Kenapa Sering Telat Makan Tapi Berat Badan Naik? Begini Penjelasan Menurut Penelitian
Ilustrasi sering telat makan tapi berat badan naik (Freepik/Drazen Zigic)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Sering telat makan bukan tambah kurus, tetapi justru sebaliknya. Saat lapar, seseorang akan lebih sulit mengontrol porsi ‘cukup’ makanan yang dimakan. Menurut penelitian, ini merupakan kebijaksanaan yang sangat konvensional kalau terlambat makan seiring dengan peningkatan risiko obesitas.

Jadi, kenapa jarang makan tapi berat badan naik? Bisa dijawab lewat temuan penelitian ini. Penelitian menemukan bahwa telat makan berdampak pada pengeluaran energi, nafsu makan, dan jalur molekuler dalam jarangan adipose atau lemak. Jelasnya lagi, makan terlambat menggandakan kemungkinan lapar dibandingkan makan lebih awal. Bahkan penurunan berat badan malah lebih sedikit kalau keseringan terlambat makan.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cell Metabolism dilansir Medical News Today, Rabu, 12 Oktober. Menurut direktur Program Kronobiologi Medis di Divisi Gangguan Tidur dan Sirkadian, di Birmingham, Dokter Frank A. J. L. Scheer, penelitian yang dilakukannya menguji kejelasan mekanisme mengapa terlambat makan meningkatkan risiko obesitas.

sering telat makan tapi berat badan naik
Ilustrasi sering telat makan tapi berat badan naik (Freepik/Rawpixel.com)

Penelitian yang dilakukan melibatkan 16 peserta dengan BMI (Indeks Massa Tubuh) dalam kisaran lebih berat atau mengalami obesitas. Mereka berusia antara 25-59, atau rata-rata usia 37 tahun. Sejumlah 5 peserta adalah perempuan dan 11 pria. Latar belakang ras, 5 peserta berkulit hitam, 3 orang asia, dan 1 oran Hispanik. Mereka peserta dalam keadaan sehat dan tingkat aktivitas fisik yang stabil. Mereka juga tidak bekerja shift dalam 12 bulan sebelumnya.

Selama 2 minggu sebelum kunjungan pengujian, peserta tidak minum kafein atau alkohol. Mereka juga tidak merokok atau menggunakan obat-obatan, baik obat rekreasional maupun obat kesehatan kecuali pil KB dan satu orang mengonsumsi obat anti hipertensi.

Selama 9 hari pengambilan data, peserta mengambil cuti selama 3-12 minggu. Selain itu, mereka melakukan persiapan dengan tidur serta bangun pada jadwal yang sama. Pengambilan data dilakukan selama 8 jam dengan memakai actigraphy. Peserta juga diminta melakukan diet ketat, dengan jadwal makan yang sama dan tidak berolahraga. Untuk mengetes keterlambatan jam makan, peneliti mengatur selama 4 jam pada kelompok pertama dan 30 menit kemudian pada kelompok kedua.

Peserta melaporkan rasa lapar dan nafsu makan selama 18 kali sehari. Dengan begitu, peneliti melihat dampak terlambat makan pada hormon ghrelin. Hormon ghrelin adalah neurotransmitter yang memberi tahu otak bahwa tubuh membutuhkan makanan. Sedangkan leptin, yang memberi tahu otak bahwa perut sudah kenyang.

Selain hormon, peneliti juga mengukur pengeluaran energi menggunakan kalorimetri sebanyak 12 kali selama 16 jam peserta terjaga. Mereka juga diukur suhu tubuh inti untuk memeriksa pengeluaran energi.

Hasil penelitian tersebut, mencatat makan terlambat menggandakan kemungkinan lapar dibandingkan dengan makan lebih awal. Makan terlambat juga secara signifikan meningkatkan skala keinginan makan yang tinggi. Mereka lebih tinggi keinginannya makan makanan bertepung dan daging.

Makan terlambat juga menurunkan kadar hormon leptin sebesar 16 persen selama 16 jam terjaga. Selain itu, makan terlambat berkorelasi dengan rasa lapar sebesar 34 persen. Bahkan, peserta yang makan sangat terlambat juga mengeluarkan energi yang jauh lebih rendah.

Karena penelitian ini memakai sedikit sampel, artinya perlu dilakukan lebih komprehensif untuk menggeneralisir temuan penelitian. Tetapi ahli diet terdaftar yang berbasis di New York, DJ Mazzoni mengatakan bahwa penting bagi seseorang yang diet untuk makan makanan bergizi. Bukan makanan olahan yang tinggi karbohidrat sederhana. Menurutnya, waktu makan bisa lebih fleksibel. Tetapi menu makanan dan porsi makanan lebih krusial memengaruhi naik turunnya berat badan.