YOGYAKARTA – Salah satu cara memahami profil seseorang adalah mengetahui apa itu stigma. Keduanya memiliki kaitan yang erat dan tak bisa dipisahkan.
Stiga sendiri bisa dikatakan berasal dari luar pribadi seseorang, terutama dari lingkungan. Namun bisa pula berasal dari dalam diri seseorang. Untuk memahami lebih dalam, berikut uraiannya.
Apa Itu Stigma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.
Stigma juga bisa diartikan sebagai prasangka, pikiran, pandangan, label, atau kepercayaan yang didapat dari orang lain, masyarakat atau lingkungan sekitarnya kepada orang tertentu yang bersentiman negatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stigma diciptakan oleh masyarakat kepada objek tertentu. Objek bisa berupa manusia, isu, kepercayaan, dan sebagainya. Pemicu kemunculan stigma bisa beragam, salah satunya adalah saat masyarakat melihat suatu objek yang dianggap menyimpang, aneh, atau di luar kewajaran kolektif.
Faktor Pembentuk Stigma
Stigma tidak terbentuk begitu saja. Ada banyak faktor pembentuk stigma yang terjadi dalam masyarakat yakni sebagai berikut.
- Iptek
Stigma bisa terbentuk karena kurangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam masyarakat. Iptek tidak hanya berkaitan dengan pendidikan, namun bisa pula berkaitan dengan akses ilmu pengetahuan seperti buku atau ketersediaan informasi lainnya.
- Persepsi
Persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya. Persepsi bisa jadi salah satu faktor pembentuk stigma.
- Pendidikan
Pendidikan juga ikut membentuk stigma masyarakat terhadap suatu objek. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka stigma negatif makin mudah terbentuk.
- Usia
Usia juga ikut berpengaruh pada kemunculan stigma pada suatu objek. Usia berkaitan erat dengan pemikiran yang dimiliki.
- Gender
Gender atau jenis kelamin juga berkontribusi terhadap pembentukan suatu stigma. Dalam kasus ini, perempuan cenderung lebih mudah memunculkan stigma dibanding laki-laki.
- Agama dan Kebudayaan
Dua hal ini tentu ikut menentukan pembentukan stigma di tengah masyarakat. Agama dan kebudayaan yang berbeda, memiliki stigma yang berbeda pada suatu objek.
- Kepatuhan Agama
Karena agama berpengaruh pada pembentukan stigma, tingkat kepatuhan seseorang terhadap agama juga ikut memperbesar kemunculan stigma.
Tipe dan Bentuk Stigma
Dikutip dari psikologi.ugm.ac.id, psikolog Wirdatul Anisa, M.Psi., menjelaskan bahwa ada dua stigma yakni public stigma dan self stigma.
Public stigma ialah sikap dan pandangan negatif yang dimiliki mayoritas masyarakat tentang orang berkarakter terdevaluasi atau dipandang lebih rendah dan buruk. Sedangkan self stigma ialah sikap negatif yang diambil dari lingkungan sekitar yang diinternalisasi ke dalam diri sendiri.
Bentuk stigma sendiri beragam. Stigma adalah buah pikiran yang kemudian diwujudkan dalam bentuk stigma tertentu. Adapun bentuk stigma yang dimaksud adalah sebagai berikut.
- Stereotip, yakni konsep masyarakat terhadap suatu objek berdasarkan prangksa yang sifatnya subjektif.
- Labeling, adalah penilaian yang disematkan kepada seseorang berdasarkan prangksa subjektif.
- Prasangka, adalah anggapan negatif terhadap suatu objek yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
- Diskriminasi, adalah perlakuan yang cenderung tidak adil didasarkan pada suku, ras, atau agama.
- Pengucilan, adalah perilaku yang berupa pengasingan atau penolakan dari pergaulan sosial.
BACA JUGA:
Contoh Stigma dalam Masyarakat
Contoh stigma bisa dijelaskan dalam berbagai kasus. Misalnya, bagi masyarakat, keberadaan tato di badan masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik. Bahkan masih banyak yang menganggap bahwa orang bertato adalah preman.
Selain itu stigma terhadap penderita HIV juga masih dianggap sebagai hal buruk. Bahkan beberapa masyarakat cenderung menjauhi seseorang yang menderita penyakit tersebut.
Itulah informasi terkait apa itu stigma. Untuk mendapatkan informasi menarik lain kunjungi VOI.ID.