Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus melakukan sejumlah langkah strategis guna mengakselerasi proses pemulihan ekonomi untuk kembali menuju level normal. Terbaru, melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu), negara secara resmi menggelontorkan insentif fiskal ke dua sektor pilihan sebagai bagian dari perpanjangan kebijakan yang telah dilakukan di 2021.

Adapun, fasilitas tersebut adalah Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sektor otomotif dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sektor properti. Meski pengenaan besaran diskon tidak seagresif tahun lalu, namun pemerintah berharap langkah ini dapat menstimulus aktivitas ekonomi di dalam negeri.

Perlu diketahui pula jika insentif fiskal yang dikucurkan juga memperhatikan kondisi likuiditas perbankan yang masih melimpah ruah. Banyaknya dana yang menganggur alias idle membuat beban tersendiri bagi pelaku usaha jasa keuangan karena mesti membayar biaya bunga.

Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam keterangannya hari ini.

“Dana pihak ketiga (DPK) di perbankan masih menunjukkan tren peningkatan sejak 2020 awal,” ujarnya, Selasa, 8 Februari.

Menurut Febrio, kondisi tersebut membuat aktivitas ekonomi kurang dapat bergerak gesit karena banyak diantara warga masyarakat yang memilih menempatkan uangnya sebagai instrumen pendapatan pasif.

“Hal ini memberi indikasi bahwa jumlah suplai pendanaan di dalam negeri masih tinggi dan cenderung ditempatkan di instrumen keuangan,” tuturnya.

Lantas, mengapa harus mobil dan properti (rumah)?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, simpanan yang menggemuk di bank mayoritas dimiliki oleh kalangan kelas menengah dan atas.

Bagi kelompok bawah dan rentan, pendapatan yang dimiliki bisa dipastikan bakal habis digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, terlebih tekanan pandemi membuat situasi makin sulit. Sehingga, kecil kemungkinan golongan ini memiliki simpanan yang menumpuk di perbankan.

PPnBM Mobil dan PPN Properti juga menjadi alternatif mendongkrak kinerja intermediasi bank karena bisa langsung menyalurkan kredit serta pembiayaan.

"Mengingat bahwa kredit konsumsi belum mendekati level prapandemi, diperlukan upaya untuk mendorong transmisi ke sektor riil untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi," lanjut Febrio.

Mengutip laporan yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disebutkan bahwa jumlah DPK perbankan pada akhir 2021 berjumlah Rp7.479,46 triliun. Angka tersebut tumbuh 12,2 persen jika dibandingkan dengan periode 2020 sebesar Rp6.665,39 triliun.

Idealnya adalah pertumbuhan dana pihak ketiga tidak boleh menyentuh level dua digit, yang berarti tingkat konsumsi masyarakat cukup tinggi.