Indonesia-China Belum Sepakat soal Pembengkakan Proyek Kereta Cepat, Apa Penyebabnya?
Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga. (Foto: Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Indonesia dan China belum menetapkan nilai cost overrun atau pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

Terdapat perbedaan besaran dalam hitungan kedua negara ini.

Adapun berdasarkan data sementara biaya kereta cepat Jakarta-Bandung bengkak hingga 1,176 miliar dolar AS atau setara Rp16,8 triliun.

Membengkaknya anggaran kereta cepat sempat ini diperdebatkan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium China Railway International Co. Ltd. Konsorsium China sempat menolak perhitungan cost overrun yang disodorkan PSBI.

Penolakan itu karena Konsorsium China tidak mengakui adanya biaya dari PT PLN (Persero), PT Telkom Indonesia Tbk, hingga soal pajak.

Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga mengungkapkan, kabar terbaru kedua pihak.

Kata dia, proses negosiasi Indonesia dan China masih berjalan hingga saat ini.

“Pasti nanti ada kesepakatan. Tunggu saja, namanya negosiasi. Tidak ngaruh ke timeline karena sudah ada komitmen kemarin waktu G20 antara Xi Jinping dan Pak Jokowi," ungkap Arya saat ditemui di Kementerian BUMN, Jumat, 3 Februari.

Arya mengungkapkan, penyebab pembengkaan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Kata dia, ada sejumlah komponen seperti harga lahan hingga persoalan frekuensi yang tidak dihitung China.

Apalagi, kata Arya, harga lahan di Tanah Air cenderung naik setiap tiga bulan. Kondisi ini berbeda dengan di China, di mana pemerintah setempat dapat mengendalikan harga lahan.

“Saya kasih contoh, kalau di Cina itu mana ada kenaikan harga tanah. Kalau sudah ditetapkan, mau 10-20 tahun proyek harganya segitu. Kalau Indonesia, 3 bulan sudah berubah. Mereka (China) menganggap harusnya pemerintah bisa dong mengunci harga tanah, ya enggak bisa, kondisinya berbeda,” jelasnya.

Tak hanya soal harga tanah, kata Arya, komponen selanjutnya adalah menara Base Transceiver Station (BTS) milik PT Telkomsel Indonesia Tbk.

Arya mengatakan, proses pemindahan BTS memiliki konsekuensi atas kompensasi bisnis Telkomsel.

“Soal frekuensi dianggapnya kan ini milik negara, benar, tapi pengelolaannya sudah diserahkan kepada Telkomsel. Mau Telkomsel BUMN atau bukan BUMN, di Indonesia itu dianggap kontrak bisnis,” katanya.

“Saatdiambil Telkomsel-nya rugi, karena ada biaya pengalihan dan sebagainya yang harus dikompensasi. Yang pasti kita minta BUMN jangan cari untung, tapi juga jangan rugi, Telkomsel sudah oke,” sambungnya.

Meski begitu, Arya memastikan persoalan pembengkakkan biaya tak akan menghambat target operasi kereta cepat.

Seperti diketahui, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung ditargetkan beroperasi pada Juni mendatang.

Arya menyampaikan, penyelesaian proyek kereta cepat menjadi fokus utama Menteri BUMN Erick Thohir.

“(Proyek kereta cepat) ini progres. Salah satu tugasnya Pak Jokowi ke Pak Erick itu kereta cepat. Ini sedang berprogres, nggak jauh-jauh nanti berbarengan (operasi) sama LRT,” tutur Arya.