Bagikan:

JAKARTA - Selebritas, Deddy Corbuzier mengalami badai sitokin usai dinyatakan negatif COVID-19. Deddy menyebut situasi medis itu membuatnya hampir tewas. Deddy juga mengatakan kondisi paru-parunya telah rusak hingga 60 persen. Apa yang terjadi pada orang yang mengalami kerusakan paru-paru separah itu? Dan seperti apa bahaya badai sitokin yang dialami Deddy?

Suhu badan Deddy sempat menyentuh 41 derajat celcius. Vertigonya kambuh. Dua pekan sebelum alami badai sitokin, Deddy sempat positif COVID-19. Tiga hari menjalani isolasi mandiri, Deddy dinyatakan negatif. "Di minggu kedua setelah saya kena dan enggak lama negatif, demam saya tiba-tiba naik sampai hampir 40 derajat," Deddy bercerita di kanal YouTubenya.

Deddy kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Pihak RSPAD sempat memintanya tinggal dan menjalani perawatan di rumah sakit (RS). Namun kemudian karena hasil pemeriksaan kadar oksigen Deddy menunjukkan angka 99 persen, maka dokter mengizinkannya menjalani rawat jalan. Ketika rawat jalan itulah kondisi Deddy kembali drop.

"Kemudian CT thorax ke RSPAD. Lalu saya diminta stay di RS. Tapi kadar oksigen saya masih 99 persen, kata dokter kalau mau stay di rumah enggak apa apa ... Pada saat saya pertama kena saya makan obat beberapa. Jadi saya sudah mengikuti aturan yang dijalankan," tambah Deddy.

Deddy kembali ke RS. Kali ini RS Medistra. Di sana dokter menyatakan Deddy mengalami badai sitokin. Kondisi itu sempat membuatnya kritis. "Ketika cek CT thorax 60 ketika di RSPAD masih 30 naik ke 60 dan keadaannya masuk dalam kondisi badai sitokin." Deddy, yang percaya diri karena merasa sudah menjaga kesehatan menyatakan segala kondisi itu tak pernah ia duga.

Apa yang terjadi pada orang yang paru-parunya rusak hingga 60 persen?

Prinsipnya, ketika seseorang mengalami kerusakan paru-paru, maka fungsi paru-paru dalam mengambil oksigen akan menurun. Makin parah kerusakan, makin payah juga kerja paru-paru. Orang dengan kerusakan paru-paru akan mengalami napas lebih pendek dan mudah sesak.

Selain itu ada beberapa efek yang akan tampak dan dirasakan, di antaranya batuk kering dan mudah lelah, termasuk saat berolahraga dan kegiatan harian. Lainnya adalah clubbing finger hingga penurunan berat badan sebagai efek samping kekurangan oksigen dalam jangka panjang. 

"Saat berolahraga akan terasa napasnya lebih pendek dan mudah sesak sehingga akan mengalami perubahan dalam melakukan aktivitas kesehariannya," ungkap dokter umum, Nadya Hambali kepada VOI, Senin, 23 Agustus.

Dan kerusakan paru-paru sebagaimana dialami Deddy bersifat non-reversible, yang artinya tak dapat diperbaiki kembali ke kondisi normal. Orang dengan kerusakan paru-paru ini pada umumnya harus mengonsumsi obat dan terapi rehabilitasi untuk meningkatkan kualitas hidup.

Deddy Corbuzier berolahraga bersama sang anak, Azka (Instagram/@mastercorbuzier)

Nadya mengatakan kerusakan paru-paru seperti dialami Deddy adalah masalah kesehatan serius. Kondisinya bisa makin buruk "jika pasien setelah sembuh tidak menjaga kesehatannya lagi. Misalnya terinfeksi paru lagi. Merokok," tutur Nadya menjelaskan.

Atau pencemaran udara yang makin pekat. Kondisi lingkungan semacam ini dapat memperparah kondisi pasien dengan kerusakan paru-paru. "Tapi bisa diatasi dengan menggunakan masker, kecuali paparannya terus-terusanan dan berat, ya."

Risiko terburuk dari kerusakan paru-paru ini adalah kegagalan bernapas atau ARDS. "Kalau kerusakannya luas bisa menyebabkan gagal napas atau acute repsifaroty distress syndrome (ARDS).

Apa itu badai sitokin dan mengapa mematikan?

Sitokin adalah protein sistem kekebalan tubuh tingkat tinggi. Sitokin ditemukan para peneliti di dalam darah para pasien COVID-19 dengan gejala paling gawat. Kematian akibat COVID-19 mungkin banyak terjadi karena reaksi kekebalan tubuh yang kacau ketimbang akibat infeksi virus itu sendiri.

Ketika respons kekebalan tubuh meningkat tak terkendali, mereka akan mulai menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri daripada melawan virus yang merupakan musuh sebenarnya. Badai sitokin bukan persoalan kesehatan baru. Ia diketahui terjadi pada penyakit autoimun, seperti artritis remaja. Badai sitokin juga terjadi dalam beberapa pengobatan kanker.

"Sitokin dibagi menjadi dua, yaitu sitokin yang pro-inflamasi (meningkatkan) dan anti-inflamasi (menurunkan) peradangan untuk menjaga keseimbangan respons imun. Badai sitokin terjadi ketika pelepasan sitokin pro-inflamasi yang berlebihan," tutur dokter umum, Nadya Hambali kepada VOI, Senin, 23 Agustus.

"Sehingga respons imun yang harusnya menyerang virusnya saja, malah menyerang sel dan jaringan tubuh yang sehat. Jika dibiarkan, akan terjadi kerusakan organ yg luas dan berat menjadi multi-organ failure yang menyebabkan kematian."

Beberapa bulan lalu, kita ingat selebritas, Raditya Oloan Panggabean mengembuskan napas terakhir pada Kamis, 6 Mei. Ia sempat berjuang melawan COVID-19, bahkan dari dalam ruang ICU RSUP Persahabatan.

Pada 14 April, Raditya terkonfirmasi positif COVID-19. Joanna sempat mengunggah fotonya bersama Raditya ketika menjalani perawatan di RSDC Wisma Atlet. Tiga hari kemudian, Raditya dirujuk ke RSUP Persahabatan.

Raditya sendiri diketahui mengalami post-COVID dengan komorbid asma. Kabar Raditya makin memburuk dan terserang badai sitokin, hingga akhirnya meninggal dunia.

Kaitan badai sitokin dan COVID-19

Ilustrasi foto seorang pasien COVID-19 (Mufid Majnun/Unsplash)

Dalam sebuah studi terhadap pasien meninggal virus influenza H1N1, ditemukan 81 persen ciri-ciri badai sitokin. Lusinan penelitian lain dilakukan untuk mencari cara menyelamatkan pasien dari badai sitokin. Mukesh Kumar, ahli virologi dan imunologi Georgia State University, Atlanta, Amerika Serikat (AS) memelajari bagaimana tubuh merespons infeksi.

Mukesh, di laboratorium berkeamanan tinggi telah bereksperimen. Ia menginfeksi sel dan hewan dengan SARS-CoV-2 untuk mempelajari apa yang terjadi. Satu hal yang dia amati adalah bahwa virus menggandakan diri dengan sangat cepat setelah menginfeksi sel.

“Ada banyak tekanan pada sel dalam waktu singkat ... Ketika setiap sel merasakan bahwa ada sesuatu yang asing, bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi, respons langsung dari sel adalah membunuh dirinya sendiri. Ini adalah mekanisme perlindungan sehingga tidak menyebar ke sel lain,” Mukesh Kumar, dikutip WebMD, Jumat, 7 Mei.

Jenis sitokin tertentu memicu kematian sel. Banyak jaringan bisa mati ketika seseorang mengalami terlalu banyak kematian sel. Pada COVID-19, jaringan itu sebagian besar berada di paru-paru. Saat jaringan rusak, dinding kantung udara kecil paru-paru akan bocor dan terisi cairan.

Kondisi inilah yang menyebabkan pneumonia dan memicu kekurangan oksigen dalam darah. Kerusakan paru-paru dalam tingkat yang parah akan menyebabkan sindrom gangguan pernapasan. Dari sana, organ-organ lain akan mulai gagal berfungsi.

“Pada dasarnya, sebagian besar sel Anda akan mati karena badai sitokin. Itu menggerogoti paru-paru. Mereka tidak bisa pulih ... Tampaknya berperan dalam kematian dalam banyak kasus,” Mukesh Kumar.

Dalam penelitiannya, Kumar juga menemukan bagaimana virus SARS-CoV-2 memicu lebih banyak produksi sitokin hingga lima puluh kali lipat. Tingkat produksi ini jauh lebih tinggi dari bagaimana tubuh bereaksi terhadap infeksi virus zika atau west nile.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya