JAKARTA - Pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Rencana ini mendapat penolakan dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia atau IKAPPI. Mereka meminta pemerintah menghentikan rencana ini.
Seperti diketahui, PPN juga akan dikenakan pada barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ketua umum Ikappi Abdullah Mansuri mengatakan jika bahan pokok dikenakan PPN, maka akan membebani masyarakat. Sebab barang yang dikenakan PPN meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula.
Lebih lanjut, dia berujar bahwa pedagang pasar sedang mengalami kondisi sulit karena lebih dari 50 persen omzet dagang turun. Sementara itu, pemerintah dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir.
"Kami mencatat lebih dari 50 persen omzet pedagang pasar menurun. Di samping itu pemerintah belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan di beberapa bulan belakangan ini. Harga cabai bulan lalu hingga Rp100 ribu, harga daging sapi belum stabil mau dibebani PPN lagi? Gila," ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 9 Juni.
BACA JUGA:
Bahkan, Mansuri berujar pedagang pasar saat ini sulit untuk menjual dagangannya karena ekonomi sedang menurun dan daya beli masyarakat rendah. Sehingga, pengenaan tarif PPN hanya akan membuat pedagang gulung tikar.
"Kami kesulitan jual. Mau ditambah PPN lagi, gimana tidak gulung tikar. Kami memprotes keras upaya-upaya tersebut. Dan sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di Indonesia kami akan melakukan upaya protes kepada presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya-upaya yang justru menyulitkan anggota kami (pedagang pasar)," tuturnya.
Karena itu, Mansuri meminta pemerintah untuk menghentikan upaya menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak dan harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan.
"Apalagi kebijakan tersebut digulirkan pada masa pandemi dan situasi perekonomian saat ini yang sedang sulit," ujarnya.