Bagikan:

JAKARTA - Bom di Bandara Kabul, Afghanistan yang diklaim sebagai ulah ISIS Khorasan (ISIS K) menjadi tanda rivalitas Taliban-ISIS. Kedua organisasi ini memang berhaluan sama yakni ultra-konservatif. Namun pertanyaannya mengapa mereka kerap bertempur satu sama lain?

Kelompok ISIS K mengaku bertanggung jawab atas ledakan bom bunuh diri di luar Bandara Kabul yang menewaskan sedikitnya 60 orang termasuk belasan tentara AS pada Kamis 26 Agustus. Serangan ini diyakini sebagai peristiwa yang paling banyak menewaskan tentara AS di Afghanistan dalam satu insiden sejak 30 personel AS tewas di sebuah helikopter saat ditembak jatuh pada Agustus 2011.

Taliban sontak mengutuk keras kejadian ini. "The Islamic Emirate mengutuk keras pemboman warga sipil di bandara Kabul, yang terjadi di daerah di mana keamanan berada di tangan pasukan AS," tulis juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, di akun Twitter-nya seperti dikutip pada Jumat, 27 Agustus.

Seperti diketahui ISIS K atau Negara Islam Provinsi Khorasan merupakan kelompok yang berafilisasi dengan ISIS di Afghanistan dan Pakistan. Kelompok ini berdiri pada 2015, masa-masanya puncak kekuasaan ISIS di Irak dan Suriah. Sementara hubungan ISIS dan Taliban di Afghanistan memang penuh dinamika. Meski memiliki kesamaan ideologi, tapi corak pergerakan dan tujuan mereka berbeda. Tak ayal bila, kedua organisasi ultra-konservatif ini kerap bentrok.

Pada akhir 2017 misalnya, mereka juga kerap berseteru. Seperti dikutip VOA, saat itu ada lebih dari 200 keluarga meninggalkan rumah mereka di distrik Khogyani, Nangarhar timur, saat kedua pihak saling bertempur.

Ahmad Ali Hazrat, ketua dewan provinsi Nangarhar kala itu menjelaskan bentrokan terjadi di daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh Taliban. Beberapa penduduk desa yang menganggap ISIS sebagai kekuatan luar, mendukung gerilyawan Taliban berperang.

Ini bukan pertama kalinya warga Afghanistan mengungsi akibat bentrokan kedua kelompok tersebut. Menurut pemerintah provinsi Nangarhar lebih dari 2.000 keluarga mengungsi dan sekurangnya delapan warga sipil tewas pada Oktober 2017 ketika ISIS dan Taliban bentrok selama beberapa hari di wilayah Waziro Tangi.

Kelompok militan ISIS juga mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah serangan mematikan di kota-kota besar Afghanistan. Menurut Jenderal John Nicholson, komandan pasukan Amerika dan NATO di Afghanistan, kelompok ISIS dilaporkan merencanakan membentuk "khilafah" di Afghanistan.

Mantan milisi Taliban (Sumber: Wikimedia Commons)

Taliban-ISIS

Menurut Aly Ashghor dalam jurnalnya yang bertajuk "Taliban di Afghanistan: Tinjauan Ideologi, Gerakan dan Aliansinya dengan ISIS" menjelaskan, Taliban dan ISIS memang memiliki pandangan ideologi yang sama, sehingga ISIS mencoba membangun teritorial baru di Afghanistan sebagai basis kekuatan pasca-hancurnya ISIS di Suriah. Sementara di bumi Afghanistan sendiri, globalisasi doktrin jihad berbasis kekerasan dan teror di akhir abad ke-20 tumbuh dan berkembang di bawah perlindungan Taliban.

Salah satu faktor penting bagi proses akselerasi konsolidasi politik gerakan Taliban di Afghanistan adalah adanya perselisihan antar faksi mujahidin pasca-penarikan Uni Soviet sehingga transisi rezim komunis ke rezim mujadihidin tidak berjalan mulus. Pasalnya, beberapa faksi mujahidin Afghanistan tidak berhasil menemukan titik temu dalam merumuskan platform bersama membangun Afghanistan pasca penarikan Soviet.

Akibatnya, sejak 1988 pasca-Perjanjian Jenewa yang mengakhiri perang mujahidin Afghanistan dan Soviet, Mohammad Najibullah, pemimpin rezim mujahidin masih menjabat sebagai Presiden dengan sedikit bantuan Soviet. Pada periode transisi kekuasaan pasca-penarikan Uni Soviet dari Afghanistan yang melahirkan ketidakpastian masa depan pembangunan Afghanistan melahirkan kekuatan baru berbasis di Provinsi Kandahar yang dikenal dengan nama Taliban yang dipimpin oleh Mullah Umar.

Sejak Afghanistan berada di bawah kendali rezim Taliban pada tahun 1996, Mullah Umar sebagai pimpinan Taliban menjanjikan doktrin Islam di tengah-tengah masyarakat yang lebih ketat dan puritan. Ditengah ketidakpastian masa depan Afghanistan pada periode transisi pemerintahan yang berdarah-darah setelah berakhirnya perang Soviet, rezim Taliban membangun sistem pemerintahan berbasis Islam secara tradisional dan puritan yang berpaham Sunni Deobandi yang memiliki garis geneologi sekte Wahabi.

Sejak saat itu, Taliban telah mempromosikan agenda penerapan hukum syariat Islam secara ketat yang tidak mengenal kompromi terhadap perubahan zaman. Atas dasar itu, gerakan Taliban membentuk identitas bangsa Afghanistan melalui revolusi secara politik, sosial, dan budaya berbasis Islam konservatif.

Revolusi ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemuda atau pelajar Madrasah di wilayah perbatasan Afghanistan-Pakistan yang mewarisi tradisi pemikiran ideologi sekte Wahabi melalui sekte Sunni Deobandi. Oleh karena itu, tidak heran Afghanistan menjadi bumi tempat para mujahidin berlindung dari berbagai negara

Bahkan, atas dasar kesamaan ideologi dan pemikiran keagamaan, Taliban menjadi pelindung bagi Osama bin Laden. Termasuk deklarasi dan perencanaan aksi teror al-Qaeda diselengarakan dan direncanakan di Afghanistan. Hubungan kedekatan antara Taliban dan al-Qaeda berlangsung sejak tahun 1998 sampai 2001.

Memanfaatkan keadaan

Pada 2019 ISIS kehilangan hampir 99 persen wilayah di Suriah-Irak akibat digempur pasukan koalisi AS. Namun demikian, kehilangan kontrol teritorial pada banyak daerah di Suriah dan Irak tidak menjadi akhir dari perjuangan ISIS. Para simpatisan dan pendukung ISIS masih berusaha untuk memperjuangkan dan mempertahankan Ke-Khalifahan Islam atau Daulah Islam dengan membangun teritorial baru di luar Irak-Suriah.

Salah satu wilayah yang saat ini menjadi arena teritorial baru perjuangan bagi para pendukung dan simpatisan ideologi ISIS adalah cabang ISIS Khurasan, Afghanistan, yang sudah ada sejak tahun 2015. Kelompok ISIS di Khurasan, Afghanistan, sejak tahun 2019 mulai membangun aliansi baru dengan Taliban dengan tujuan menjadikan Afghanistan sebagai poros utama wilayah kekuasaan dan kekuatan ISIS.

Pejuang ISIS (Sumber: Wikimedia Commons)

Upaya ini menemukan momentumnya ketika pasukan koalisi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Amerika Serikat berangsur-angsur mulai ditarik dari bumi Afghanistan di masa Presiden AS, Joe Biden. Penarikan pasukan ini sebagai tindak lanjut dari perjanjian damai antara Taliban dan AS yang ditandatangani di Qatar pada 29 Februari 2020.

Namun demikian, dalam perkembangan, tidak semua tokoh elit di lingkaran Taliban menyetujui perjanjian damai Taliban-AS yang disepakati di Qatar. Situasi terpecahnya angota Taliban dalam menyikapi perjanjian damai dimanfatkan oleh ISIS untuk merekrut anggota Taliban yang tidak puas dengan perjanjian damai dengan Amerika Serikat.

Hal ini dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Strategis Afghanistan, yang mengatakan bahwa lima dari 20 persen milisi Taliban kemungkinan akan bergabung dengan ISIS. Bahkan, para pejabat AS dan pakar militer memperkirakan anggota ISIS ditaksir sebanyak 2.500 di Afghanistan, tetapi jumlah itu dapat meningkat jika milisi Pakistan bergabung dengan mereka.

Rivalitas 

Terlepas dari adanya perselisihan yang ada di tubuh Taliban, yang perlu diketahui adalah organisasi ini seperti disebut Dosen Hubungan Internasional Universtias Indonesia, Ali Wibisono, merupakan sebuah entitas politik. Sehingga kalaupun Taliban hari ini memerangi ISIS, bukan tidak mungkin dalam suatu waktu mereka bisa berdamai.

"Taliban ini entitas politik. Artinya dia ini bersiasat setiap saat, kapan waktunya perang, kapan waktunya mundur dan bersembunyi. Mereka emang lihainya di situ," kata Ali kepada VOI.

Jadi misalnya waktu 2014 Taliban sempat menyatakan menyudahi perang dengan ISIS, itu semata-mata karena masih ada kekuatan AS. "Karena dua-duanya itu memerangi AS. Musuhnya musuh saya itu adalah teman."

Itu artinya ketika ISIS memerangi AS, maka Taliban tak akan memerangi mereka. Berbeda dengan sekarang ketika AS sudah hengkang dari Afghanistan. "Nah sekarang AS udah hengkang, mereka berperang."

Ali menjelaskan, meski sama-sama ingin menegakkan syariat Islam, tapi corak dan tujuan antara Taliban dan ISIS-K berbeda. Taliban itu adalah organisasi kelompok berbasis etnis yakni etnis Pashtun. Sementara ISIS-K adalah kelompok ekstrim Sunni yang tujuannya membentuk kekhalifahan antar negara.

"Mereka (Taliban) tak menganggap diri sebagai bagian dari kekhalifahan global. Kalau kekhalifahan itu kan lintas batas negara, jadi tak mengenal batas negara. Taliban hanya mau memiliki cakupan Afghanistan saja," jelas Ali.

Senada dengan Ali, Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya juga mengatakan kepada VOI tujuan Taliban dan ISIS-K memang berseberangan. ISIS-K bahkan tak mengakui keberhasilan Taliban saat ini.

Dalam situasi Afghanistan yang masih labil seperti sekarang, kata Harits, menjadi celah kelemahan yang dimanfaatkan kelompok ISIS-Khurosan untuk melakukan aksi unjuk diri. Untuk itu, Taliban mengemban tugas besar untuk membawa Afghanistan terutama aspek keamanan dan ketentraman menuju kondisi yang kondusif.

"Ini menjadi celah kelemahan yang dimanfaatkan oleh kelompok ISIS-Khurosan untuk melakukan aksi sebagai sebagai sinyal eksistensi mereka patut diperhitungkan. Sewajarnya kondisi negara atau pemerintahan dalam fase transisi dan konsolidasi, bagi Taliban menjadi tugas besar untuk segara mambawa kondisi Afghanistan terutama aspek keamanan dan ketentraman menuju kondisi yang establis dan kondusif," kata Harits.

*Baca informasi lain tentang TALIBAN atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya