7 Ciri Toxic Leadership, Jangan Sampai Jadi Bos yang Dibenci Anak Buah
Ilustrasi Bos (Foto: Pexels)

Bagikan:

JAKARTA - Sama-sama berhak memerintah anak buah, bos dan pemimpin memiliki perbedaan yang signifikan. Sikap si bos biasanya merasa berkuasa. Atas kuasa yang ia punya, bos merasa berhak memerintah anak buah.

Hubungan yang dibangun adalah atasan-bawahan, bukan pendekatan kesetaraan atau kemitraan. Tidak perlu bermodal hati, apalagi empati, cukup menggunakan “power"-nya untuk menggerakkan orang. Ancaman punishment akan menjadi jurus berikutnya bila perintah tidak dijalankan.

Bos punya penyakit sentimen, dengan tingkat ketersinggungan tinggi sebagai efek dari merasa berkuasa tadi. Sifat si bos cenderung subyektif, memberi banyak kesempatan pada mereka yang dapat menyenangkannya dan tidak memberi ruang bagi yang pernah membantah atau mengkritiknya.

Sementara pemimpin memiliki kharisma, wibawa dan disegani. Tidak perlu bicara dengan nada tinggi, untuk menggerakkan perangkat di bawahnya. Dengan bicara biasa saja semua sudah tergerak mengikuti arahannya, bahkan tidak perlu dengan nada perintah.

Dia bukan one man show, melainkan jago membangun teamwork yang solid, kompak dan produktif. Piawai memberi apresiasi meski terhadap orang yang memiliki peran kecil dalam suatu pekerjaan.

Figur bos tidaklah cocok memimpin SDM kantoran yang berlatar belakang kalangan terdidik. Pendekatan kekuasaan hanya akan menorehkan banyak luka bagi mereka yang bekerja dengan hati. Karena manajemen SDM yang efektif haruslah dibangun dengan hati agar orang-orang berdedikasi, rela mengerahkan segenap kemampuan dan waktunya demi menunaikan tugas dengan kualitas terbaiknya.

Dikutip dari Healthline Media, berikut ciri-ciri bos beracun dalam realita di dunia kerja:

1. Sabotase. Bos tidak ingin anda bertumbuh kembang dalam karir yang bagus. Maka ia tidak akan memfasilitasi pegawai yang dianggap pesaing untuk memanjat tangga karirnya dengan memberi tantangan dan kesempatan.

Pakar Kecerdasan Emosi (EQ) Josua Iwan Wahyudi menyebut bos hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak.

2. Mikroagresi, yaitu perundungan terselubung dengan cara melempar kata-kata bernada curiga, menuduh, meremehkan atau menyiratkan sikap tidak bersahabat.

3. Manajemen mikro. Si bos memberi tugas, tapi tidak mempercayai kemampuan pegawainya sehingga ia melakukan intervensi di setiap tahap pekerjaan.

4. Kurangnya rasa hormat, timbul karena merasa diri sebagai bos dan karyawan adalah bawahan, bukan mitra kerja yang dihargai atas kontribusi dalam ketercapaian target perusahaan.

5. Menyampaikan kritik yang tidak membangun, karena disampaikan dengan cara dan bahasa yang menjatuhkan, bahkan kadang dilakukan di depan forum, sehingga mempermalukan karyawan.

6. Minim apreasiasi, sebab bos berprinsip bahwa setiap pegawai harus bekerja maksimal untuk mencapai target tertentu. Itu merupakan tugas dan kewajibannya, dan mereka sudah digaji untuk itu, sehingga tidak perlu dipuji. Sebaliknya, bos hanya berfokus pada kesalahan yang terjadi.

7. Kepemimpinan yang ofensif, dapat melukai banyak hati pegawai akibat perilaku bos yang belum memiliki kematangan emosi.

Menurut laporan MIT Sloan Management Review baru-baru ini, budaya di tempat kerja yang beracun, lebih dari 10 kali lipat menyebabkan karyawan berhenti dari pekerjaannya daripada persoalan gaji rendah.

Namun bila paparan toksisitas hanya berasal dari bos, bukan lingkungan kerja secara keseluruhan, sebetulnya karyawan masih mungkin bertahan.

Terkait