Bagikan:

JAKARTA - MS, pegawai yang diduga mengalami kekerasan seksual dan perundungan oleh rekan-rekan kantornya di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik oleh para terlapor. Pelaporan UU ITE pada MS berjalan beriringan dengan penyelidikan polisi soal kekerasan seksual dan perundungan. Kita dalami fenomena lapor dibalas lapor ini.

Denny Harianta, kuasa hukum dua terlapor kasus MS menjelaskan tentang rencana pelaporan terhadap MS. Ia menolak langkah hukumnya disebut sebagai 'pelaporan balik'. Menurut Denny pelaporan terhadap MS berjalan sendiri-sendiri. Dasar pelaporannya, karena MS memublikasikan identitas para terlapor sebelum melakukan laporan ke kepolisian.

Hal itu menurut Denny memancing penghakiman di luar proses hukum terhadap para pelapor. "Itu berakibat klien kami seolah-olah sudah jadi terduga pelaku ... Di dunia hukum itu dikenal asas praduga tidak besalah. Harusnya klien kami di tahap ini tidak bisa di-judgement sebagai terduga pelaku. Wong peristiwa pidananya saja belum jelas," Denny kepada VOI, Selasa, 7 September.

"Jadi itu yang akan kita laporkan adalah peristiwa sebelum pelaporan, yang mana dia (MS) merilis berita terlebih dahulu sebelum melakukan pelaporan. Rilis berita itu kemudian naik ke media sosial dan media massa. Jadi kalau dari aspek waktu kejadian peristiwanya, hal yang berbeda dengan perkara yang sedang bergulir sekarang," tambah Denny.

Tapi bukankah sebelum memublikasikan ceritanya MS sudah dua kali lapor polisi, di mana kedua laporan itu tak dilanjutkan ke penyelidikan. Denny menjawab bahwa mereka menganggap laporan yang diproses ke penyelidikan adalah pelaporan terakhir, yang memang dilakukan setelah MS memublikasikan kisahnya. "Kan yang naik jadi laporan dan diproses yang sekarang," kata Denny.

Namun, melanjutkan jawaban soal logika waktu kasus ini, Denny malah berbalik. Ia mengatakan dalam pandangannya, laporan Denny pada tahun 2017 sejatinya sudah diproses oleh kepolisian. "Tapi kalau tahun 2017 dia lapor kepada polisi dan polisi merekomendasikan itu untuk diselesaikan secara internal, menurut saya sih polisi sudah memproses juga."

"Karena buktinya dia dapat saran atau arahan untuk diselsaikan secara internal. Itu artinya diproses ya, mas," Denny.

Mendalami fenomena balas lapor pakai UU ITE

Kuasa hukum terlapor kasus dugaan pelecehan seksual MS (Rizky Sulistyo/VOI)

Kuasa hukum dua terlapor dalam kasus MS, Denny Harianta mengatakan pihaknya menggunakan KUHP dan UU ITE untuk menjerat MS dan sejumlah warganet yang dianggap mencemarkan nama baik kliennya. Detailnya akan ia jelaskan besok saat pelaporan.

"Jadi karena itu dilakukan sebelum terjadi pelaporan dan kemudian diangkat di media sosial dan media massa, tentunya UU terkaitnya KUHP dan UU ITE. Mengenai detailnya nanti akan kami sampaikan setelah kami menyampaikan laporan itu mas, ya. Jadi saya menghindari jangan sampai bahwa hal ini tergesa-gesa, nanti berubah, kan gitu, ya," kata Denny.

Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) M Arsyad menyoroti fenomena ini sebagai kekerapan yang terus terjadi dalam konteks UU ITE. Dasar hukum karet ini pada dasarnya memang memberi banyak celah untuk aksi balas lapor semacam ini.

"Ketika kita berbicara terkait rumusan di dalam UU ITE tahun 2016, memang ada celah di mana orang yang dilaporkan bisa melaporkan balik karena di dalam pasal 27 ayat 3 tidak menjelaskan yang dimaksud makna dari pencemaran itu seperti apa. Pokoknya itu hanya subjektif dari pelapor sendiri yang bisa memaknai," Arsyad kepada VOI, Selasa, 7 September.

Arsyad menjelaskan sejumlah alasan paling umum kenapa orang menggunakan UU ITE untuk memidanakan pihak lain. Pertama, barter perkara. Ini alasan paling umum. Dalam konteks ini polisi jadi pihak yang juga paling banyak dikaitkan dengan penyalahgunaan UU ITE.

"Kenapa kepolisian kami masukkan sebagai klaster ketiga pengguna UU ITE, merekalah yang jadi jembatan dari kedua kluster, yaitu pemodal maupun pejabat publik ... Negosiasi ini yang berjalan dalam proses penyelidikan ataupun di penyidikan. Contohnya, 'kamu mencabut laporan kamu maka kasus pencemaran kamu juga dicabut. Kalian sama-sama hidup tenang, maka tidak ada yang dipenjara,'" jelas Arsyad.

Alasan kedua adalah sebagai shock therapy. Ini banyak digunakan pejabat maupun perusahaan. "Dia minta korban UU ITE harus minta maaf di media massa dan sebagainya. Ini untuk memberikan warning, ketika kamu mengganggu saya atau mengkritik saya maka saya akan memenjarakan kamu seperti dia," tutur Arsyad.

"Yang ketiga pasti adalah pembungkaman, bagaimana supaya orang itu diam dan tidak bersuara. Salah satu jalan paling efektif adalah dengan mengasuskan mereka." Kami bertanya pada Denny apakah salah satu alasan di atas juga yang mendasari pelaporan terhadap MS dan sejumlah warganet dalam kasus dugaan pencemaran nama baik klliennya.

"Kami melaporkan peristiwa faktual saja. Peristiwa faktual itu apa, ya nanti diukur unsur-unsur pidananya. Memenuhi unsur yang mana pidananya. Bagi kami tidak ada barter. Tidak ada pembungkaman. Karena buat apa membungkam."

"Pelapor ini sudah lebih menang kok di media massa. Mau bungkam apa. Kami tidak ingin membungkam kayak begitu. Shock therapy enggak ada juga. Pidana itu kalau seseorang melakukan perbuatan, memenuhi unsur, ya itu harusnya diproses. Itu saja," kata Denny.

Peluang MS dan warganet lolos dari UU ITE

Pada Juni lalu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin menandatangani Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pedoman itu diharapkan bisa memberi perlindungan pada masyarakat dari bentuk-bentuk kriminalisasi berbasis UU ITE. "Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat," tutur Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD kala itu.

Kapolri Listyo Sigit (Sumber: Humas Polri)

Berikut poin-poin dalam SKB Pedoman Implementasi UU ITE:

a. Pasal 27 ayat (1) Fokus pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya, bukan pada perbuatan kesusilaan itu. Pelaku sengaja membuat publik bisa melihat atau mengirimkan kembali konten tersebut.

b. Pasal 27 ayat (2) Fokus pasal ini adalah pada perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya konten perjudian yang dilarang atau tidak memiliki izin berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c. Pasal 27 ayat (3) Fokus pasal ini adalah:

(1) Pada perbuatan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum.

(2) Bukan sebuah delik pidana jika konten berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

(3) Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

(4) Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik jika konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas.

(5) Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

d. Pasal 27 ayat (4), Fokus pasal ini adalah perbuatan dilakukan oleh seseorang ataupun organisasi atau badan hukum dan disampaikan secara terbuka maupun tertutup, baik berupa pemaksaan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum maupun mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi.

e. Pasal 28 ayat (1), Fokus pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan berita bohong dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring dan tidak dapat dikenakan kepada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau mengalami force majeur. Merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.

f. Pasal 28 ayat (2) Fokus pasal ini adalah pada perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasar SARA. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu/kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan. Baca juga: Ini Isi Pasal 45C UU ITE yang Bakal Ditambah Pemerintah

g. Pasal 29 Fokus pasal ini adalah pada perbuatan pengiriman informasi berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi atau mengancam jiwa manusia, bukan mengancam akan merusak bangunan atau harta benda dan merupakan delik umum.

h. Pasal 36 Fokus pada pasal ini adalah kerugian materiil terjadi pada korban orang perseorangan ataupun badan hukum, bukan kerugian tidak langsung, bukan berupa potensi kerugian, dan bukan pula kerugian yang bersifat nonmateriil. Nilai kerugian materiil merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

Ketua Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) M Arsyad mengajak publik menyoroti poin d. Butir itu pada intinya menjelaskan bahwa ketika "ketika ada persoalan hukum lain, maka untuk ITE-nya harus nunggu proses itu kelar dulu." Artinya, MS dan warganet sangat mungkin lolos, setidaknya jika ada upaya-upaya kriminalisasi kasus berbasis UU ITE karena bagaimanapun proses laporan terhadap UU ITE harus menunggu kasus dugaan kekerasan seksual dan perundungan rampung.

Memang, SKB 3 Lembaga hanya bersifat pedoman. Artinya tak ada keharusan bagi polisi yang mengikat. Namun justru di situlah ujiannya. Sekarang kuncinya ada di kepolisian, apakah mau menjalankan tugas secara profesional berdasar pedoman SKB 3 Lembaga atau tidak. Apalagi jika pelaporan benar akan dilakukan kuasa hukum terlapor kasus MS.

"SKB itu sudah jadi pegangan. Ketika proses hukum yang keluar dari SKB, itu harus dipertanyakan. Kapolri, Jaksa Agung, dan Menkominfo sudah bersepakat SKB ini dijalankan dan jadi aturan main ketika menangani perkara-perkara UU ITE."

"Karena dalam pencemaran tidak boleh diwakili. Tidak boleh diwakili untuk melaporkan suatu tindakan yang sifatnya pencemaran. Itu jelas. Itu tidak hanya di SKB. Di KUHP pasal 310 itu tercantum karena dia sifatnya delik aduan. Tidak boleh diwakili."

Denny, sebagai kuasa hukum terlapor yang berencana menjerat MS dan sejumlah warganet dengan UU ITE pun menyadari kondisi ini. Ia mengembalikan kepada polisi. "Bahwa itu sepenuhnya kewenangan di polisi. Itu kewenangan kepolisian atau lembaga terkait. Kami punya hak untuk melapor. Itu kan mengikat ke internal masing-masing lembaga, yang jadi pertimbangan apa."

*Baca Informasi lain soal PELECEHAN SEKSUAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya