Sembako Kena PPN, YLKI: Tidak Manusiawi, Tambah Beban Masyarakat
Ilustrasi Pasar (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menarik pajak pertambahan nilai atau PPN atas bahan pokok atau sembako mendapat sorotan dari banyak pihak. Termasuk dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai rencana tersebut tidak manusiawi.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan rencana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi. Apalagi, kata Tulus, akan diberlakukan di tengah pandemi seperti sekarang, disaat daya beli masyarakat sedang turun drastis. 

"Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi," katanya, di Jakarta, Kamis, 10 Juni.

Tulus berujar pengenaan PPN pada bahan pokok juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan di masyarakat. Karena itu, wacana ini harus dibatalkan.

"Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN," tuturnya.

Menurut Tulus, pemerintah bisa menaikkan cukai rokok yang lebih signifikan. Dengan menaikkan cukai rokok, potensinya bisa mencapai Rp200 triliun lebih. Selain itu, akan berdampak positif terhadap masyarakat menengah bawah.

"Karena bisa mengurangi konsumsi rokoknya, dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan," jelasnya.

Senada, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menolak rencana tersebut. Sebab, menaikan PPN di sektor kebutuhan pokok adalah cara-cara penjajah. Presiden KSPI Said Iqbal meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tidak bersikap seperti penjajah.

Menurut Iqbal, memberlakukan tax amnesty jilid II dan menerapkan PPN untuk sembako serupa dengan sifat kolonial.

"Kami mengecam keras. Memberlakukan kembali tax amnesty jilid II dan menaikan PPn khususnya sembako adalah cara-cara kolonialisme yang dilakukan oleh Menteri Keuangan. Ini adalah sifat penjajah," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis, 10 Juni.

Lebih lanjut, Iqbal mempertanyakan sikap pemerintah. Sebab, pemerintah justru memberikan relaksasi pajak untuk orang-orang kaya termasuk kepada produsen mobil yang mendapatkan relaksasi PPnBM.

"Orang kaya diberi relaksasi pajak termasuk produsen mobil diberikan relaksasi PPnBM dalam kapasitas mobil tertentu 0 persen. Tapi rakyat untuk makan yang kita kenal dengn sembako direncakan dikenai pajak. Itu sifat kolonialisme, penjajah," ucapnya.

Iqbal mengingatkan agar Sri Mulyani meninjau ulang rencana ini. Sebab, kaum buruh tidak akan tinggal diam untuk melawan agar rencana ini tidak jadi diberlakukan.

"Menteri Keuangan sebaiknya jangan berlagak kolonialisme terhadap rakyat. Kaum buruh akan menjadi garda terdepam melakukan perlawanan hukum dan gerakan perlawanan gerakan aksi," tegasnya.