PKS Tolak Pembahasan RUU KUP, Kok Bisa  Jasa Kesehatan Medis, Kebutuhan Pokok, Pendidikan Kena Pajak?
Politikus PKS Mardani Ali Sera (Foto: DOK ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan tegas menolak pembahasan Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP). 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menjelaskan, alasan partainya menolak RUU KUP atau yang disebut juga sebagai RUU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

PKS, kata Mardani, keberatan dengan rencana dilaksanakannya pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Di mana dalam RUU KUP, tax amnesty dikemas dengan nama voluntary asset disclosure.

"PKS menolak voluntary asset disclosure yang sebenarnya menurut para ahli dan publik itu merupakan 'tax Amnesty/Pengampunan Pajak' jilid II," ujar Mardani kepada wartawan, Selasa, 5 Oktober. 

PKS, lanjut Mardani, menolak adanya kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 12 persen. Pihaknya, tidak setuju jika barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa pelayanan sosial masuk dalam daftar barang atau jasa kena pajak (BJKP).

"Walau saat ini pemerintah mengenakan tarif nol persen, namun dengan menjadi BJKP, barang dan jasa tersebut suatu ketika bisa dikenakan pajak," jelasnya.

Anggot Komisi II DPR itu menuturkan, PKS sangat keberatan dengan penambahan beban pajak pada wajib pajak perorangan. Misalnya, pada RUU KUP adalah pengenaan pajak karbon untuk wajib pajak orang pribadi.

"Seharusnya pajak karbon dikenakan hanya kepada perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dan zat berbahaya lain, khususnya PLTU batubara, tidak termasuk WP orang pribadi," tegas Mardani.

PKS juga menolak perluasan cukai yang membebani rakyat. Seperti produk plastik dan minuman mengandung pemanis.

Selain itu, sambungnya, PKS telah memperjuangkan agar batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) naik dari Rp4,5 juta menjadi Rp8 juta. Namun, usulan PKS itu ditolak pemerintah.

PKS juga ingin agar ada norma baru yaitu penghasilan bruto tidak kena pajak (PBTKP) untuk UMKM, khususnya bagi UMKM yang dengan omzet Rp1 miliar per tahun.

"Sayangnya pemerintah hanya menyetujui PBTKP sebesar Rp500 juta per tahun dan hanya untuk wajib pajak orang pribadi," ungkap Mardani.