Cara Menghadapi Bos Beracun yang Bikin Nggak Betah Kerja
Ilustrasi Bos (Foto: Pexels)

Bagikan:

JAKARTA - MIT Sloan Management Review baru-baru ini merilis data bahwa budaya di tempat kerja yang beracun, menyebabkan karyawan berhenti dari pekerjaannya lebih dari 10 kali lipat daripada persoalan gaji rendah.

Ketika membahas toxic leadership berarti ini tentang sosok bos. Situs web kesehatan Healthline Media menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang beracun, salah satunya (dominan) ditimbulkan oleh atasan yang berkuasa.

Bos beracun membangung hubungan atasan-bawahan, bukan pendekatan kesetaraan atau kemitraan. Tidak perlu bermodal hati, apalagi empati, cukup menggunakan “power"-nya untuk menggerakkan orang. Ancaman punishment akan menjadi jurus berikutnya bila perintah tidak dijalankan.

Bos punya penyakit sentimen, dengan tingkat ketersinggungan tinggi sebagai efek dari merasa berkuasa tadi. Sifat si bos cenderung subyektif, memberi banyak kesempatan pada mereka yang dapat menyenangkannya dan tidak memberi ruang bagi yang pernah membantah atau mengkritiknya.

Namun bila paparan toksisitas hanya berasal dari bos, bukan lingkungan kerja secara keseluruhan, sebetulnya karyawan masih mungkin bertahan.

Tidak perlu buru-buru putus asa dan serta merta memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, jika persoalannya “hanya” sosok bos yang toxic. Anggap saja sebagai tantangan dan kita bisa mengeluarkan jurus seni bertahan.

Ingatlah bahwa bos bukan satu-satunya orang yang anda temui di kantor, masih banyak rekan kerja yang menyenangkan, tulus mendukung dan menghibur kita. Bangunlah lingkungan pertemanan yang solid, agar tak merasa menderita sendirian, bersama mereka bisa saling berbagi cerita dan kekesalan.

Jurus berikutnya adalah mencintai profesi yang kita geluti. Dengan kekuatan cinta, maka kesakitan yang ditimbulkan oleh pihak eksternal tidak akan terasa, karena kita fokus berkarya sehingga membuahkan kepuasan batin dan kebanggaan tersendiri.

Kemudian bersyukur, memiliki pekerjaan apalagi dalam bidang yang kita sukai, itu merupakan anugerah. Kalaupun kadang lelah terlibat konflik di lingkungan kerja, setidaknya itu masih lebih baik, karena mungkin banyak pengangguran di luaran sana lebih lelah dalam mencari pekerjaan.

Kemudian, yang tak kalah penting dan jangan lupa adalah lakukan penyembuhan diri dengan berekreasi. Dalam sehari setidaknya anda menghabiskan 8 jam untuk bekerja atau sepertiga hari. Bila lingkungan kerja tidak sehat, sudah barang tentu akan mempengaruhi kesehatan mental.

Menurut pakar EQ Josua, seorang toxic leader dapat menyedot energi emosi tim kerjanya. Maka jangan menunggu hingga gila, manfaatkan waktu libur untuk bergembira dan memulihkan kesehatan jiwa.