<i>Learning Loss</i> dan Ancaman Lain yang Mengharuskan Anak Kembali ke Sekolah
Ilustrasi foto sekolah tatap muka (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) kembali membuka sekolah. Pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di masa PPKM Level 3 dimulai hari ini. Tentu kesehatan dan keselamatan adalah segalanya. Tapi tak tepat juga membiarkan negeri ini mengalami learning loss, yang akhirnya menyebabkan putusnya garis generasi terdidik.

Hari ini, 610 sekolah dari jenjang PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, MTs, MA, hingga MI di DKI Jakarta menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di masa PPKM Level 3. Rinciannya, 85 sekolah pernah menggelar ujicoba PTM sejak 7 April lalu, 138 sekolah pada 9 Juni lalu, dan tambahan 372 sekolah yang baru akan mengikuti PTM hari ini.

Jumlah 610 sekolah ini ditetapkan setelah mengikuti asesmen kesiapan pembukaan PTM terbatas di satuan pendidikan masing-masing. Satuan pendidikan yang mengikuti PTM terbatas harus melaksanakan prosedur sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Mendikbud Ristek Nomor 03/KB/2021, Menteri Agama Nomor 384 Tahun 2021, Menteri Kesehatan Nomor HK 01.08/Menkes/4242/2021, dan Mendagri Nomor 440-7171 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19.

Selain itu Pemprov DKI juga mengeluarkan SK Kepala Dinas Pendidikan DKI Nomor 882 Tahun 2021. Dalam SK tersebut, dijelaskan bahwa metode pelaksanaan pembelajaran melalui blended learning, yakni belajar di kelas dan belajar secara daring. Simak aturan lengkapnya lewat artikel AKTUAL berjudul Sekolah Jakarta Gelar Tatap Muka, Begini Aturan Lengkapnya.

Dalam PTM terbatas, satuan pendidikan membentuk tim Satgas COVID-19 dan melakukan koordinasi dengan puskesmas serta Satgas COVID-19 kelurahan untuk memastikan kesiapan PTM. Satpol PP kelurahan/kecamatan juga dilibatkan untuk memastikan siswa mematuhi penerapan protokol kesehatan sejak berangkat hingga pulang sekolah.

Dalam aturan, sekolah juga diwajibkan memiliki sarana sanitasi dan kebersihan, seperti toilet dan sarana cuci tangan. Sekolah wajib punya akses fasilitas layanan kesehatan yang terjangkau. Setiap warga sekolah diwajibkan mengenakan masker. Yang tak kalah penting, sekolah harus menyediakan alat pengukur suhu tembak.

Protokol kesehatan dalam PTM (Sumber: Antara)

Kemudian, sekolah memetakan setiap orang yang tidak boleh mengikuti PTM, siapa siswa yang memiliki komorbid, tak memiliki akses transportasi yang memungkinkan penerapan jaga jarak, memiliki riwayat perjalanan setiap zona (kuning, oranye, dan merah) atau riwayat kontak dengan orang terkonfirmasi positif yang belum selesai isolasi mandiri 14 hari.

Saat penerapan PTM, orang tua atau wali murid tak diizinkan menunggu di sekolah. Orang tua diminta selalu mengingatkan putra-putrinya untuk selalu menerapkan protokol kesehatan dan menginformasikan kepada sekolah jika anaknya pernah menderita sakit berat atau pernah dirawat di rumah sakit. PTM terbatas bisa dihentikan di sekolah jika ditemukan ada kasus positif COVID-19, pelanggaran ketentuan atau adanya perubahan situasi COVID-19.

Di Jawa Timur, ada 2.536 sekolah tingkat SMA/SMK hingga SLB yang memulai PTM terbatas hari ini. Gubernur Khofifah Indarparawansa yang memantau pelaksanaan PTM di SMK Negeri 7 Surabaya mengatakan pembukaan sekolah akan dilakukan bertahap. Khofifah juga merinci 2.536 sekolah itu berasal dari 20 kabupaten/kota, yang semuanya terkategori level 3 PPKM.

"Hari ini kan hari terakhir PPKM level 4 di seluruh Indonesia, dan akan dievaluasi sore nanti, jikalau ada evaluasi maka akan kami evaluasi kembali," kata Khofifah, Senin, 30 Agustus.

Seperti penjelasan Khofifah, kebijakan akan dinamis. Semua bergantung pada situasi pandemi di masing-masing zonasi. DKI Jakarta sendiri menargetkan membuka 1.500 sekolah pada pertengahan September. Seiring itu, strategi 3T (testing, tracing, treatment) dan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.

"Secara bertahap, kita akan menambah jumlah sekolah yang akan melaksanakan PTM terbatas, dimulai pertengahan September. Itu akan pendataan sehingga menjadi 1500 sekolah ... Itu bagian dari upaya kita secara bertahap agar sekolah di DKI bisa melaksanakan PTM terbatas secara keseluruhan," kata Taga saat ditemui di kawasan Jakarta Timur, Senin, 30 Agustus.

Apa yang salah dengan belajar daring dan kenapa harus tatap muka?

Kamis, 12 Agustus, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kemendikbud Ristek Jumeri memaparkan evaluasi kegiatan pendidikan sepanjang pandemi melanda dunia dan Indonesia. Menurutnya masalah kuota, akses internet, pemerataan kepemilikan gawai masih jadi kendala utama.

"Yang daring itu umumnya di daerah perkotaan. Maju juga banyak kendala, di antaranya tidak semua memiliki perangkat pembelajaran, tidak punya pulsa data, dan tak semua daerah akses internetnya bagus. Kemudian ada keterbatasan juga dari guru-guru kita," kata Jumeri.

Hal ini dikhawatirkan dapat memperparah situasi learning loss, yang akhirnya menyebabkan putusnya generasi terdidik di suatu peradaban. Ada kerugian jangka panjang dari learning loss. Generasi tak terdidik akan memiliki kompetensi rendah. Hal itu akan menyebabkan generasi tersebut tak dihargai. Dan itu berpengaruh bagi perekonomian dunia.

“Kerugian secara internasional akan bisa mencapai Rp10 triliun dolar. Ini jumlah yang luar biasa apabila learning loss tetap dipertahankan," tutur Jumeri.

Dan pada dasarnya PJJ memang tak bisa menggantikan PTM. Pengamat pendidikan, Doni Koesoema mengatakan kebijakan pendidikan di masa pandemi yang ideal adalah kebijakan yang realistis. Dan pengalaman belajar siswa harus jadi orientasi dalam pembentukan kebijakan. Maka, ketika PJJ tak mampu memenuhi pengalaman belajar siswa, PTM harus jadi opsi.

Pembelajaran tatap muka di sebuah sekolah di Jakarta (Sumber: Commons Wikimedia)

Doni melihat beberapa masalah tak terhindarkan dalam pelaksanaan PJJ selama ini. Masalah-masalah tersebut membuat banyak anak kehilangan pengalaman belajar. Banyak kendala teknis berupa ketersediaan gadget, akses internet, hingga persoalan sarana dan prasarana lain.

“Jadi dalam kondisi apapun pemerintah harus fokus pada memberikan hak belajar bagi peserta didik sesuai dengan kondisinya. Ini yang saya sebut kebijakan ideal itu adalah yang realistis,” tutur Doni, dihubungi VOI.

Lebih lanjut Doni menjelaskan aspek-aspek prinsipil dalam PTM yang tak mungkin bisa digantikan PJJ. Pertama, sapaan dan perhatian yang lebih personal. Kedua, kehilangan sentuhan terhadap kondisi nyata yang dialami pengajar maupun pelajar. Ketiga, kendala bagi guru memberi muatan pendidikan secara penuh pada siswa. Yang paling sederhana dalam hal tanya jawab, misalnya.

”Jadi itu yang kemudian hilang. Jadi hubungan personal dan perhatian sosial relasi guru dengan siswa dalam pembelajaran secara langsung. Padahal feedback langsung itu merupakan cara meningkatkan kualitas hasil belajar. Kalau PJJ itu feedback tidak bisa secara langsung,” tutur Doni.

Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menyebut posisi dan fungsi sekolah memang unik pada masa pandemi. Ada kesepakatan global yang mendorong prosedur standar agar sekolah jadi sektor yang paling pertama buka ketika situasi pandemi membaik dan yang terakhir tutup saat wabah memburuk. Kesepakatan itu kata Dicky didasari argumentasi saintifik.

Pandemi pada dasarnya memang tak boleh mematikan aspek kehidupan manusia. Upaya-upaya mengendalikan penularan harus dibarengi dengan pembentukan strategi bagaimana mengembalikan kehidupan ke taraf paling normal yang bisa dicapai. Dalam hal pendidikan, sama pentingnya melindungi siswa dengan memastikan terpenuhinya hak-hak pembelajaran mereka.

“Bahwa sekolah itu bukan hanya anak-anak belajar tapi ada dampak besar. Dampak besar buat si anak, dampak besar buat negeri ini. Satu bangsa. Ini bukan hanya masalah kesehatan saja. Ada juga masalah yang menyangkut keberadaan satu bangsa di generasi mendatang. Itulah sebabnya kenapa masalah memberlakukan pembukaan sekolah jadi satu prioritas yang sangat penting,” kata Dicky kepada VOI.

“Bahkan pada situasi wabah yang sangat terbatas seratus tahun lalu pun kondisi ini sudah terus diberlakukan bahwa anak-anak masih sekolah, bahkan di outdoor. Dan itu memang sesuai strategi pandemi di mayoritas negara bahwa saat ini sudah bisa mulai dilakukan pembukaan sekolah. Dengan cara tentu ada jaring pengamannya. Jadi kalau ada yang menganggap sekolah harus tutup, selain itu salah kaprah, itu tidak sesuai dengan argumentasi ilmiah” tambah Dicky.

Apa itu learning loss? Adakah hal negatif lain dari pembelajaran daring?

Tentu kesehatan dan keselamatan adalah segalanya. Tapi tak tepat juga membiarkan negeri ini mengalami learning loss, yang akhirnya menyebabkan putusnya garis generasi terdidik. Suka tak suka ancaman itu nyata.

Sebuah riset UNICEF pada 2020 lalu menggambarkan porak-porandanya situasi pendidikan di dunia. Learning loss jadi ancaman utama yang jadi fokus UNICEF. Pada awal April 2020 atau sebulan setelah COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi, 91 persen sekolah di dunia tutup.

Persentase itu kemudian menurun jadi 61 persen pada Juli 2020. Penurunan tersebut merupakan dampak dari banyaknya negara yang mulai mengadaptasi pembatasan-pembatasan lokal per wilayah ketimbang menutup seluruh negara.

Dalam situasi dinamis itu UNICEF langsung memberi seruan pada banyak negara untuk memprioritaskan pembukaan kembali sekolah ketika situasi aman. Otoritas diminta melek dan responsif.

Di Indonesia, riset Lentera Anak mengungkap anak yang paling rentan mengalami learning loss adalah mereka yang tak memiliki akses maksimal dalam pembelajaran daring. Anak-anak di desa dan pedalaman, misalnya.

Faktor lain adalah orang tua yang tingkat pendidikannya rendah. Mereka lebih sulit memahami gaya belajar jarak jauh dengan segala soal teknisnya. Riset juga mengungkap begitu banyak anak jenuh dengan pembelajaran daring.

Selain itu banyak orang tua yang mengaku kewalahan dengan keterbatasan untuk terus menerus mendampingi anak belajar. Padahal mereka juga memiliki tuntutan pekerjaan. Sementara, guru dituntut terus berinovasi. Sebuah kesulitan jika dibebankan personal pada pengajar.

Selain pembelajaran tak optimal yang mengarah learning loss, Lentera Anak juga menangkap persoalan lain pada anak selama mengikuti pembelajaran jarak jauh: kesehatan mental. Ini umumnya berkaitan dengan kondisi hubungan orang tua para anak yang memburuk.

Tak sedikit yang dipengaruhi masalah ekonomi, seperti berkurangnya pendapatan bahkan PHK.

Tak sedikit juga anak yang mengalami kekerasan akibat orang tua yang tak siap menghadapi kondisi keuangan sebagai dampak pandemi.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya