Baleg Setuju RUU Ciptaker Dibawa ke Rapat Paripurna DPR, Demokrat dan PKS Menolak
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI pada Sabtu, 3 Oktober menyetujui Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) dibawa dalam Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi undang-undang (UU).

"Apakah RUU Ciptaker ini bisa disetujui untuk dibawa pada Tingkat II?" kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Raker Baleg di Kompleks Parlemen, Jakarta, dilansir Antara, Sabtu, 3 Oktober.

Seluruh anggota Baleg DPR bersama pemerintah dan DPD RI menyatakan setuju.

Dia menjelaskan, dalam pandangan mini fraksi yang disampaikan perwakilan fraksi-fraksi, ada dua fraksi yang menyatakan menolak persetujuan RUU Ciptaker yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.

"Ada tujuh fraksi menerima dan dua menolak, dan sesuai harapan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bahwa komunikasi tetap terbuka sampai menjelang Rapat Paripurna DPR," ujarnya.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya mengatakan, RUU tentang Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden dan merupakan RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.

Menurut dia, RUU Ciptaker merupakan RUU pertama yang setiap pembahasannya dilakukan secara terbuka dan transparan yang disiarkan melalui TV Parlemen dan media sosial DPR sebagai komitmen terhadap reformasi parlemen.

Willy mengatakan ada beberapa hal pokok yang mengemuka dan disepakati dalam RUU Cipta Kerja dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) antara lain pertama, penataan dan perbaikan sistem perizinan berusaha berdasarkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dianut dalam UUD NRI Tahun 1945.

"Kedua, pemda turut serta dalam mewujudkan keberhasilan cipta kerja. Oleh karena itu, kewenangan pemda tetap dipertahankan sesuai dengan asas otonomi daerah dalam bingkai NKRI. Pelaksanaan kewenangan pemda sesuai dengan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat," katanya.

Ketiga, menurut dia, konsep "Risk Based Approach" (RBA) menjadi dasar dan menjiwai RUU Cipta Kerja serta sistem perizinan berusaha berbasis elektronik. Keempat, kebijakan kemudahan berusaha, untuk semua pelaku usaha, mulai dari UMKM, koperasi sampai usaha besar.

"Penguatan kelembagaan UMKM dan Koperasi melalui berbagai kemudahan dan fasilitas berusaha. Kelima, kebijakan pengintegrasian satu peta nasional, yang meliputi wilayah darat dan laut," ujarnya.

Keenam, menurut dia, pengaturan mengenai perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kerja/buruh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ketujuh, pengaturan mengenai kebijakan kemudahan berusaha di Kawasan Ekonomi, pelaksanaan investasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional, serta pelayanan administrasi pemerintahan untuk memudahkan prosedur birokrasi dalam rangka cipta kerja.

Dalam raker tersebut juga hadir secara fisik Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.

Penolakan Fraksi PKS

Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR RI menolak penetapan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada pengambilan keputusan tingkat I atas hasil Pembahasan RUU tentang Cipta Kerja oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada Sabtu malam.

"Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang," kata anggota Baleg DPR RI FPKS Ledia Hanifa Amaliah. 

Menurut dia, FPKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

Oleh karena itu, dia menilai diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.

Ledia menjelaskan ada beberapa catatan FPKS DPR RI terkait RUU Ciptaker, pertama FPKS memandang pembahasan RUU itu pada masa pandemi COVID-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

"Kedua, banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," ujarnya.

Ketiga, menurut Ledia, FPKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun "resep" meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.

Dia menilai pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukan masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi misalnya ketidaktepatan itu adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif.

"Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha," katanya.

Keempat, menurut dia, secara substansi sejumlah ketentuan dalam RUU itu masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amendemen konstitusi.

Dia menjelaskan ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Ciptaker adalah ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

"Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon," ujarnya.

Dia menilai RUU Ciptaker memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup misalnya dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

Menurut dia, RUU itu juga memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah namun kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya.

"Seyogianya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan administrasi yang modern," ujarnya.

Partai Demokrat Menolak

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Hinca Pandjaitan mengatakan fraksinya menolak Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) disetujui menjadi UU karena banyak hal yang harus dibahas kembali secara mendalam dan komprehensif.

"Fraksi Demokrat menilai tidak perlu terburu-buru dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, dan kami menyarankan dilakukan pembahasan lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan," kata Hinca dalam Rapat Kerja Baleg bersama pemerintah dan DPD RI.

Hinca menjelaskan ada tiga catatan kritis F-Demokrat terkait RUU Ciptaker; pertama, ada ketidakadilan di ketenagakerjaan, seperti aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per-jam.

Menurut dia, aturan mengenai hak pekerja atas istirahat selama dua hari dalam sepekan juga dihilangkan karena 40 jam dalam satu pekan dikembalikan dalam perjanjian kerja.

"RUU ini juga mengandung sistem easy hiring but easy firing, misalnya ketentuan mengenai pekerja kontrak dan outsourcing yang dilonggarkan secara drastis juga menyebabkan pekerja kesulitan mendapatkan kepastian hak untuk menjadi pekerja tetap," ujarnya.

Kedua, menurut dia, terkait sektor lingkungan hidup dan pertanahan, RUU Ciptaker berpotensi memunculkan dampak mengkhawatirkan bagi sektor pertanahan karena melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.

Dalam masalah lingkungan hidup menurut dia, RUU tersebut memberikan kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor dan pengadaan lahan di bawah lima hektare.

"Padahal untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya, luas lima hektare dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan pemerintah daerah," katanya.

Catatan ketiga menurut Hinca, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat, fraksinya menyoroti pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat akan menjadikannya superior dibandingkan legislatif, yudikatif, dan pemda.

Padahal menurut dia, tujuan RUU Ciptaker adalah mengefektifkan birokrasi namun aturan terbaru tersebut justru akan merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal perizinan berusaha.

"Kami juga menilai proses pembahasan poin-poin krusial dalam RUU Ciptaker kurang transparan dan akuntabel. Hal itu karena tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja, dan jaringan masyarakat sipil," ujarnya.