun penilaian responden terkait perbandingan penanganan COVID-19 oleh pemerintah daerah dan pusat.
Hasilnya, hanya 36,8 persen kelompok elite yang menilai kinerja pemerintah pusat baik atau sangat baik dalam menangani wabah virus corona. Sementara, 28 persen responden menganggap biasa saja. Sisanya, 34,9 persen bahkan menilai penanganan COVID-19 oleh pemerintah pusat buruk atau sangat buruk.
Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi mengatakan nilai itu lebih rendah dibanding penilaian kelompok elite terkait penanganan pandemi oleh pemerintah provinsi (pemprov) yang mencapai nilai 49,1 persen. Jumlah responden itu memandang baik atau sangat baik penanganan COVID-19 oleh pemprov.
IPI melibatkan kalangan spesifik dalam survei ini. Responden survei yang berjumlah 304 orang, dijelaskan Burhanuddin terdiri dari akademisi, redaktur media massa, pengamat kesehatan, organisasi profesi, hingga LSM di 20 kota se-Indonesia.
Jika ada hal yang patut dipuji dalam laporan kinerja Jokowi-Ma'ruf, barangkali terkait inovasi. Dalam laporan itu tertulis:
Kreativitas seringkali muncul di tengah kesulitan dan krisis. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggalang inovasi di bidang teknologi. Tidak kurang dari 60 inovasi hasil riset dikembangkan untuk menghadapi pandemi. Produk Inovasi Utama di antaranya Robot Dekontaminasi, atau Rapid Diagnostic Test Microchip, Robot Medical Assistant ITS-UNAIR (RAISA) hingga Mobile Ventilator Low Cost berhasil ditemukan untuk memudahkan perlawanan pada pandemi. Sementara itu ada pula hasil Produk Inovasi Pendukung yang menghasilkan produk-produk makanan dan minuman dengan bahan alami untuk menjaga kesehatan tubuh.
BACA JUGA:
Dicky mengamini perkembangan inovasi itu. Hal baik, jelas. Pemerintah, dalam konteks ini tinggal mendorong penyempurnaan dan mendorong lebih banyak kemunculan inovasi lain berbasis produk lokal. Misalnya, untuk mengembangkan alat rapid test, anti-gen, dan sebagainya. Tanpa adanya daya dukung lokal dan nasional yang kuat, pemerintah sendiri akan kepayahan melawan COVID-19.
Ambil contoh saat Indonesia dibuat repot dengan kekurangan APD, hand sanitizer, hingga masker. Kepercayaan terhadap produk lokal harus lebih ditingkatkan, kata Dicky. Dalam kondisi ini, setiap negara akan menyimpan cadangan produknya sendiri. Maka, membuat segalanya di dalam negeri dengan sumber daya sendiri adalah langkah paling masuk akal.
Bersamaan dengan itu, badan riset harus didorong lebih jauh lagi. Badan-badan riset harus didorong untuk memenuhi standar lembaga riset internasional. Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM), terutama, yang jadi sangat penting dalam pengembangan obat dan pengadaan vaksin ke depan. Selain konteks obat dan vaksin, BPOM juga harus mampu memainkan peran sebagai pengontrol kualitas alat kesehatan.
“Ini yang artinya peran BPOM sangat krusial dalam pandemi. Selain tentu Kementerian Kesehatan seharusnya yang sangat penting. Nah, BPOM ini dalam beberapa kesempatan sejauh ini sudah menunjukkan perannya yang sentral dan terjaga secara integritas itu saya akui dan saya apresiasi. Termasuk masalah menjaga obat dan segala macam. Ini yang harus terus ditingkatkan,” tutup Dicky.