Penyintas Korupsi dan Penyuluh Antikorupsi : KPK dalam Upaya Menormalisasi Perilaku Korup
Gedung KPK (Sumber: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah tes wawasan kebangsaan (TWK) yang bermasalah dan diskon hukuman koruptor, KPK kembali memberi sinyal mengkhawatirkan perihal pemberantasan korupsi. Terbaru, KPK menyebut napi-napi korupsi dengan sebutan "penyintas." KPK juga berencana menjadikan mereka penyuluh antikorupsi. Lebih dari cacat logika. Ini adalah normalisasi perilaku korup yang mungkin saja masih bagian dari kejahatan terstruktur.

Sebutan "penyintas korupsi" diucap oleh Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana. Ketika itu, 31 Maret, Wawan bersama KPK melakukan penyuluhan antikorupsi bagi warga binaan asimilasi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

“Mereka yang menjadi 'penyintas' korupsi mungkin bisa lebih banyak cerita yang detail berdasarkan pengalaman mereka agar tidak dicontoh oleh yang lain, bercerita dampak yang diakibatkan sehingga bisa menggugah masyarakat atau penyelenggara negara untuk tidak korupsi,” kata Wawan saat itu.

Pernyataan Wawan ramai-ramai dikritik pegiat dan aktivis antikorupsi. Pegawai non-aktif KPK, Novel Baswedan, misalnya. Ia mengkritik keras sebutan penyintas korupsi dari mulut Wawan. Perilaku pimpinan KPK aneh dan keterlaluan, pandang Novel.

"Apakah tidak paham atau tidak peduli terhadap korupsi ketika menyebut koruptor sebagai penyintas (korban). Lalu pelakunya siapa? Negara?" kicau Novel di akun Twitternya, @nazaqistsha, Minggu, 22 Agustus.

Selain menyebut para eks napi koruptor sebagai penyintas, KPK juga berencana merekrut mereka untuk memperkuat program pencegahan. Para eks napi koruptor itu nantinya akan dijadikan penyuluh antikorupsi. Pernyataan dari Wawan yang sama.

(Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana /Sumber: pps.unnes.ac.id)

Ia menjelaskan, eks napi koruptor yang dipilih nantinya adalah mereka yang berkelakuan baik dan hampir menyelesaikan masa tahanannya di lembaga pemasyarakatan (lapas). Nantinya para eks napi korupsi itu akan jadi agen antikorupsi yang melaksanakan sosialisasi tentang korupsi dan mengajari masyarakat tentang bagaimana dampak korupsi.

"Jadi perlu dijelaskan juga itu yang pertama kegiatannya adalah sosialisasi, sosialisasi kepada mereka narapidana yang selektif sebetulnya yang ada dua tahun lagi akan keluar, ada beberapa bulan lagi akan keluar gitu ya, memang sudah menjalani hukumannya itu tinggal sebentar lagi lah," kata Wawan dalam acara yang ditayangkan YouTube KPK RI, Jumat, 20 Agustus.

"Ujung-ujungnya sebetulnya adalah kami berharap kepada mereka untuk bisa minimal memberikan testimoni yang akan kami jadikan pelajaran bagi penyelenggara negara atau masyarakat bahwa 'begini loh kalau orang sudah melakukan korupsi, menjalani kehidupan di penjara, dan lain-lain,'" jelas Wawan.

Plt Juru Bicara KPK bidang Pencegahan Ipi Maryati meluruskan pernyataan Wawan yang panen kritik. Menurutnya, para eks napi korupsi bukan dijadikan penyuluh melainkan hanya akan diberi ruang untuk menyampaikan testimoni tentang pengalamannya menjadi koruptor. Tujuannya, sama, memberi pelajaran kepada masyarakat agar menjauhi korupsi.

"Mereka tidak serta merta menjadi penyuluh antikorupsi melainkan para narapidana ini akan diminta memberikan testimoni tentang pengalamannya selama menjalani proses hukum, baik dampaknya pada diri sendiri, keluarga, maupun dalam kehidupan sosialnya," kata Ipi kepada wartawan, dikutip Senin, 23 Agustus.

Awas! Kejahatan terstruktur

Ilustrasi foto Gedung KPK (Sumber: Antara)

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan mengajak semua orang fokus dengan dua persoalan ini: penyintas korupsi dan penyuluh antikorupsi. Ini masalah serius. Yang dilakukan KPK bisa jadi adalah upaya untuk menormalisasi perilaku korup.

Dan kemungkinan bahwa ini bagian dari kejahatan terstruktur amat terbuka. Penyintas korupsi dan penyuluh antikorupsi ini seperti sedang berhadapan dengan ikhtiar-ikhtiar dan investasi pendidikan antikorupsi yang telah berjalan cukup panjang di tingkat masyarakat.

"Masyarakat akan menyaksikan, apa yang mereka dapatkan dari pendidikan antikorupsi tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Lantas ngapain juga mereka jadi harus antikorupsi? Nah ketika sudah sampai tingkat pembenaran atas semua perilaku dan perbuatan, ya kita makin sulit keluar dari kubangan korupsi," tutur Adnan kepada VOI, Selasa, 24 Agustus.

Ekosistem antikorupsi di Indonesia belum matang. Dan KPK mengganggu laju pembentukan ekosistem itu. Dan lagi-lagi, ini berbahaya. Seperti kata Adnan, korupsi adalah pembusukan. Dalam jangka panjang, negara dapat mengalami masalah perpecahan. Begitulah dampak korupsi. Ia begitu masif. Bukan tanpa alasan kan korupsi dikategorikan kejahatan luar biasa?

"Masalahnya, korupsi dalam banyak studi menjadi salah satu faktor dari negara gagal. Negara gagal itu bentuknya macam-macam, termasuk negara terpecah belah enggak karuan karena tidak ada lagi kohesi sosial, mengingat satu sama lain sudah tidak saling percaya."

"Kita terjebak pada prisoner dilemma. Salah satu pemicu dari kenapa daerah menuntut kemerdekaan kan karena masalah kesejahteraan yang timpang. Dan ini dikontribusikan oleh korupsi yang mewabah."

Bahaya normalisasi korupsi

Koruptor dana bansos COVID-19 Juliari Batubara (Sumber: Dokumentasi Kementerian Sosial)

Bayangkan, suatu saat nanti kita kembali melihat koruptor-koruptor macam Juliari Batubara dibebaskan dari hukuman yang seharusnya. Dan parahnya, tak ada perasaan mengganjal di dada kita. Seakan-akan apa yang dilakukan Juliari dan rekan-rekan koruptornya itu hal biasa.

Sebuah studi berjudul Normalisasi Korupsi: Tinjauan Psikologi, yang ditulis M. Untung Manara dari Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang menelaah teori-teori psikologi terkait sikap dan perilaku kelompok dalam melihat korupsi.

Studi ini menemukan alur proses normalisasi korupsi pada suatu kelompok organisasi.Proses itu dimulai dengan disonansi kognitif, dilanjutkan rasionalisasi, moral disengagement, hingga akhirnya menormalisasi atau dalam kondisi divergent norm.

Pada dasarnya, kita secara umum melihat korupsi sebagai patologi sosial atau tindakan individu atau kelompok yang menyimpang dari norma sosial. Individu yang dibesarkan dengan norma-norma sosial yang berlaku umum akan secara otomatis melihat korupsi sebagai hal negatif.

Tapi itu bisa berubah dengan intervensi sosial, budaya, bahkan hukum yang 'diakali.' Ketidaksesuaian antara norma dan perilaku akan memunculkan gejala disonansi kognitif, gejala pertama yang dialami seseorang dalam tahap normalisasi perilaku korupsi itu sendiri.

"Seorang koruptor ketika pertama kali melakukan tindakan ini tentunya akan mengalami gejala ini.

Disonansi kognitif merupakan suatu keadaan yang memunculkan ketidaknyamanan. Kalau keadaan ini terus berlarut-larut akan menyebabkan gejala-gejala klinis, seperti stres hingga depresi," tertulis dalam studi tersebut.

"Namun individu yang digerakkan oleh motif homeostasis selalu mencari cara dalam rangka mengembalikan ketidaknyamanan yang dialami ke keadaan yang stabil dan nyaman." Setidaknya ada dua cara yang bisa dilakukan individu untuk menghilangkan ketidaknyamanan itu.

Tersangka kasus suap red notice Joko Tjandra (Sumber: Antara)

Pertama, mengubah pandangan negatif terhadap korupsi agar sesuai dengan perilaku korup atau sebaliknya, mengubah perilaku korupsi agar sesuai dengan pandangan bahwa korupsi adalah hal negatif. "Sayangnya yang sering terjadi pada kebanyakan pelaku korupsi adalah cara pertama."

Ketika seorang pelaku korupsi memilih pilihan pertama di atas, maka ia telah memasuki fase kedua normalisasi korupsi, yakni rasionalisasi. Rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan diri manusia ketika mengalami tekanan psikis. Ia merasionalisasi tindakannya agar dapat diterima. Ia juga akan menganggap bahwa yang dilakukannya adalah tindakan benar.

Tahap ketiga, moral disengagement. Pada tahap ini individu yang melakukan korupsi sudah tidak lagi merasa bersalah. Tahap berikutnya terjadi pada tingkat organisasi atau kelompok, yaitu normalisasi atau divergent norm.

Pada tataran kelompok, individu-individu dalam organisasi saling 'menguatkan' tindakan korup yang mereka lakukan. Sikap itu akan membentuk norma baru di mana individu-individu dalam kelompok akan mengubah cara pandangnya terhadap korupsi. Dari negatif menjadi normal.

"Ini (KPK) bukan hanya menormalisasi korupsi tapi memuliakan koruptor," tutur Koordinator ICW, Adnan Topan kepada VOI, Selasa, 24 Agustus.

*Baca informasi lain soal KORUPSI atau tulisan menarik lain dari Wardhany Tsa Tsia dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya