Bagikan:

JAKARTA - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa tren energi ke depan yang berubah dari fosil ke energi yang ramah lingkungan membawa keuntungan bagi Indonesia. Sebab, fosil sebagai bahan bakar kendaraan akan digantikan dengan baterai sebagai komponen kendaraan listrik, di mana sebagian besar bahan baku pembuatan baterai tersebut ada di Indonesia.

Karena itu, menurut dia, ini adalah momentum Indonesia menjadi negara industrialis. Apalagi, lanjut Bahlil, 25 persen cadangan nikel di dunia tersimpan di Bumi Pertiwi Indonesia.

Seperti diketahui, untuk pembuatan baterai dibutuhkan empat bahan baku utama yaitu nikel, mangan, lithium dan kobalt. Dibandingkan beberapa negara lain, keunggulan Indonesia yaitu memiliki nikel laterit.

"45 persen komponen listrik itu ada pada baterai dan baterai itu bahan bakunya adalah nikel, mangan kemudian kobalt dan lithium. Kobalt, mangan, nikel itu ada di Indonesia, lithium ada di Australia kita tidak punya. Kita impor. Dan 25 persen total cadangan nikel dunia itu ada di Indonesia," katanya dalam webinar, Rabu, 29 September.

"Dengan demikian maka ini adalah sebuah momentum untuk Indonesia bangkit menjadi suatu negara industrialis yang menghasilkan baterai mobil," sambungnya.

Seperti diketahui, pembangunan pabrik baterai mobil listrik di Karawang, Jawa Barat ini merupakan hasil kerja sama dengan investor asing yakni Korea Selatan. Total investasi bersama LG ini mencapai 9,8 dolar miliar dolar AS.

"Nah gimana caranya? kami lakukan kontrak langsung dengan LG. Kami dari Kementerian Investasi yang memimpin negosiasi tanpa ada konsultan asing," tuturnya.

Negara tetangga ingin halangi Indonesia jadi produsen baterai dunia

Sebelumnya, Bahlil Lahadalia mengungkap bahwa banyak negara yang ingin menghalangi Indonesia untuk menjadi produsen baterai dunia. Karena itu, kata dia, pemerintah perlu bertindak cepat memulai tahap awal pembangunan industri baterai listrik di Tanah Air.

Lebih lanjut, Bahlil mengaku sudah membaca gelagat negara tetangga yang tak ingin Indonesia maju dalam industri baterai mobil listrik tersebut. Kata Bahlil, negara-negara tersebut hanya ingin mengambil baku baterai dari Indonesia.

"Kita sadari, negara tetangga kita tidak ingin untuk Indonesia jadi salah satu negara produsen baterai di dunia. Mereka ingin ambil bahan baku di kita, tapi bikin di negara mereka supaya made in negara A, made in negara B. Kita baca gelagat ini," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat, 17 September.

Namun sayang, Bahlil tidak menyebutkan secara spesifik negara mana saja yang ingin menghalangi langkah Indonesia menjadi produsen baterai mobil listrik dunia. Meski begitu, Bahlil menekankan bahwa Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki pabrik baterai listrik.

"Ini pertama kali di Indonesia, di Asia Tenggara. Untuk dunia ini kalau sudah bangun ekosistem salah satu yang pertama di dunia. Ini sudah akan terbangun di tahun 2022," ucapnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan groundbreaking atau peletakan batu pertama pabrik baterai mobil listrik di Karawang, Jawa Barat pada 15 September. Ia mengatakan bahwa Indonesia memberikan dukungan berupa kemudahan izin dan kepastian hukum untuk pengembangan industri hilirisasi tersebut.

Sekadar informasi, proyek tersebut merupakan realisasi investasi konsorsium LG dan Hyundai yang terdiri atas Hyundai Motor Company, KIA Corporation, Hyundai Mobis dan LG Energy Solution.

Adapun proyek pembangunan baterai mobil listrik sebelumnya ditandai dengan nota kesepahaman atau MoU antara Kementerian investasi dan konsorsium Hyundai serta LG pada Desember 2020.

Nantinya, konsorsium asal Korea Selatan bakal bermitra dengan Indonesia Baterai Corporation yang beranggotakan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina, PT Perusahaan Listrik Negara, dan Contemporary Amperex Technology Co. Ltd.

Konsorsium akan membangun pabrik sel baterai kendaraan listrik di Indonesia berkapasitas 10 Gigawatt Hour (GWH) dengan total nilai investasi 1,1 miliar dolar AS. Angka itu setara dengan Rp15,9 triliun (dengan asumsi kurs Rp 14.500). Pembangunan pabrik ini hanya bagian dari total proyek konsorsium senilai 9,8 miliar dolar AS.