Pemimpin Jepang Minta Maaf atas Perbudakan Seks Wanita Korea dalam Sejarah 17 Januari 1992
"Wanita penghibur" asal Korea yang sedang ditanyai oleh tentara AS. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 17 Januari 1992, Perdana Menteri (PM) Jepang Kiichi Miyazawa menyampaikan sebuah permintaan maaf publik formal. Permintaan maafnya itu atas tindakan Jepang yang memaksa puluhan ribu wanita Korea menjadi budak seks tentara Jepang selama Perang Dunia II.

Miyazawa menyampaikan permintaan maaf formalnya itu saat berkunjung ke Seoul, Korea Selatan (Korsel). Dalam pidatonya di Majelis Nasional Korsel, Miyazawa mengatakan: "Baru-baru ini, masalah 'wanita penghibur' yang bertugas di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang telah terungkap. Saya menyampaikan permintaan maaf yang tulus."

Kunjungan Miyazawa ke Seoul didahului dan disertai dengan kampanye yang gencar di media Korsel untuk permintaan maaf dari PM Jepang. Mereka juga menuntut kompensasi dari Jepang bagi para wanita yang masih hidup.

Pemerintah Jepang awalnya menyangkal keberadaan rumah bordil pada masa perang. Pada 1993, kepala sekretaris kabinet saat itu, Yohei Kono, mengakui kejahatan itu dan meminta maaf untuk pertama kalinya atas sistem budak seks yang dilakukan oleh Jepang.

Pejabat Jepang dan Korsel mengatakan Miyazawa juga menyampaikan permintaan maaf dalam pembicaraan putaran kedua dengan Presiden Korsel Roh Tae-woo. Miyazawa mengatakan pada konferensi pers bersama setelah itu bahwa Jepang akan dengan tulus menyelidiki masalah ini.

Pada Desember 1991, tiga wanita Korea yang dipaksa berhubungan seks dengan tentara Jepang mengajukan gugatan kompensasi di pengadilan Jepang. Namun saat pertemuan tersebut baik Miyazawa maupun Roh Tae-woo, tidak membahas masalah kompensasi tersebut.

Mengutip New York Times, sejarawan Korea memperkirakan bahwa 100.000 hingga 200.000 wanita Korea dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang sebelum 1945. Wanita-wanita tersebut diculik oleh tentara Jepang, kemudian dipaksa melayani para tentara. 

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dokumen terkait sistem "wanita penghibur" dihancurkan oleh pejabat Jepang. Sehingga jumlah tersebut berdasarkan perkiraan sejarawan yang mengandalkan berbagai dokumen yang masih ada. Ketika Jepang membangun kembali setelah Perang Dunia II, kisah perbudakan seks diremehkan dan hanya dianggap sebagai cerita masa lalu yang tidak menyenangkan.

Patung peringatan korban perbudakan seks di depan Kedubes Jepang di Korsel. (Foto: Wikimedia Commons)

Ketika banyak pejabat dan masyarakat Jepang melupakan hal tersebut, perempuan yang telah dipaksa menjadi budak seks menjadi orang buangan. Banyak yang meninggal karena infeksi menular seksual atau komplikasi dari perlakuan kejam di tangan tentara Jepang. Lainnya bunuh diri.

Selama beberapa dekade, sejarah "wanita penghibur" tidak didokumentasikan dan diperhatikan. Ketika masalah ini dibahas di Jepang, segera dibantah oleh pejabat yang bersikeras bahwa pemaksaan itu tidak pernah ada.

Kemudian, pada 1980-an, beberapa wanita mulai berbagi cerita. Pada 1987, setelah Republik Korea Selatan menjadi negara demokrasi liberal, perempuan mulai mendiskusikan penderitaan mereka di depan umum. Pada 1990, masalah ini menjadi perselisihan internasional ketika Korsel mengkritik penolakan pejabat Jepang atas peristiwa tersebut.

Permintaan maaf

Pada 2015, PM Jepang Shinzo Abe menyampaikan "permintaan maaf yang paling tulus" kepada para wanita dalam sebuah pernyataan yang dirilis di Seoul oleh Menteri Luar Negeri Fumio Kishida. Meski demikian, tidak jelas apakah pernyataan tersebut merupakan permintaan maaf kepada setiap "wanita penghibur" yang masih hidup atau secara keseluruhan.

Pemerintah Jepang juga mengakui bahwa otoritas militernya memainkan peran dalam perbudakan seksual para wanita. Meski demikian, Jepang masih bersikukuh untuk menghindari pertanggung jawaban hukum.

“Masalah wanita penghibur, dengan keterlibatan otoritas militer Jepang pada waktu itu, merupakan penghinaan besar terhadap kehormatan dan martabat sejumlah besar wanita, dan pemerintah Jepang. Jepang sangat menyadari tanggung jawab dari perspektif ini,” kata Menlu Kishida, mengutip The Guardian.

PM Abe juga menelepon presiden Presiden Korsel saat itu, Park Geun-hye, yang menggambarkan pertikaian terkait budak seks sebagai "hambatan terbesar" untuk meningkatkan hubungan Korea dan Jepang. Abe kemudian mengulangi permintaan maafnya.

Jepang juga setuju untuk membayar 1 miliar yen untuk para korban yang masih hidup. Sementara Korsel setuju untuk menahan diri dari mengkritik Jepang mengenai masalah ini dan memindahkan patung peringatan para korban dari depan kedutaan besar Jepang di Seoul.

Butuh waktu lama bagi Korsel untuk menerima permintaan maaf dari Jepang secara resmi, membayar kompensasi kepada para wanita yang masih hidup dan mengakui tanggung jawab hukumnya. Jepang berhenti mengakui tanggung jawab hukum dan menekankan bahwa memberikan dana kompenasasi sudah termasuk isyarat kemanusiaan.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya