Tax Amnesty Jilid II Ditolak Buruh, Disambut Positif Pengusaha
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memberlakukan kembali tax amnesty atau pengampunan pajak akan segera bergulir. Rencana ini mendapatkan penolakan dari serikat buruh. Namun, pengusaha yang tergabung di dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyambut positif rencana tersebut.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan Said Iqbal mengatakan sejak muncul gagasan tax amnesty jilid II pihaknya langsung memberikan sikap tegas. KSPI menolak rencana tax amnesty jilid II.

"Sikap KSPI jelas dari awal tentang tax amnesty, dari awal jilid I pun sudah menolak. Bahkan KSPI bersama beberapa serikat buruh melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU Tax Amnesty Jilid I yang sudah disahkan beberapa tahun lalu," ucapnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat, 28 Mei.

Menurut Iqbal, tax amnesty bukan satu-satunya cara untuk mendatangkan investasi atau dana-dana dari warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Kata dia, perbaikan iklim usaha, keterbukaan dan keterukuran transparansi dan akuntabilitas jauh lebih menarik bagi para investor dan orang Indonesia yang dananya ada di luar negeri untuk ditarik ke Indonesia.

"Tax amnesty telah gagal dan itu sudah diingatkan ulang-ulang. Semua negara yang menerapkan tax amnesty gagal. Akhirnya apa? yang muncul adalah negatif terhadap bisnis yaitu dana-dana yang dianggap 'dana haram' itu masuk menjadi legal," jelasnya.

Karena itu, KSPI minta kepada DPR RI untuk tidak memasukan tax amnesty ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2022.

"Jangan main-main lagi, jangan dikabulkan keinginan pemerintah menjalankan tax amnesty jilid II. Atas dasar apa bahwa tax amnesty itu di jilid II bisa memasukkan investasi dari dana-dana orang Indonesia yang ada di luar negeri untuk masuk ke Indonesia? Faktanya data menjelaskan pada jilid I tax amnesty gagal," ucapnya.

Iqbal menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam mengenai rencana pemerintah terkait tax amnesty jilid II. "Pajak dengan sistem tax amnesty tidak berkeadilan," ujarnya.

Berbeda dengan KSPI, para pengusaha yang tergabung di dalam Kadin Indonesia justru menyambut positif rencana pemerintah terkait tax amnesty jilid II.

Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani menyatakan pengusaha merespons positif adanya rencana tax amnesty jilid II. Apalagi, kata Rosan, Kadin melihat saat sekarang tantangan untuk penerimaan pajak  pemerintah sudah menurun.

"Intinya kami dari dunia usaha kalau pembahasan udah dilakukan baik, benar, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan dijalankan kami akan respons positif," ucapnya, dalam webinar nasional 'vaksin dan pemulihan ekonomi nasional', Jumat, 28 Mei.

Rosan mengatakan pada tax amnesty jilid I yang tadinya masyarakat ragu bisa berjalan dengan baik. Namun karena komitmen, dijalankan pemerintah. Hal ini, kata Rosan, yang menimbulkan wacana tax amnesty jilid II.

Lebih lanjut, Rosan mengatakan tax amnesty di beberapa negara memang dilakukan lebih dari sekali. Di Indonesia, pemerintah melangsungkan tax amnesty jilid I pada tahun 2016 lalu.

"Memang di banyak negara juga dilakukan, dan enggak hanya sekali. Oleh sebab itu, mari kita serahkan kepada pihak DPR dan pemerintah melakukan. Kita harapkan hasil terbaik. Kita percaya apa yang dilakukan pemerintah bersama DPR dan dunia usaha adalah apa yang dilakukan kita semua," jelasnya.

Sekadar informasi, pemerintah membuka opsi melanjutkan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II melalui revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pembicaraan bersama DPR RI bakal terlaksana dalam waktu dekat. Presiden diketahui sudah berkirim surat dengan DPR untuk membahas beberapa ketentuan perpajakan dalam UU KUP.

Tax amnesty lunturkan kepercayaan masyarakat terhadap pajak

Berbeda dengan Kadin, Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menyatakan tidak setuju dengan tax amnesty jilid II tersebut. Menurutnya, hal tersebut tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan di Indonesia serta mengingkari komitmen tax amnesty yang pertama kali dilakukan pada 2016 lalu.

"Tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi. Pelaksanaan tax amnesty jilid II akan meruntuhkan kewibawaan otoritas, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak. Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak yang patuh, serta wajib pajak yang sudah diaudit, tentu akan tercederai," kata Andreas dalam keterangan tertulisnya, Senin 24 Mei.

Secara psikologis, politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menilai jika tax amnesty tetap diberlakukan maka akan berdampak buruk karena menciptakan pemahaman baru di masyarakat, yaitu 'lebih baik tidak patuh membayar pajak karena akan ada tax amnesty lagi'.

Pasca amnesti, pemerintah dan DPR sebenarnya telah menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2007. 

Andreas menilai, dengan begitu seharusnya penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data dan informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko. Ditjen Pajak perlu mengoptimalkan tindak lanjut data dan informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan pajak lebih baik.

"Tax amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang tax amnesty," katanya.