DPR dan Ekonom Tawarkan Usulan untuk Cegah PHK Massal
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sebagai dampak pandemi virus corona atau COVID-19, akan mengarah pada mati surinya mesin ekonomi. Apabila gelombang PHK tersebut tak bisa dielakkan, kepailitan atau kebangkrutan massal juga bisa terjadi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mengusulkan model dukungan gaji atau income support. Menurut dia, pemerintah bisa menerapkan model tersebut sebagai upaya untuk mencegah gelombang PHK.

Income support adalah kebijakan pemerintah untuk membantu pembayaran sebagian gaji karyawan dan mencegah terjadinya PHK.

"Kebijakan ini memang tidak lazim. Namun kondisi perekonomian dunia juga dilanda krisis global. Sehingga negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Amerika Serikat menerapkan kebijakan income support ini," katanya, dalam acara diskusi virtual bertajuk "Mencegah PHK Massal Menyelamatkan Ekonomi Nasional", di Jakarta, Jumat, 17 April.

Politisi PAN ini berpandangan, kenaikan angka PHK di tengah pandemi COVID-19 ini sangat cepat. Tidak hanya terjadi di sektor formal, namun juga telah merambah maupun sektor informal. Padahal sektor informal turut menjadi penyangga ekonomi nasional selama ini.

"Dampak PHK menimbulkan masalah sosial dan membebani APBN. Belum lagi arus pekerja yang kembali ke kampung halaman akan menjadi tambahan beban bagi daerah," tuturnya.

Eddy mengatakan, dalam kondisi darurat sekarang, keputusan yang cepat dan tepat sasaran ditunggu oleh dunia usaha, baik sektor industri maupun UMKM. 

Menurut dia, pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahwa sudah ada 1.5 juta pekerja yang dirumahkan dan 10 persen di antaranya terkena PHK adalah fakta yang sangat mengkhawatirkan.

"Jangan sampai kita terlambat dan salah menentukan kebijakan. Karena kegagalan menangani gelombang PHK akan mengakibatkan dunia usaha pailit dan naiknya kredit macet di bank," jelasnya.

Potong Gaji

Sementara itu, untuk menangani pandemi COVID-19 ini dibutuhkan solidaritas sosial dari semua pihak, tanpa terkecuali Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Terlebih, stimulus dan realokasi anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan COVID-19 ini masih dirasa kurang.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, global bond atau surat utang dengan tenor mencapai 50 tahun hanya akan membuat anak dan cucu menanggung beban atas pembiayaan terhadap krisis di tahun 2020.

Menurut Bhima, daripada menerbitkan global bond akan lebih baik jika pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, Wakil Presiden Maruf Amin hingga Stafsus Millenial menyumbangkan sebagian gajinya untuk membantu penanganan COVID-19.

Bhima menjelaskan, pemotongan gaji adalah upaya yang dapat diambil pemerintah dalam rangka turut membangun solidaritas bersama membantu masyarakat terdampak COVID-19.

"Tidak ada solidaritas yang menunjukkan dari pemerintah pusat. Saya enggak ngerti kenapa gaji Presiden, Wakil Presiden, Status Milenial itu tidak disumbangkan. Misalkan 50 persen sampai 60 persen, untuk penanganan COVID-19," katanya.

Lebih lanjut, Bhima menegaskan, usulan terkait pemotongan gaji Presiden, Wakil Presiden hingga Status Milenial ini hanya satu opsi untuk mencoba membangun kesadaran kolektif. Disamping stimulus anggaran untuk menguatkan sektor ekonomi juga perlu ditambah dan harus tetap sasaran.

"Jadi saya pingin ngomong bahwa opsi untuk utang itu, bahkan opsi yang paling akhir. Setelah kita melakukan relokasi-relokasi anggaran yang memang signifikan. Tapi itu tidak dilakukan di Indonesia. Jadi ini yang menjadi catatan, rekomendasi yang harapannya memang bisa membuat recovery," jelasnya.