JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan dan perundungan yang dialami MS, pegawai KPI, memasuki babak baru. MS bakal menghadapi tuntutan hukum balik dari terlapor kasus tersebut. Yang lebih mencengangkan lagi adalah argumen yang dibangun oleh para kuasa hukum terlapor menyebutkan tindakan yang dilakukan kliennya seperti perbudakan adalah hal yang biasa dan dianggap bercanda atau ceng-cengan belaka.
Kabar laporan balik kepada MS diungkapkan oleh Tegar Putuhena selaku kuasa hukum dua terlapor saat mendatangi Mapolrestro Jakarta Pusat. Tegar Putuhena menilai MS tak punya bukti kuat.
"Sejauh ini yang kami temukan peristiwa itu tidak ada, peristiwa di tahun 2015 yang dituduhkan dan sudah viral itu tidak ada, tidak didukung oleh bukti apapun," kata Tegar Putuhena kepada wartawan di Polres Metro Jakarta Pusat, Senin kemarin.
Sementara pengacara terlapor lainnya, Anton, mengatakan laporan yang dilakukan pada kejadian tahun 2015 dan 2017 itu semua tidak dapat dibuktikan. Kata dia walaupun dalam risil yang viral disebutkan ada perbudakan, ia menyebutnya sebagai candaan atau ceng-cengan, merupakan hal yang biasa.
"Kalau pun ada masalah di rilis itu tentang perbudakan, kemudian ceng-cengan lah bahasa kita itu hal yang biasa. Kalau pun yang disuruh beli makan itu sering gantian. Misalnya ada yang nitip beli makan. Itu juga berlaku pada terperiksa sekarang," kata Anton kepada wartawan, 6 September kemarin.
Sedikit mengingat kembali, semua bermula ketika korban berinisial MS mengalami perundungan sejak 2012. Menurut pengakuannya yang viral di media sosial, dirinya diperlakukan bak budak oleh para rekan sekantornya.
Puncaknya, pada 2015 lalu para pelaku beramai-ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, dan melakukan pelecehan seksual. MS telah melapor ke pihak kepolisian. Namun sayangnya. laporan di Polsek Gambir pada 2019 lalu tidak diterima dan dirinya diminta menyelesaikan masalah secara internal.
Sebelumnya dijelaskan bahwa pegawai KPI itu melaporkan dirinya menjadi korban pecelahan seksual oleh rekan-rekan sekantornya. Kemudian polisi meminta bukti dan ia tidak dapat memberikan bukti.
Ada relasi kuasa
Dalam banyak kasus peristiwa perundungan terjadi akibat rasa superioritas yang muncul di dalam diri pelaku. Ketika ia merasa ketemu dengan individu yang terlihat lebih lemah, maka saat itulah terjadi perundungan. Dan sialnya, menurut Sosiolog dari UIN Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah, masyarakat kita memiliki budaya jelek yakni ketika seseorang merasa senior bisa membuatnya kehilangan akal sehat.
"Butuh keluhuran budi untuk mengatasi hal ini. Itulah semangat dari demokrasi, di mana masalah senior ini bisa dikikis," ujar Tantan saat dihubungi VOI.
Dalam konteks MS, ia mengalami perundungan di lingkungan kerja KPI sejak 2012. Selama beberapa tahun itulah menurut pengakuannya dia menerima perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual.
Mengutip jurnal The Nature and Causes of Bullying at Work oleh Staele Einarsen, berdasarkan survei pegawai yang dilakukan Universitas Finlandia, terdapat banyak alasan terjadinya perundungan di tempat kerja. Permasalahan tersebut mengenai status dan posisi pekerjaan, kecemburuan, dan ketidakpercayaan diri pelaku. Studi lainnya di antara 95 korban yang tergabung dalam Union of Municipal Officials menunjukkan hasil yang serupa.
Dalam penelitian ini 68 persen melihat kecemburuan sebagai alasan pelaku melakukan perundungan, diikuti oleh atasan yang lemah (42 persen), persaingan untuk tugas atau kemajuan (38 persen) bahkan terdapat perundungan yang dilakukan atas persetujuan dari atasan (34 persen). Penelitian tersebut mengafirmasi bahwa tingkat kemungkinan perundungan di lingkungan kantor cukup tinggi.
Namun yang lebih memilukan lagi dari kasus perundungan MS, terlapor kasus perundungan dan pelecehan seksual tersebut seolah mempertajam masalah dengan melaporkan balik MS atas dasar pencemaran nama baik. Salah satu Pengacara terlapor, Anton, bahkan seperti menganggap sepele perbudakan.
Anton menganggap bahwa perundungan yang dilakukan adalah hal yang biasa. Ia menganggap ejekan yang dilontarkan memiliki konteks bercanda. Asalkan, kata Anton, masih dibatas kewajaran.
"Saya yakin juga temen-temen juga kalau orang sudah akrab biasalah yang kaya begitu selagi itu masih dalam batas wajar. Normal gitu loh," tambah Anton kepada wartawan.
Perundungan tidak ada yang lucu
Ceng-cengan atau ejekan atau godaan (teasing) berbeda jauh dengan perundungan (bullying). Mengutip Psychology Today, mengejek atau candaan juga bisa berubah menjadi intimidasi. Perbedaan antara ceng-cengan dan perundungan itu penting, karena ceng-cengan dan intimidasi secara sosial sangat berbeda.
Ejekan bisa menjadi pertukaran sosial ambigu yang bersifat ramah, netral, namun bisa berujung negatif. Bagaimana hasil pertukaran ini benar-benar tergantung pada bagaimana orang yang diejek itu bereaksi.
Jika menimbulkan tawa baginya dan orang lain mungkin tujuannya benar-benar becanda, sudah akrab. dan tidak ada rasa dipermalukan. Jika dia marah dan memperlakukan candaan itu seolah-olah itu musuh, dalam hal ini candaan berikutnya akan lebih terasa negatif dan hal itu tidak lagi bisa dianggap becanda. Biasanya jika sudah demikian, ceng-cengan tersebut harus dihentikan.
Namun untuk perundungan tidak begitu. Karena ada niat intimidasi dari pelaku untuk menyakiti korban. Perundungan menyebabkan rasa malu terhadap korbannya. Orang yang melakukan perundungan biasanya juga merasakan nikmatnya berkuasa. Pelaku perundungan yang merendahkan orang lain dalam upaya untuk mengangkat dirinya sendiri, tidak sadar betapa buruknya tingkah lakunya.
Jika dilihat dari konteks kasus MS dan senior KPI, tidak mungkin jika itu hanya sekadar ceng-cengan seperti itu karena mengakibatkan trauma bagi MS. MS tidak sekadar menerima ceng-cengan, namun diperbudak, dipermalukan, hingga mendapatkan pelecehan seksual.
Batas bercanda
Hal ini sejalan dengan paparan yang diberikan psikolog Kasandra Putranto. Melihat batas dari candaan dan perundungan, hal pertama yang kita lihat adalah dari kacamata korban. Jika korban sudah merasa dipermalukan dan tersakiti, hal ini sudah termasuk tindak perundungan bahkan pelecehan.
"Kriterianya bukan terletak pada perspektif pelaku tetapi pada perspektif korban, ketika dilakukan tanpa consent korban dan menimbulkan reaksi malu, perasaan dilecehkan dan dipermalukan," ujar Kasandra saat dihubungi VOI.ID.
Kasandra juga menyatakan bahwa dalam Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, juga sangat dijelaskan apa definisi pelecehan dan pelecehan seksual. Dalam pedoman tersebut di halaman 5 menjelaskan, pelecehan dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan sehingga korban mengalami kesulitan dalam membela diri.
Pelecehan di tempat kerja merupakan tindakan yang tidak diinginkan, berulang-ulang, dan tidak masuk akal, bahkan mengakibatkan kesulitan dalam pelaksanaan tugas atau menyebabkan pekerja merasa dirinya bekerja dalam iklim perusahaan yang tidak harmonis. Hal tersebut juga menyebabkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja.
Masih berdasarkan pedoman tersebut, dijelaskan juga bahwa pelecehan seksual adalah tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi.
Jadi jika dilihat dari kasus MS, perlakuan yang telah dilakukan oleh senior di KPI tidak lagi dinyatakan sebagai ceng-cengan saja melainkan pelecehan bahkan pelecehkan seksual. Mengingat ada hal-hal tak senonoh yang dilakukan yang membuat MS terintimidasi dan trauma.
Melihat kasus perundungan ini, memang tidak bisa tertuju dengan perspektif pelaku. Karena sedari awal korban sendiri yang lebih paham bagaimana ia menghadapi rasa hina, terintimidasi, bahkan sempat tidak dapat membela dirinya bersama aparat hukum.
*Baca Informasi lain soal PERUNDUNGAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.
BERNAS Lainnya
BACA JUGA: