Bagikan:

YOGYAKARTA - Kantor merupakan rumah kedua untuk para pekerja/ karyawan. Sebab itu atmosfer kantor wajib dibentuk senyaman mungkin supaya para penghuninya betah serta sanggup menciptakan karya besar. Kedatangan pemimpin ataupun atasan yang mumpuni serta baik pastinya jadi idaman tiap pegawai. Pengen tahu tentang apa itu toxic leadership?

Sayangnya wujud pemimpin yang sempurna itu masih agak jarang di dunia nyata. Yang banyak merupakan wujud bos yang lebih kental dengan semangat berkuasa serta cenderung memerintah dalam menggerakkan anak buah.

Figur bos bukanlah cocok mengetuai SDM kantoran yang berlatar belakang golongan terdidik. Pendekatan kekuasaan cuma bakal menorehkan banyak luka untuk mereka yang bekerja dengan hati. Sebab manajemen SDM yang efisien haruslah dibentuk dengan hati supaya orang- orang berdedikasi, rela mengerahkan segenap keahlian serta waktunya demi menunaikan tugas dengan mutu terbaiknya.

Bila keadaan area kerja kebalikannya, akibat perilaku atasan yang bossy, hingga tiadalah keterikatan hati antara pegawai dengan industri, serta hasil yang diberikan juga ala kadarnya, semata- mata menggugurkan tugas ataupun cuma senilai pendapatan yang diberi, tidak lebih.

Beda dengan pemimpin, si bossy tidak bakal mendapatkan anggukan tulus dari bawahannya kala memerintah, melainkan hormat palsu,“ Siap boss”. Kemudian apa saja yang membedakan pemimpin dengan bos, berikut gambaran singkatnya. 

Apa Itu Toxic Leadership

Melanesir dari ANTARA, ketika membahas toxic leadership berarti ini tentang sosok bos. Situs web kesehatan yang berkantor di San Fransisco, California, AS, Healthline Media, menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang beracun, salah satunya (dominan) ditimbulkan oleh atasan yang berkuasa. 

Lantas seperti apa bos “beracun” yang bisa mempengaruhi lingkungan kerja menjadi tidak sehat? Mungkin anda dapat menjumpai ciri-ciri berikut dalam realita di dunia kerja:

1. Sabotase. Bos tidak ingin anda bertumbuh kembang dalam karir yang bagus. Maka ia tidak akan memfasilitasi pegawai yang dianggap pesaing untuk memanjat tangga karirnya dengan memberi tantangan dan kesempatan. 

Pakar Kecerdasan Emosi (EQ) Josua Iwan Wahyudi menyebut bos hanya ingin memanfaatkan dan menggunakan kinerja timnya untuk mengangkat dirinya sendiri naik ke puncak. 

2. Mikroagresi, yaitu perundungan terselubung dengan cara melempar kata-kata bernada curiga, menuduh, meremehkan atau menyiratkan sikap tidak bersahabat. 

3. Manajemen mikro. Si bos memberi tugas, tapi tidak mempercayai kemampuan pegawainya sehingga ia melakukan intervensi di setiap tahap pekerjaan. 

4. Kurangnya rasa hormat, timbul karena merasa diri sebagai bos dan karyawan adalah bawahan, bukan mitra kerja yang dihargai atas kontribusi dalam ketercapaian target perusahaan. 

5. Menyampaikan kritik yang tidak membangun, karena disampaikan dengan cara dan bahasa yang menjatuhkan, bahkan kadang dilakukan di depan forum, sehingga mempermalukan karyawan. 

6. Minim apreasiasi, sebab bos berprinsip bahwa setiap pegawai harus bekerja maksimal untuk mencapai target tertentu. Itu merupakan tugas dan kewajibannya, dan mereka sudah digaji untuk itu, sehingga tidak perlu dipuji. Sebaliknya, bos hanya berfokus pada kesalahan yang terjadi. 

7. Kepemimpinan yang ofensif, dapat melukai banyak hati pegawai akibat perilaku bos yang belum memiliki kematangan emosi. 

Menurut laporan MIT Sloan Management Review baru-baru ini, budaya di tempat kerja yang beracun, lebih dari 10 kali lipat menyebabkan karyawan berhenti dari pekerjaannya daripada persoalan gaji rendah. 

Namun bila paparan toksisitas hanya berasal dari bos, bukan lingkungan kerja secara keseluruhan, sebetulnya karyawan masih mungkin bertahan.

Solusi Menanganinya

Tidak perlu buru-buru putus asa dan serta merta memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, jika persoalannya “hanya” sosok bos yang toxic. Anggap saja sebagai tantangan dan kita bisa mengeluarkan jurus seni bertahan. Ingatlah bahwa bos bukan satu-satunya orang yang anda temui di kantor, masih banyak rekan kerja yang menyenangkan, tulus mendukung dan menghibur kita. 

Bangunlah lingkungan pertemanan yang solid, agar tak merasa menderita sendirian, bersama mereka bisa saling berbagi cerita dan kekesalan. Jurus berikutnya adalah mencintai profesi yang kita geluti. Dengan kekuatan cinta, maka kesakitan yang ditimbulkan oleh pihak eksternal tidak akan terasa, karena kita fokus berkarya sehingga membuahkan kepuasan batin dan kebanggaan tersendiri. 

Kemudian bersyukur, memiliki pekerjaan apalagi dalam bidang yang kita sukai, itu merupakan anugerah. Kalaupun kadang lelah terlibat konflik di lingkungan kerja, setidaknya itu masih lebih baik, karena mungkin banyak pengangguran di luaran sana lebih lelah dalam mencari pekerjaan. Kemudian, yang tak kalah penting dan jangan lupa adalah lakukan penyembuhan diri dengan berekreasi. 

Dalam sehari setidaknya anda menghabiskan 8 jam untuk bekerja atau sepertiga hari. Bila lingkungan kerja tidak sehat, sudah barang tentu akan mempengaruhi kesehatan mental. Menurut pakar EQ Josua, seorang toxic leader dapat menyedot energi emosi tim kerjanya. 

Maka jangan menunggu hingga gila, manfaatkan waktu libur untuk bergembira dan memulihkan kesehatan jiwa.

Jadi setelah mengetahui apa itu toxic leadership, simak berita menarik lainnya di VOI, saatnya merevolusi pemberitaan!