JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sejak beberapa hari terakhir menjadi perhatian publik. Tak terkecuali Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno.
Sandi, sapaan akrabnya, menilai kenaikan tarif PPN ini belum tepat waktunya. Sebab, sektor parekraf belum pulih dari dampak pandemi COVID-19.
"Pendapat saya dari sisi ekonomi kreatif, peningkatan PPN tersebut akan (berdampak) terutama bagi pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif yang sedang mengalami kesulitan. Kami merasa dari segi timing belum tepat waktunya. Karena itu kita harus memberikan masukan, terutama dari sektor yang tertekan akibat pandemi seperti parekraf," katanya, dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, 18 Mei.
Sandiaga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kenaikan tarif PPN di sektor parekraf. Sebab, sektor ini mengalami pukulan yang luar biasa imbas pandemi COVID-19. Namun, kata dia, untuk sektor lain di luar parekraf kenaikan tarif PPN ini bisa dipertimbangkan.
"Untuk sektor kami, kami mohon ada pertimbangan khusus. Karena jika tidak, maka dunia usaha ini akan semakin terbebani," ujarnya.
Menurut Sandiaga, jika kenaikan tarif PPN tetap diberlakukan untuk sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, maka akan muncul potensi pemutusan hubungan kerja atau PHK.
"Akhirnya keputusannya berakibat pada pemutusan hubungan kerja atau PHK yang tidak bisa dihindarkan, harapan kita itu bisa dipertimbangkan bagi sektor kami," ucapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan rencana ini masih dalam pembahasan di internal Kementerian Keuangan.
"Intinya kita hormati pembahasan wacana internal di Kemenkeu, tapi belum ada rakor antar kementerian bahas ini," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 17 Mei.
Susiwijono mengatakan bahwa pihaknya akan segera meminta penjelasan mengenai rencana kenaikan tarif PPN ini kepada Kemenkeu jika memang sudah ada rencana pasti. Sebab, kebijakan ini akan berpengaruh kepada semua sektor.
"Pasti nanti kami akan minta segera dijadwalkan jika sudah ada rencana pasti dan ada konsepsi yang jelas kira-kira kapan akan disampaikan. Sebab ini pengaruh ke semua sektor enggak hanya sektor riil, sektor industri manufaktur semua akan kena, karena itu kami sudah laporkan," jelasnya.
Menurut Susi, Kemenko Perekonomian berjanji akan memberikan penjelasan lebih rinci tentang rencana kenaikan tarif PPN ini dalam dua hari ke depan atau Rabu 19 Mei.
"Dalam 1-2 hari ini, nanti saya akan diskusikan dengan teman-teman Kemenkeu dan nanti rabu akan kami jelaskan lengkapnya," tuturnya.
Rencana kenaikan tarif PPN akan disampaikan ke DPR
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa upaya pemerintah dalam menaikkan PPN saat ini masih dalam pembahasan. Meski begitu, dia mengakui bahwa rencana ini akan masuk dalam rancangan undang-undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
BACA JUGA:
"Soal tarif PPN ini pemerintah masih melakukan pembahasan, dan ini juga dikaitkan dengan pembahasan Undang-Undang (UU) yang akan dilakujan ke DPR yaitu RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dan ini seluruhnya akan dibahas oleh pemerintah nanti pada waktunya akan disampaikan," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 5 Mei.
Mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
Adapun UU tersebut mengatur tentang perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Sementara saat ini tarif PPN adalah 10 persen. Kenaikan tarif PPN ini akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa.
Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengkaji ulang rencana untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 10 persen menjadi 15 persen pada tahun depan.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menilai rencana pemerintah menaikkan tarif PPN di tengah situasi ekonomi yang belum stabil merupakan langkah yang tidak tepat.
"Kenaikan tarif paling tinggi 15 persen itu harus dikaji ulang kalau perlu dibatalkan karena sampai 2022 bahkan 2023 kita masih dalam periode pemulihan ekonomi," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 11 Mei.
Tauhid beralasan rencana tersebut tidak tepat karena tidak ada pihak yang dapat memastikan kapan pandemi akan berakhir. Sehingga diperkirakan keadaan masyarakat masih belum stabil.
"Masih ada beban ke ekonomi yang besar jadi kalau dibebani rencana kenaikan PPN saya kira itu akan menjadi persoalan yang cukup serius," katanya.
Lebih lanjut, Tauhid menuturkan tingkat kesejahteraan masyarakat pada tahun depan diperkirakan masih relatif stagnan. Bahkan, mengalami penurunan. Sehingga menunjukkan belum ada peningkatan yang signifikan dari kegiatan perekonomian.
Sementara, kata Tauhid, dari sisi daya beli masyarakat, inflasi, indeks keyakinan konsumen untuk tahun depan juga diprediksikan belum pulih sehingga justru masih perlu bantuan dari pemerintah dan bukan dibebani dengan kenaikan tarif PPN.
Sebenarnya, Tauhid berujar jika dilihat dari sisi daya saing sebenarnya tarif PPN Indonesia dibandingkan negara lain relatif sama yaitu sekitar 10 persen.