Kerumunan di NTT Bukti Pergerakan Masyarakat Sudah Sulit Dibendung PPKM
Acara yang dihadiri Gubernur NTT VIctor Laiskodat (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kita semua sadar bila Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih berangsung. Meski di beberapa daerah level PPKM sudah melonggar, bukan berarti kita bisa lengah sehingga mengabaikan protokol kesehatan. Tapi apa daya, panjangnya masa berlaku PPKM seolah tak lagi dapat membendung pergerakan masyarakat.

Polemik di Nusa Tenggara Timur buktinya. Pada Jumat 27 Agustus 2021, terdapat kegiatan Pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) di Pulau Semau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana baik masyarakat biasa sampai pemimpinnya seperti tak lagi mengindahkan adanya aturan larangan berkerumun.

Pengukuhan TPKAD tersebut dihadiri pejabat tinggi NTT seperti Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, bahkan hampir seluruh kepala daerah seperti Bupati dan Wali Kota se-NTT. Kerumunan yang diabadikan dalam sebuah video tersebut lantas viral.

Dalam video dan foto tersebut, terlihat bahwa orang-orang yang hadir tidak semuanya mengenakan masker. Tidak hanya itu, acara tersebut yang diisi dengan pentas musik juga mengundang kerumunan. Tentunya hal tersebut merupakan pelanggaran protokol kesehatan.

Acara di tengah pandemi COVID-19 ini mengundang berbagai komentar. Tokoh agama di Kupang, Pendeta Emi Sahertian mengatakan bahwa kerumunan tersebut adalah contoh yang tidak baik bagi masyarakat. Sangat disayangkan bahwa untuk beribadah saja kalangan gereja sangat berusaha menjaga protokol kesehatan. Namun pihak pemerintahan sendiri yang melanggar peraturan tersebut.

"Namun pada sisi lain, aktor-aktor pemerintahan menabrak peraturan itu dengan menggelar kegiatan yang menimbulkan kerumunan," kata Emi Sahertian, dikutip Antara. "Aturan kedaruratan untuk mencegah penularan dan menyelamatkan banyak nyawa masyarakat, bila dilanggar ini sekelas dengan tindakan kriminal," tambahnya.

Kabupaten dan Kota di Provinsi NTT tengah berada di level 3 dan 4 PPKM. Menurut laporan pada Minggu 29 Agustus 2021, kasus positif COVID-19 di NTT mencapai angka 59.038. Sebanyak 54.024 orang berhasil sembuh dan 1.157 orang meninggal dunia. Bisa dilihat bahwa NTT tidak terbebas dari COVID-19 dan tidak seharusnya pejabat yang bertanggung jawab menciptakan suasana kondusif, justru melanggar protokol kesehatan.

Kasus melandai kerumunan meningkat

Saat ini, tren kasus dan kematian COVID-19 memang menurun. Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kasus COVID-19 terus mengalami penurunan selama pelaksanaan PPKM.

Bahkan per 28 Agustus 2021, terdapat 20 provinsi yang mengalami penurunan kasus COVID-19. Angka kematian akibat COVID-19 juga dilaporkan menurun yaitu di angka 3,2 persen. Sejak 23-28 Agustus angka kematian akibat COVID-19 terus menurun di bawah 1.000 kasus per hari.

Seiring tren kasus COVID-19 yang menurun, banyak masyarakat yang mulai berlibur. Hal tersebut terlihat dengan kondisi lalu lintas yang mengular di kawasan Puncak, Bogor, akhir pekan lalu.

Hal tersebut memunculkan opsi penerapan pembatasan mobil dan motor melalui skema ganjil-genap nomor kendaraan. Sebab kerumunan yang terjadi di sekitar lokasi wisata terjadi saat wilayah terkait masih diberlakukan PPKM level 3, yang mana tidak diperbolehkan adanya perkumpulan massa.

Mengutip Kompas, Kapolres Bogor AKBP Harun tidak menampik jika peningkatan volume kendaraan di wilayah selatan Kabupaten Bogor terjadi setelah ada penurunan status PPKM Kabupaten Bogor dari level 4 ke level 3. Berdasarkan data yang diolah, diperkirakan peningkatan volume atas kendaraan selama akhir pekan lalu di Jalur Puncak mencapai 30-40 persen dibandingkan ketika PPKM Level 4.

Ilustrasi (Unsplash/Mufid Majnun)

Jenuh tak terbendung

Sejak Maret 2020, memang pergerakan masyarakat sangat terbatas. Bukan hanya tidak bisa berlibur dengan bebas, bahkan masyarakat juga tidak bisa mencari nafkah. Rasa penat akibat sulit berkegiatan ditambah lagi stres yang melanda akibat pemasukan yang berkurang, tidak heran juga jika masyarakat sebisa mungkin menghibur dirinya. Di sisi lain, acara yang dilakukan lewat daring bisa saja tidak bisa berjalan lancar seperti ada kendala sinyal internet yang buruk dan lainnya.

VOI mewawancarai Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansyah untuk menilai apa yang sebetulnya tengah dirasakan masyarakat dewasa ini. Tantan berpendapat, sebenarnya tidak ada salahnya masyarakat liburan atau mencari hiburan. Justru sebenarnya dari sejak pandemi, pelarangan mendapatkan hiburan dan liburan itu pun kurang tepat.

"Bayangkan, masyarakat kelamaan di rumah itu juga bahaya. Secara mikro, kebosanan itu akan menurunkan imun seseorang. Bahkan tidak sedikit yang kemudian terpancing emosinya," ujar Tantan.

Tantan juga menjelaskan bahwa hiburan bagian dari pilar pembentuk peradaban manusia. Manusia dengan hiburan itu tidak mesti disebut sebagai hedonis.

"Apakah benar jika pergi ke tempat hiburan itu mempertaruhkan kesehatan? Terus apakah jika diam terus di rumah juga akan terjamin kesehatannya? Tidak juga. Karena walau di rumah manusia tetap berinteraksi dengan banyak orang di luar rumahnya," jelas Tantan.

Karena berlibur dan mendapatkan hiburan itu bagian dari treatment menaikkan imun dan kesehatan. Mungkin, yang diperhatikan saat ini adalah protokol kesehatan yang ketat. Misalnya dibuat aturan pembatasan pengunjung, cara berkunjung yang sehat, dan sebagainya.

Di sisi lain, aturan seperti ini juga bisa diterapkan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh pejabat. Jika memang tidak bisa membatalkan acara, mungkin acara tersebut bisa dibatasi pesertanya dan wajib mengenakan masker atau lebih baik lagi, diadakan secara daring. Masyarakat sudah jenuh dengan berbagai keadaan yang ada. Ada baiknya setiap pihak saling mengerti dan menghormati peraturan yang ada. 

*Baca informasi lain tentang PROTOKOL KESEHATAN atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya