Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah persoalan dalam pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kembali menjadi sorotan publik. Mulai dari terkait membengkaknya anggaran pembangunan sampai tentang prospek bisnis moda transportasi massal ini setelah jadi nanti. Benarkah pembangunan kereta cepat ini akan bernasib suram?

Cost overrun atau kelebihan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi polemik. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Wijaya Karya (Persero) Tbk Ade Wahyu seperti dikutip Kompas menegaskan, besaran kelebihan biaya itu masih dalam tahap perhitungan.

Meski begitu kelebihan biaya proyek KCJB sudah banyak diberitakan. Estimasinya, 1,7 miliar dolar AS hingga 2,1 miliar dolar AS atau setara Rp24,23 triliun-Rp29,93 triliun.

Hal ini disampaikan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR awal September. Salusra melaporkan membengkaknya biaya mega proyek ini lantaran Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp4,3 triliun. Padahal seharusnya modal itu disetor sejak Desember 2020.

Untuk itu KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC). Hanya saja Salusra tak menjelaskan alasan yang membuat setoran awal belum diberikan.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan supaya permasalahan ini jelas, ada baiknya segera diaudit terlebih dahulu. "Sebaiknya hal ini diaudit saja dulu," kata dia kepada VOI.

Bukan apa-apa, berdasarkan keterangan Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo seperti dikutip CNNIndonesia mengatakan biaya proyek yang bengkak itu akan membebani keuangan negara. Selain itu menurut dia komunikasi antara Indonesia dan China kurang lancar karena pemimpin proyek, Wijaya Karya bukan perusahaan kereta api melainkan konstruksi.

Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bermasalah sejak awal

Anggota  Komisi V DPR dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama, menilai sejak awal proyek kereta cepat diprediksi bermasalah. Misalnya dari mulai beralihnya pelaksana proyek dari Jepang ke China. Menurutnya ini merupakan keputusan yang diambil secara buru-buru.

Selain itu, Suryadi juga mempertanyakan betapa cepat China membuat feasibility study dengan cepat. Padahal pembuatan kajian tersebut perlu riset panjang dengan survei. Sehingga sudah diduga ada sebelumnya ada yang tak beres.

"Jadi walaupun lebih murah, tetapi sepertinya kurang detail. Demikian pula pembuatan amdal juga sepertinya sangat terburu-buru (waktunya sangat cepat dari biasanya), karena Jokowi tampaknya ingin sekali menjadikan proyek kereta cepat ini sebagai mahakarya," ujar Suryadi dikutip laman PKS.

Alhasil, karena terkesan terburu-buru, menurut Suryadi hal tersebut menyebabkan kurang baiknya perencanaan kereta cepat. "Terkait pembengkakan tersebut tentunya sudah diprediksi dan sejak awal kekhawatiran FPKS adalah akan adanya beban kepada keuangan negara."

Memang Suryadi menjelaskan, Presiden telah menerbitkan Perpres No 107 Tahun 2015 yang pada Pasal 4 ayat 2 dinyatakan bahwa pelaksanaan penugasan proyek tidak menggunakan dana dari APBN, serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah. Tapi tetap saja Perpres tersebut, tidak dapat menghapus ketentuan yang ada pada UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang juga menjadi dasar terbitnya Perpres itu sendiri.

Ilustrasi. (Irfan Meidianto/VOI)

"Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial. Sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat," kata Wakil Sekretaris FPKS DPR RI ini.

Oleh karena itu, berdasarkan beleid tersebut, pemerintah tidak bisa melarikan diri dari kewajibannya membantu keuangan BUMN. "Yang berpotensi mengalami kerugian akibat penugasan untuk menjalankan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini."

Prospek kereta cepat

Masalah lain yang menjadi sorotan adalah soal efektivitas prospek bisnis KCJB itu sendiri. Sebab beberapa pihak ada yang menyayangkan mengapa moda transportasi ini tidak melintas sampai ke tengah Kota Bandung.

Padahal menurut Pengamat transportasi Djoko Setijowarno, di negara mana pun kereta cepat biasanya bergerak sampai ke pusat kota. Namun berbeda dari KCJB yang malah bergerak dari pinggir ke pinggir.

"Kereta cepat di mana pun di dunia ini biasanya bergerak dari pusat kota ke pusat kota. Tapi ini saya enggak tau yang merencanakan siapa, dari pinggir ke pinggir," kata Djoko saat dihubungi.

Dosen Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata ini menjelaskan kalau kereta cepat bergerak dari pusat kota ke pusat kota maka akan lebih kompetitif dari transportasi lain. "Paling nanti perlu diuji dulu peminatnya seperti apa yang menggunakan kereta itu."

Dikabarkan, dengan adanya kereta cepat ini, waktu yang ditempuh dari Jakarta ke Bandung hanya sekitar 46 menit saja. Hal ini beberapa kali lipat lebih cepat jika dibandingkan naik kereta api biasa yang bisa menempuh sekitar kurang lebih tiga jam.

Namun stasiun pemberhentian terakhir yang belum sampai Tegalluar, dan hanya mencapai Stasiun Padalarang, Bandung Barat saja menjadi salah satu hal yang disayangkan. "Tapi sayangnya, harus naik angkutan lagi untuk sampai ke pusat kota," kata Djoko.

*Baca Informasi lain soal TRANSPORTASI atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya