Tak Ada Niat Jahat Pemerintah dalam RUU Ciptaker Kecuali Salah Ketik dan Kita Harus Percaya Itu
Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Negeri ini beruntung. Di tengah banyaknya pemerintahan negara lain yang menggencet pekerja lewat produk hukum berorientasi investasi atau Undang-Undang (UU) yang pro pada kelanggengan korupsi, Indonesia justru memiliki pemerintah yang baik budi. Kalau pun ada beberapa produk UU serupa negara lain yang poin-poinnya membahayakan hajat rakyat, nyatanya hanya kesalahan ketik. Kita beruntung.

Menteri Koordinator bidang Poilitik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD adalah sejatinya pencerah bagi publik. Kehadirannya menjernihkan. Soal Pasal 170 RUU Omnibus Cipta Kerja (Ciptaker) bermuat poin yang substansinya memberi kewenangan pada presiden untuk mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP), menurut Mahfud adalah kekeliruan dan salah ketik belaka.

Kata Mahfud, UU tak akan bisa digantikan dengan PP. Hanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang bisa, sebagaimana yang beberapa kali dilakukan pemerintah dari periode ke periode. "Kalau lewat Perppu kan sejak dulu (dilakukan). Sejak dulu sampai kapan pun bisa. Tapi, kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik," tutur Mahfud beberapa waktu lalu.

Adapun Pasal 170 RUU Omnibus Cipta Kerja berbunyi:

Pasal 170

Ayat (1)

Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

Ayat (2)

Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal 170 ayat 2.

Ayat (3)

Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Menkopolhukam Mahfud MD (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Mahfud tak cuma pencerah. Ia juga obat tenang bagi hati rakyat. Beberapa hari setelah pernyataan soal salah ketik, Mahfud kembali dengan pernyataan yang amat menenangkan. Mahfud menyebut kesalahan teknis penulisan draf RUU adalah hal yang lumrah. Jadi, masyarakat pun harus maklum. Kita harus tenang. Tak perlu ambil pusing. Pemerintah dipastikan di jalur yang tepat: peningkatan ekonomi.

"Ya, gate-nya di perekonomian itu, cuma satu. Terakhir, ada perbaikan, ada keliru. Itu saja. Kan itu sudah tidak apa-apa. Sudah biasa kekeliruan itu," ungkap Mahfud kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 18 Februari.

Tak cuma Mahfud. Penggawa berintegritas lain di Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 adalah Yasonna Laoly. Melengkapi Mahfud, Yasonna juga dengan bijaksana meredam polemik dengan menyebut tak ada niat pemerintah bermain curang dengan menyelipkan pasal tersebut. Masyarakat-masyarakat yang hobi suuzan rasanya perlu minggir sejenak. Beri jalan bagi segala kebenaran yang disampaikan Sang Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM).

Menurut Yasonna, salah ketik itu terjadi dalam proses pembuatan RUU sebelum diserahkan ke DPR RI. Maka, Yasonna menegaskan kini tanggung jawab memperbaiki draf tersebut ada di DPR. Bukan lagi di pemerintah. "Ya, ya, enggak bisa dong PP melawan Undang-Undang ... Tidak perlu (diperbaiki) karena nanti di DPR nanti akan diperbaiki," tutur Yasonna, salah satu menteri terbaik dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Banyak alasan mengamini bahwa pemerintah tak pernah memiliki sedikit pun niat buruk dalam perancangan RUU Omnibus Citaker. Bahwa pemerintah memang hanya keliru. Khilaf. Toh, kejadian salah ketik macam ini bukan kali pertama. Dalam revisi UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya.

Saat itu, kesalahan pengetikan baru diketahui publik setelah draf RUU KPK disahkan menjadi UU KPK lewat sidang Paripurna di DPR RI pada 17 September 2019. Kesalahan ketik itu terdapat dalam Pasal 29 yang menyatakan pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan paling rendah 50 tahun dalam tulisan angka, sedangkan keterangan tertulisnya justru menyebut 40 tahun. Akibatnya, Jokowi sempat melakukan penundaan saat akan menandatangani UU tersebut.

Demo tolak UU KPK (Twitter/@gejayanmemanggil)

Upaya panjang membodohi publik

Kami bisa saja melihat Mahfud dan Yasonna beserta pernyataan keduanya sebagai obat damai dan penjernih prasangka-prasangka rakyat. Tapi, nyatanya, ilmu politik berkata lain. Adalah "dumbing down", istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi ketika pemerintah bermain dengan psikologis massa untuk membentuk sebuah realitas semu di kepala masyarakat.

Praktik dumbing down dalam kasus salah ketik ini juga ditangkap pengamat politik, Ujang Komarudin. Menurut Ujang, ada upaya terstruktur yang dilakukan pemerintah untuk perlahan-lahan menguasai psikologi massa dengan cara mengalihkannya. Hari ini masyarakat boleh pecah dengan segala protes dan kritikannya. Tapi, ketika pola ini terus dilakukan, psikologis masyarakat pada akhirnya akan teralihkan dengan pemakluman-pemakluman.

Seperti yang dikatakan Mahfud, bahwa salah ketik dalam proses merancang UU adalah hal biasa. Biasa. "Masyarakat kemudian dibuat bingung (dengan adanya alasan kesalahan teknis). Akibatnya, masyarakat menjadi tidak kritis (di kemudian hari)," tutur Ujang, dalam perbincangan, Selasa, 19 Februari.

Tujuan akhir dari praktik dumbing down yang dilakukan pemerintah, menurut Ujang adalah melemahkan kontrol publik. Apatisme meningkat, kritisme melorot. Kontrol publik yang melemah akan membuat pemerintah lebih leluasa meloloskan produk hukum atau pun kebijakan-kebijakan yang sejatinya bermasalah.

"Sehingga, kalau hal ini sudah terjadi (kritisme turun dan apatisme meningkat), pemerintah dan DPR bisa seenaknya saja meloloskan RUU karena tidak ada kontrol dari publik," kata Ujang.

Demonstrasi penolakan RUU Omnibus Citaker (Mery Handayani/VOI)

Praktik dan tujuan dumbing down yang dilakukan pemerintah hari ini juga digambarkan oleh Ivo Mosley dalam tulisannya. Ia menggambarkan dumbing down sebagai upaya jangka panjang pemerintah menguasai rakyatnya lewat intervensi-intervensi psikologis. 

"Negara mengambil semacam realitas abstrak di benak kita, membuat kita berhenti mempertanyakan hal-hal yang dilakukan orang-orang dengan kekuatan yang kita berikan (lewat proses demokrasi) dan membiarkan mereka menjalankan kekuasaan di atas kita," terimbuh dalam tulisan berjudul Dumbing Down Democracy yang jadi bagian dari buku esai berjudul Dumbing Down: Culture, Politics and the Mass Media rilisan tahun 2000.