JAKARTA - Pemerintah menggulirkan rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada pembelian barang kebutuhan pokok seperti sembako.
Hal ini mencuat setelah pemerintah mengambil inisiasi untuk merevisi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Merespons hal ini, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPP) Abdullah Mansuri mengaku pihaknya akan melakukan protes kepada Presiden Jokowi.
"Sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di indonesia, kami akan melakukan upaya protes kepada presiden agar kementrian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan anggota kami," kata Abdullah dalam keterangannya, 10 Juni.
Abdullah memandang pemerintah mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan. Terlebih, kebijakan ini muncul pada masa pandemi, di saat situasi perekonomian sedang sulit.
Menurut dia, pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan di beberapa bulan belakangan ini. Sebab, Saat ini, IKAPPI mencatat ada penurunan omzet pedagang pasar lebih dari 50 persen.
"Harga cabai bulan lalu hingga Rp100 ribu, harga daging sapi belum stabil mau di bebanin PPN lagi? Gila. Kami kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar?" cecarnya.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dari sebelumnya 10 persen. Rencana kenaikan tarif PPN ini akan dituangkan lewat Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 5 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Kenaikan tarif PPN 12 persen tersebut tertuang jelas dalam Pasal 7 ayat 1 draf RUU KUP yang akan dibahas bersama DPR RI.
Terdapat tiga skema dalam pelaksanaan PPN sembako. Pertama, PPN usulan 12 persen. Kedua, skema multitarif 5 persen yang lebih rendah dari skema pertama dengan penguatan legalitas melalui Peraturan Pemerintah. Ketiga, adalah melalui cara PPN final 1 persen.
Sementara, pemerintah cenderung memilih skema ketiga, yakni PPN final 1 persen karena dapat mengakomodir serta meminimalisir dampak bagi pelaku usaha kecil dan menengah.