YOGYAKARTA – Rasa marah pada dasarnya sehat, tetapi cara mengekspresikannya membuat emosi ini memicu salah paham. Buku Anger: The Misunderstood Emotion menjadi acuan bahwa rasa marah ternyata berkaitan dengan konteks budaya dan persepsi emosi masyarakat. Tak hanya perbedaan setiap orang tentang cara mengekspresikan emosi ini, tetapi Jeffrey Bernstein, Ph.D., psikolog dan penulis menjelaskan alasan kenapa kemarahan kerap menyebabkan kesalahpahaman.
1. Kemarahan sering diasosiasikan secara berlebihan
Seperti anak kecil, ketika marah mereka bisa membanting, berguling, hingga teriak sekencang-kencangnya. Orang cenderung berasumsi bahwa mereka memahami alasan di balik orang lain marah. Tetapi tanpa percakapan terbuka dan empati, pendorong rasa marah tak betul-betul bisa dipahami bahkan bisa menyebabkan hubungan semakin tegang.
2. Cara mengelola dan mengungkapkan jadi ukuran
Kemarahan adalah emosi yang normal dan sehat. Cara pengungkapan dan pengelolaan yang menentukan apakah rasa marah bisa memicu masalah atau tidak. Misalnya, protes damai, ini adalah contoh konstruktif untuk mengekspresikan kemarahan.
3. Persepsi negatif dan stigma
Mayoritas orang cenderung menyembunyikan kemarahan karena stigma dan persepsi negatif. Mereka memilih untuk tidak mengungkapkan kemarahan secara terbuka karena takut dihakimi atau dicap agresif. Namun penting diingat, kemarahan yang diungkapkan secara tepat justru bisa membangun. Bahkan menghasilkan terobosan terkait hak-hak sipil, protokol keselamatan, dan pengawasan pada kasus-kasus tertentu.
4. Norma dan keyakinan yang berbeda-beda
Budaya yang berbeda memiliki norma dan keyakinan yang berbeda pula, terutama tentang emosi yang harus diungkapkan atau disimpan saja. Misalnya dalam budaya Jawa yang kenal dengan pepatah ‘mikul dhuwur mendem jero’ yang mana ada hal-hal yang harus disimpan saja dan baiknya tak diungkapkan.
Melansir Psychology Today, Senin, 25 September, apa yang mungkin dianggap sebagai ekspresi kemarahan yang pantas dianggap sebagai ekspresi kemarahan mungkin dianggap tidak diterima pada budaya lain. Ini menyebabkan kesalahpahaman dan salah tafsir kecuali dibicarakan secara terbuka disertai empati.
5. Ekspektasi masyarakat
Ekspektasi masyarakat mengenai bagaimana pria dan perempuan harus mengekspresikan emosi, dapat menyebabkan kesalahpahaman. Pria cenderung diharapkan menunjukkan kemarahan secara terang-terangan sementara perempuan masih diharapkan menekan atau mengungkapkan dengan lebih tenang.
Selain kelima alasan kenapa kemarahan cenderung memicu kesalahpahaman di atas, gaya ekspresi yang beragam serta kompleksitas pemicu kerap diabaikan. Seperti stres, frustasi, ketidakadilan, sakit hati, atau ketakutan, bisa menjadi pemicu kemarahan yang perlu dipahami. Dengan memahami pemicunya, seseorang mungkin lebih bisa mengontrol emosinya dan mencari cara yang tepat untuk mengekspresikannya.
BACA JUGA:
Menurut Bernstein lebih lanjut, banyak orang tidak diajari cara mengenali, mengelola, dan mengomunikasikan emosi secara efektif. Kurangnya pendidikan emosional dapat mengakibatkan individu kesulitan memahami kemarahan mereka dan akar penyebabnya, sehingga menyulitkan orang lain untuk memahaminya juga.