Sama-sama Keukeuh, Ini Titik Beda Sri Mulyani dan PPATK soal Skandal Rp349 Triliun
Foto: Tangkap layar Youtube Komisi III DPR

Bagikan:

JAKARTA – Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebesar Rp349 triliun yang kini merundung Kementerian Keuangan masih terus berlanjut.

Terbaru, Komisi III DPR berhasil memanggil Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bersama dengan Menko Polhukam Mahfud MD dan Ketua PPATK Ivan Yustiavandana.

Dalam penjelasannya, Menkeu menyebut bahwa transaksi mencurigakan Rp439 triliun itu termuat dalam 300 surat PPATK.

Adapun, sebanyak 200 surat bernilai Rp275 triliun dikirim langsung ke Kemenkeu. Sementara 100 surat lain dikirim PPATK ke Aparat Penegak Hukum (APH) senilai Rp74 triliun yang tidak ditembuskan ke Kementerian Keuangan.

Menkeu lantas merinci, dari angka Rp275 triliun berkenaan dengan korporasi dan pegawai Kementerian keuangan adalah sebesar Rp22 triliun.

Sementara Rp13 triliun (dari Rp74 triliun) adalah angka yang muncul dari surat PPATK yang dikirim ke APH. Disini hasilnya adalah berjumlah Rp35 triliun (Rp22 triliun + Rp13 triliun).

Karena Sri Mulyani tidak merasa menerima surat PPATK yang dikirim ke APH, maka nilai Rp13 triliun itu tidak menjadi fokus utama. Alhasil, dia hanya berkonsentrasi pada nilai Rp22 triliun (sesuai dengan surat yang diterima langsung).

Lalu, dari Rp22 triliun itu yang terkait korporasi adalah sebesar Rp18,7 triliun. Sri Mulyani menyatakan bahwa angka Rp18,7 triliun ini tidak berhubungan langsung dengan instansi Kementerian Keuangan.

“Yang Rp18,7 triliun adalah transaksi debit kredit operasional korporasi dan orang pribadi yang tidak terafiliasi dengan pegawai Kemenkeu,” kata dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa, 11 April.

Sehingga, tersisalah angka Rp3,3 triliun. Ini adalah nilai yang benar-benar dipegang oleh Sri Mulyani. Kenapa? Karena mencantumkan nama pegawai Kemenkeu berdasarkan surat yang diterima langsung dari PPATK.

“Nilai Rp3,3 triliun merupakan akumulasi dari transaksi debit kredit pegawai, termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, dan jual/beli harta untuk kurun waktu 15 tahun (2009 hingga 2023) yang telah ditindaklanjuti,” kata Sri Mulyani.

Lantas dimana perbedaan pandangan dengan PPATK?

Ivan Yustiavandana selaku Kepala PPATK menerangkan bahwa secara khusus ada transaksi mencurigakan sebesar Rp35 triliun di Kementerian Keuangan. Hal itu dia ungkap saat menghadiri undangan rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR pada Rabu, 29 Maret.

Dia menyebut angka ini oleh Kemenkeu lalu dikeluarkan yang terkait dengan entitas perusahaan menjadi Rp22 triliun.

Ivan menambahkan, Kemenkeu lalu mengeluarkan lagi entitas yang tidak ada nama pegawainya menjadi hanya Rp3,3 triliun.

“Kemudian ramai jika PPATK salah dan segala macam. Tapi, alasan mengapa PPATK memberikan data nama oknum plus perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum. Sehingga, data perusahaan ini tidak bisa dikeluarkan atau dipisahkan dari data oknum tadi,” ucapnya.

“Misalnya dia (oknum pegawai Kemenkeu) menggunakan data perusahaan dengan akta pemilik nama isterinya, nama anaknya, sopirnya, atau tukang kebunnya. Jadi, kalau data ini dikeluarkan jadilah Rp3,3 triliun. Ini yang tidak kami lakukan (pemisahan data), sebab tindak pidana pencucian uang itu selalu menggunakan tangan orang lain bukan tangan dirinya sendiri. Ini justru yang akan membuat kami membohongi para penyidik, makanya tetap Rp35 triliun,” tegas Ivan.

Senada, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan jika penelusuran yang dilakukan oleh PPATK berdasarkan tugas dan fungsi organisasi yang diemban.

“PPATK kalau bicara pasti soal pencucian uang, tidak ada yang lain,” ujar Mahfud.