JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN. Tujuannya guna mengoptimalkan penerimaan pajak pada tahun-tahun mendatang.
Rencana ini masih dibahas dalam internal Kementerian Keuangan. Meski belum ada kejelasan mengenai kenaikan tarif PPN ini, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menentang rencana tersebut.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan keputusan pemerintah tidak tepat. Sebab, dibahas di tengah kondisi menurunnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi yang awalnya menyumbang pertumbuhan ekonomi 56-57 persen, saat ini hanya tinggal antara 49 hingga 52 persen.
Penyebab konsumsi turun adalah daya beli atau purchasing power. Kata Iqbal, ada dua penyebab purchasing power menurun. Pertama, tingkat upah yang rendah. Kedua, harga barang meningkat.
"Udah upah murah, harga barang meningkat. Nah PPN yang dinaikkan itu mengakibatkan harga barang meningkat. Kok kejam benar Menteri Keuangan, Sri Mulyani ini," tuturnya dalam konferensi pers secara virtual, Jumat, 28 Mei.
Iqbal mengatakan kegagalan pemerintah untuk menarik pajak dari pada orang kaya melalui tax amnesty, justru sekarang dibebankan kepada masyarakat melalui kenaikan tarif PPN.
"Kok sekarang dibebankan pada rakyat menengah ke bawah? Bahkan orang miskin, karena semua orang mau miskin, mau menengah, mau kaya pasti belanja. Kok dibebankan ke rakyat dengan kenaikan PPN? Udah kehilangan akal sehat," katanya.
Untuk itu, Said Iqbal meminta agar DPR RI tidak memasukan kenaikan tarif PPN ke dalam program legislasi nasional (prolegnas). Sebab, kata dia, hal ini akan menyebabkan harga barang meningkat.
"Jangankan masuk pembahasan, masuk Prolegnas aja harus ditolak. Kalau ini tetap digolkan oleh DPR berarti DPR hanya berpihak kepada kalangan orang-orang yang punya uang, bukan bagi wakil rakyat. DPR adalah wakil pemilik modal yang memodali mereka mungkin 'untuk menjadi anggota DPR'," tuturnya.
Sebelumnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan belum ada pembahasan antar kementerian terkait rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Menurut dia, rencana tersebut hingga saat ini masih dibahas di internal Kementerian Keuangan.
BACA JUGA:
"Intinya kita hormati pembahasan waacana internal di Kemenkeu, tapi belum ada rakor antar kementerian bahas ini," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 17 Mei.
Susiwijono mengatakan bahwa pihaknya akan segera meminta penjelasan mengenai rencana kenaikan tarif PPN ini kepada Kemenkeu jika memang sudah ada rencana pasti.
Rencana kenaikan akan diajukan ke DPR
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa upaya pemerintah dalam menaikkan PPN saat ini masih dalam pembahasan. Meski begitu, dia mengakui bahwa rencana ini akan masuk dalam rancangan undang-undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Soal tarif PPN ini pemerintah masih melakukan pembahasan, dan ini juga dikaitkan dengan pembahasan Undang-Undang (UU) yang akan dilakukan ke DPR yaitu RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah nanti pada waktunya akan disampaikan," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 5 Mei.
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
Adapun UU tersebut mengatur tentang perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Sementara saat ini tarif PPN adalah 10 persen. Kenaikan tarif PPN ini akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa.