Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menyebut rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan, justru akan menurunkan pendapatan negara.

"Jadi tarif itu dinaikkan terus menerus bahkan melebihi titik optimal akan justru menurunkan pendapatan atau penerimaan secara agregat," katanya dikutip dari Antara, Selasa 11 Mei.

Heri menjelaskan kenaikan PPN pasti meningkatkan biaya produksi dan jika pandemi masih berlangsung pada 2022 maka masyarakat akan menahan daya belinya.

Ia menuturkan keputusan masyarakat untuk menahan konsumsi membuat permintaan barang dan jasa akan turun sehingga berdampak pada sektor usaha yaitu penurunan utilisasi.

Kemudian jika sektor usaha menurunkan utilisasi produksi dan penjualannya maka berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja sehingga pendapatan masyarakat akan turun.

"Jika pendapatan masyarakat turun maka konsumsi turun dan akan menghambat pemulihan ekonomi pasca pandemi. Kalau pemulihan ekonomi terhambat tentu saja pendapatan negara tak kunjung optimal," katanya.

Ia mengatakan jika PPN naik menjadi single tarif maka industri akan memerlukan modal kerja tambahan sementara pihak perbankan berencana menurunkan plafon kredit bagi beberapa industri.

Menurutnya, jika sumber tambahan modal kerja turun maka industri akan mengalami kesulitan untuk memperoleh modal kerja sehingga semakin terhambat dalam melakukan ekspansi untuk produksi karena biaya semakin tinggi.

"Sulitnya perolehan modal kerja akan semakin menekan utilisasi industri maka dengan rendahnya utilisasi industri maka kenaikan PPN tidak akan berikan manfaat bagi pemerintah," ujarnya.

Oleh sebab itu, Heri menyarankan pemerintah untuk lebih memperluas basis pajak PPN dengan menjaring Wajib Pajak (WP) baru dan bukan justru menaikkan tarifnya.

"Dicoba untuk menjaring WP baru salah satunya dengan menertibkan ritel non Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menggunakan fasilitas non PKP," katanya.

Ia mengatakan penertiban ini harus dilakukan mengingat banyak pengusaha kelas menengah dan bawah yang menyiasati agar dapat menggunakan fasilitas non PKP.

Heri menjelaskan para pengusaha menyiasati dengan membagi perusahaan menjadi beberapa CV namun pemilik masih sama agar mereka mendapat fasilitas non PKP.

"Ambang batas PKP dinaikkan jadi Rp4,8 miliar tadinya Rp600 juta. Jika itu dikembalikan lagi dari Rp4,8 miliar diturunkan menjadi lebih rendah maka akan lebih banyak terjaring WP baru yang seharusnya mampu jadi PKP tapi karena disiasati jadi banyak kecolongan," jelasnya.