Menuju Pers Era Orde Baru lewat Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Ilustrasi foto (Engin Akyurt/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja memasukan revisi sejumlah pasal dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya, ada dua pasal yang akan diubah. Pemerintah dinilai mencoba mengekang kembali kebebasan pers.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, ada dua pasal yang coba 'diusik' oleh pemerintah. Pertama, soal modal asing dan ketentuan pidana. Substansi yang tercantum dalam Pasal 11 itu berbunyi:

Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Kemudian, soal ketentuan pidana dalam draf RUU Cipta Kerja diatur dalam Pasal 18, bunyinya:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta. (2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2 miliar.

(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta.

(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif. 

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Gedung DPR (Irfan Meidianto/VOI)

Berbau Orde Baru

Manan mengatakan, atas usulan revisi pasal UU Pers yang disodorkan pemerintah, AJI bersama IJTI, PWI, dan LBH Pers menyatakan sikap menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers.

"Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media, yang dinilai melanggar Pasal 9 dan Pasal 12," tutur Manan dalam keterangan tertulis yang diterima VOI di Jakarta, Minggu, 16 Februari.

Pasal 9 dalam UU 40/1999 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sementara, Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawabnya secara terbuka.

UU 40/1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini, kata Manan, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa orde baru. Di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.

Manan berujar, campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui.

"Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers," tegasnya.

Ilustrasi foto (Engin Akyurt/Pixabay)

Lahirnya UU 40/1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pemberedelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru.

Selain itu, kata Manan, UU 40/1999 juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari UU itu. Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan UU ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam UU pada umumnya.

"Dengan membaca RUU Cipta Kerja ini, yang di dalamnya ada usulan revisi agar ada Peraturan Pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers. Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme 'pintu belakang' (back door), atau 'jalan tikus', bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers," tuturnya.

AJI, kata Manan, mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers. Karena itu, AJI meminta revisi pasal ini dicabut.

Kenaikan sanksi denda

Tak hanya itu, AJI juga menolak kenaikan sanksi denda bagi perusahaan pers. Dalam draf yang diusulkan, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers. Manan menilai, hal ini kembali melanggar UU 40/1999, Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13.

Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang, "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah".

Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal "Pers wajib melayani Hak Jawab". Sementara Pasal 13 mengatur soal "larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat".

Di dalam UU nomor 40 tahun 1999, ketentuan pidana diatur dalam pasal 18 ayat 2. "Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta," bunyi pasal tersebut.

Namun, dalam draf RUU Cipta Kerja denda tersebut mengalami kenaikan menjadi paling banyak Rp2 miliar. "Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," ucapnya.

Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kata Manan, semangatnya bukan untuk mendidik namun lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers.

Konsistensi pemerintah

Selain itu, AJI juga menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan UU Pers. Manan mengatakan, UU tesebut selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers. Asalkan dilaksanakan dengan konsisten. Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar Pasal 4 Ayat 2 dan 3 adalah bukan solusi untuk menegakkan UU Pers.

Pasal 4 ayat 2 UU 40/1999 berbunyi: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Pasal 4 ayat 3 berisi jaminan bagi pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

"Bagi kami yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya. Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya," ucapnya.

Demonstrasi penolakan RUU Cilaka (Mery Handayani/VOI)

Manan menjelaskan, tindakan itu dikategorikan melanggar pasal 4 ayat 3 UU Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP. Selama ini, para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan.

"Jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka harusnya menggunakan UU Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai dua tahun penjara atau denda Rp500 juta," jelasnya.

Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, kata Manan, justru menjadi pertanyaan untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal tersebut.

"Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik 'lip service', pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini. Bagi kami, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum UU Pers," tuturnya.