Kehilangan <i>Privilege</i> Donald Trump Terancam Tak Bisa Lagi Bermain Medsos
Ilustrasi Donald Trump (Charles Deluvio / Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Jagat media sosial diramaikan dengan peristiwa kerusuhan di Gedung Capitol, Amerika Serikat (AS) Rabu 6 Januari kemarin. Kerusuhan dipicu kekecewaan Presiden AS Donald Trump akan penetapan hasil Pilpres. 

Diketahui, selama berminggu-minggu Trump lewat akun media sosialnya kerap kali mengunggah informasi tidak benar soal pemilu AS. Bahkan tak jarang Trump mendesak massa pendukungnya untuk ke Washington, memprotes persetujuan resmi Kongres atas kemenangan Presiden Terpilih Joe Biden. 

Akun Media Sosial Trump Dibungkam

Tidak lama setelah kerusuhan, Twitter, Facebook, dan YouTube mengambil langkah untuk memblokir atau membatasi unggahan Trump dengan segera.

Jejaring microblogging, Twitter telah menangguhkan akun Trump selama 12 jam setelah menghapus tiga cuitan yang dianggap memicu keributan, setelah awalnya melarang di-retweet atau direply.

"Klaim penipuan pemilu ini disengketakan, dan Tweet ini tidak dapat dibalas, di-retweet, atau disukai karena risiko kekerasan," klaim tag yang ditambahkan ke postingan Trump.

Alex Holmes, yang merupakan bagian dari Dewan Kepercayaan dan Keamanan Twitter, bahkan meminta perusahaannya untuk menutup akun Trump, “Sudah waktunya Twitter menonaktifkan akun Trump untuk hukum & ketertiban!” cuit Holmes.

Mengingat Trump yang sudah terlalu sering melanggar kebijakan Integritas Sipil. Akhirnya Twitter memberikan ancaman dan menangguhkan akun Trump untuk 12 jam ke depan.

Namun jika Trump kembali mem-posting kicauan yang bernada provokasi, Twitter akan menjatuhkan blokir permanen untuk akun tersebut. Apalagi setelah pelantikan Joe Biden, Trump sudah tidak memiliki keistimewaan prioritas sebagai presiden. 

Hal serupa juga dilakukan Facebook, yang menilai apa yang telah dilakukan Trump telah memantik kemarahan dan kericuhan di Gedung Capitol Hill, Washington DC. Facebook juga tak akan lagi membiarkan Trump untuk mengunggah postingan yang menyebarkan pesan bernada provokasi. 

YouTube juga mengambil langkah serupa dengan menghapus video streaming pro Trump dan video Trump sendiri yang dianggap menghasut kekerasan dan karena informasi itu dianggap menyesatkan tentang hasil pemilu.

Dikutip dari The Verge, penghapusan video Trump ini dilakukan setelah YouTube memberlakukan pembaruan kebijakan terbarunya pada Desember 2020 lalu. Di mana salah satu poinnya melarang semua jenis konten yang menuding kecurangan pemilu yang berdampak pada hasil Pilpres 2020.

Keputusan YouTube menghapus video milik Trump ini dilakukan setelah perusahaan menerima banyak kritik terkait bagaimana mereka menangani misinformasi yang muncul di platform-nya.

Kemarahan Mark Zuckerberg

Pendiri dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg mengecam kekerasan yang dilakukan oleh para suporter Trump dan menyebutnya sebagai momen kelam dalam sejarah Amerika seperti dikutip dari Business Insider.

"Ini adalah momen kelam di sejarah negara kita dan saya tahu banyak dari kalian merasa ketakutan dan cemas tentang apa yang terjadi di Washington DC," ungkap Zuckerberg pada para karyawan Facebook.

"Saya secara pribadi sedih dengan adanya kerusuhan massa ini, yang memang demikian adanya. Transisi kekuasaan yang damai adalah fungsi penting dari demokrasi dan kita perlu pemimpin politik kita memimpin dengan teladan dan mengutamakan negara lebih dulu," lanjutnya.

Zuckerberg mengakui situasi saat ini, membuat media sosial AS masuk dalam kategori darurat. Dan Facebook harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan demi keselamatan orang banyak. 

Zuckerberg berharap setelah Kongres mengesahkan kemenangan Joe Biden, maka seluruh rakyat harus bisa memastikan proses transisi kekuasaan, yang akan berlangsung dalam rentang waktu 13 hari, berjalan aman.