Bagikan:

JAKARTA - Pengadilan Korea Selatan memutuskan, Pemerintah Jepang harus membayar ganti rugi kepada korban perbudakan seks di masa Perang Dunia II.

Melansir Koreatimes Jumat, 8 Januari, Pengadilan Distrik Pusat Seoul memerintahkan Jepang memberi ganti rugi sebesar 100 juta won Korea per orang untuk 12 wanita Korea Selatan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks untuk tentara Jepang di saat pertempuran.

"Bukti, materi yang relevan dan kesaksian menunjukkan, para korban menderita rasa sakit mental dan fisik yang ekstrim dan tak terbayangkan akibat tindakan ilegal oleh terdakwa. Tetapi, tidak ada kompensasi yang diberikan atas penderitaan mereka," kata pengadilan dalam sebuah putusan.

Melansir Reuters, pengacara para korban Kim Kang-won mengaku terharu atas putusan ini, karena Pemerintah Jepang akhirnya dianggap harus bertanggung jawab atas kekejaman tersebut.

Keputusan ini dikhawatirkan memperburuk hubungan bilateral Jepang-Korea Selatan. Terlebih, putusan pengadilan dalam kasus serupa diperkirankan akan keluar pekan depan. Belum lagi, masih ada pembatasan ekspor Jepang yang diberlakukan Korea Selatan.

Terpisah, Kementerian Luar Negeri Korea Selatan belum berkomentar terkait hal ini. Tetapi Duta Besar Nam di Tokyo mengatakan, bahwa dia akan berusaha mencegah putusan tersebut memiliki dampak yang tidak diinginkan dalam hubungan Jepang - Korea Selatan.

"Saya menekankan bahwa sangat penting bagi kedua belah pihak untuk menanggapi dengan tenang dan terkendali untuk menyelesaikan masalah," kata Nam kepada wartawan setelah dipanggil.

Diketahui, Para korban mengajukan petisi untuk penyelesaian perselisihan pada Agustus 2013, di mana mereka mengklaim bahwa mereka ditipu atau dipaksa menjadi budak seksual. 

Mereka menuntut diberi kompensasi masing-masing 100 juta won atas penderitaan mereka. Namun, kasus ini baru bisa dibawa ke pengadilan pada Januari 2016, karena Tokyo belum secara resmi menanggapi korespondensi pengadilan Korea Selatan. Pengadilan mengadakan sidang pertama atas kasus tersebut pada April tahun lalu.

Tokyo menyatakan bahwa kasus tersebut harus dibatalkan, berdasarkan kekebalan kedaulatan, sebuah doktrin hukum yang memungkinkan suatu negara kebal dari gugatan perdata di pengadilan asing.

Namun para korban berpendapat bahwa aturan tersebut tidak boleh diterapkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Untuk diketahui, dari 12 penggugat yang diputuskan mendapat ganti rugi, tinggal 5 orang yang masih hidup.