Bau Oligarki dalam <i>Omnibus Law</i> RUU Cilaka
Kawasan Istana Kepresidenan (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintahan dan DPR tengah membuat penyatuan berbagi subtansi norma hukum dalam berbagai undang-undang (UU) ke dalam satu UU atau disebut RUU omnibus law Cipta Lapangan Kerja. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menargetkan RUU selesai dalam kurun waktu tiga bulan.

Namun, omnibus law cipta lapangan kerja ini dinilai tidak berpihak kepada masyarakat Indonesia. Bahkan, dianggap membuat pekerja menderita, sebab akan berpotensi menjadi pemutus hubungan kerja (PHK) masal.

Ketua Sindikasi Ellena Ekarahendy mengatakan, bahwa konsep omnibus law ini sebenarnya bukan ditujukan untuk masyakarat Indonesia. Karena RUU omnibus law juga merugikan para pekerja muda dan calon pekerja. Dalam kondisi pasar tenaga kerja fleksibel yang terus diperluas, para pekerja muda dan calon pekerja tak akan memiliki jaminan atas pekerjaan atau job security.

"Jelas sekali jawaban dari pertanyaan omnibus law untuk siapa? Itu sama sekali buat kita. Bukan buat rakyat Indonesia, bukan buat kelas pekerja," tuturnya dalam diskusi di Gedung LBHI Jakarta, Minggu, 19 Januari.

Ellena menjelaskan, sekarang dengan pengelolaan lahan yang kemudian dikuasai oleh oligar, itu sama sekali membuat pekerja Indonesia bergantung pada relasi kerja upahan. Menurut dia, dengan relasi kerja upahan ini, pekerja ditempatkan dalam posisi yang sangat lemah. Mereka kemungkinan hanya akan direkrut menjadi pekerja kontrak atau pekerja lepas.

Kata Ellena, para pekerja muda dan calon pekerja ini juga terancam pemecatan sewaktu-waktu. "Ketika omnibus law ini muncul, PHK masal ini akan terjadi secara besar-besaran. Ini bukan hanya terjadi buat pekerja yang muda saja. Tapi yang sudah lama kerja harus menghadapi potensi ini," jelasnya.

Selain itu, Ellena menjelaskan, kelas pekerja akan menjadi pekerja temporer yang permanen. Artinya secara perlahan dan permanen akan selalu bekerja temporer. Dampak lain dari omnibus law ini, kata Ellena, pengurangan upah minimum, melakukan diskriminasi, penghilangan jaminan sosial, dan hilangnya sanksi pindana.

"Padahal sebenarnya yang terjadi adalah kita itu hanya akan bekerja, hanya mampu untuk bisa mencukupi hari ini. Setidaknya hari ini supaya besok bisa hidup, supaya bisa hidup lagi dan kerja lagi di hari berikutnya. Tidak ada lagi jaminan atau jaring pengaman yang ada buat para pekerja," jelasnya.

Bau oligarki

Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, omnibus law tidak hanya akan menghancurkan kehidupan bangsa, namun juga merusak tatanan kehidupan bangsa ini.

"Satu pertanyaan penting, untuk siapa omnibus law? Konsep hukum yang menggabungkan UU jadi satu. Hapus revisi pasal yang dinilai menghambat investasi. Tegas dan jelas ini untuk kepentingan oligarki," ucapnya.

Arif justru mempertanyakan dalam perspektif konstitusi dan HAM, banyak bertabrakan dan tumpang tindih justru disebabkan karena DPR sebagai pembuat regulasi dan pemerintah. Namun, dia mengaku, tak mempermasalahkan selama tujuannya untuk kepentingan warga negara.

"Omnibus law dinilai perlu karena selama ini banyak aturan yang perspektifnya karena tidak berpihak ke investor. Padahal yang dibutuhkan berpihak ke warga negara. Harusnya UUD 1945 harus melindungi rakyat Indonesia," jelasnya.

BACA JUGA:


Omnibus law hadir atas arahan Presiden Jokowi. Saat pidato pertama kali usai dilantik pada 20 Oktober 2019, Jokowi menyampaikan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua UU besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU.

Arahan Presiden dalam Rapat Terbatas tentang Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Perekonomian pada 30 Oktober 2019 yakni omnibus law agar diberi judul cipta lapangan kerja, yang substansinya tetap terkait dengan ekosistem investasi.

Tujuan omnibus law adalah penguatan perekonomian untuk penciptaan dan perluasan lapangan kerja. Peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan dan perlindungan UMKM.