Tafsir Politisi Budiman Sudjatmiko Soal Rezim Demokrasi Perlu Represif: Pembelaan Politis Belaka
Budiman Sudjatmiko (kiri) dalam Talk Show and Music ‘Bung Karno Series’ (DOK PDIP)

Bagikan:

JAKARTA - Belakangan ini nama Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Budiman Sudjatmiko jadi perbincangan di ruang publik. Musababnya, ia membantah kalau pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung otoriter. Kendati begitu, ia tak menampik kalau rezim Jokowi menerapkan represif. Dan menurutnya, represifitas aparatus memang perlu di negara demokrasi. Argumen ini lantas menuai kritik sampai dinilai hanya pembelaan politis belaka.

Budiman melontarkan argumen tersebut lewat akun twitternya. Dia bilang, semua rezim demokratis seyogyanya bisa represif untuk menegakkan aturan. Kalau tak begitu, negara bisa kacau.

"Jika tak represif, bisa jatuh bangun dan kacau. Adanya kontrol/oposisi yg cerdas adalah untuk mencegah jangan sampai jadi otoriter. Pemerintah Jokowi represif? Ya. Otoriter? Tidak," tulis Budiman.

Budiman, mengutip argumen Filsuf Louis Althusser, mengatakan negara harus punya dua jenis aparatus. Pertama aparatus ideologis dan kedua aparatus represif.

Ia mencontohkan aparatus ideologis adalah sekolah dan universitas. Sedangkan aparatus represif adalah polisi, tentara dan penjara.

"Negara demokratis yang kita cita-citakan harus bisa represif. Ini untuk menegakkan aturan dengan tetap dikontrol oleh oposisi yang cerdas," kata Budiman.

Argumen Budiman lantas dibanjiri kritik dari banyak pihak seperti aktivis dan akademisi. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin misalnya, ia menilai argumen tersebut mengada-ngada dan cenderung pembenaran saja.

"Untuk membenarkan represifitas sebuah rezim. Itu pembelaan saja. Memutar-mutar logika," kata Ujang kepada VOI.

Menurut Ujang, kalau pemimpin yang dicintai dan disayangi rakyat tak akan pernah melakukan tindakan represif. "Untuk membenarkan represifitas sebuah rezim saja," kata Ujang.

Memang teori yang dikutip Budiman itu benar adanya, hanya saja Ujang menilai penggunaannya salah. "Penggunaannya salah. TNI dan Polri itu institusi represif. Tapi tak boleh digunakan untuk menakut-nakuti rakyat."

Argumen Budiman yang dinilai hanyalah pembelaan terhadap rezim yang represif masuk akal. Sebab kata Ujang, saat ini represifitas aparatus memang lumayan parah.

"Lumayan parah. Buktinya masyarakat ketakutan untuk mengkritik," ujar Ujang. Lantas bagaimana sebetulnya idealnya negara menegakkan hukum?

Budiman Sudjatmiko. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Penegakan hukum yang ideal

Untuk menjawab pertanyaan tersebut VOI menghubungi Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari. Soal represif, dia menjelaskan perlu diluruskan dulu terminologinya.

Iftitahsari menjelaskan, pada dasarnya semua tindakan aparat penegak hukum itu bentuknya memang represif. Dan terminologi represif menurutnya adalah tindakan penegakan hukum aparat yang dalam konteks tertentu berlebihan.

"Terminologi represif biasanya kami gunakan untuk mendeskripsikan tindakan penegakan hukum aparat yang dalam konteks tertentu berlebihan. Sehingga tindakan represif itu tidak perlu," kata Iftitahsari.

Dalam ilmu hukum, menurut Iftitahsari, ada yang disebut dengan tindakan terukur. "Jadi ibarat tindakan represif yang ada level-levelnya gitu."

Sementara itu, kalau bicara perlu atau tidaknya represifitas aparat, Iftitahsari menegaskan bukan hal yang patut didukung. Apalagi dalam alam demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan sipil.

"Tindakan represif ya hakikatnya kan bukan sesuatu yang patut didorong dalam kondisi apapun ya. Apalagi dalam demokrasi yang harusnya menunjung tinggi HAM dan kebebasan sipil jadi bertolak belakang dengan definisi tindakan represif itu sendiri," pungkasnya.

*Baca informasi lain tentang POLITIK atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya