JAKARTA - Sejumlah mantan personel pasukan khusus dan intelijen Afghanistan dilaporkan bergabung dengan Daesh-K atau ISIS-K (ISIS Khorasan), yang disebut tengah berusaha untuk menguasai Afghanistan hingga Asia Tengah, Wall Street Journal (WSJ) melaporkan, mengutip para pemimpin Taliban, mantan pejabat keamanan Afghanistan dan orang-orang yang mengenal para pembelot.
Mantan personel pasukan keamanan dikatakan bergabung dengan teroris karena berbagai alasan, termasuk kurangnya pendapatan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka, setelah runtuhnya pemerintah Kabul, ketakutan akan diburu oleh Taliban, atau dalam pencarian yang didorong oleh ideologi untuk melawan kontrol gerakan Islam konservatif di Afghanistan.
"Jika ada perlawanan, mereka akan menyatukan perlawanan. Untuk saat ini, (Daesh-K) adalah satu-satunya kelompok bersenjata lainnya," Rahmatullah Nabil, mantan kepala Direktorat Keamanan Nasional Afghanistan, mengatakan kepada WSJ, seperti mengutip Sputnik News 1 November.
Dikatakannya, bagi kebanyakan orang, bergabung dengan ISIS menjadi sangat menarik, setelah mereka ditinggalkan oleh Amerika Serikat.
Sumber surat kabar itu memperingatkan, pasukan khusus dan mata-mata yang dilatih AS dapat memberi Daesh-K 'keahlian penting' dalam pengumpulan intelijen dan kemampuan berperang, sehingga memperkuat operasinya melawan Taliban.
Laporan tersebut memperingatkan, ratusan ribu tentara Tentara Nasional Afghanistan, anggota dinas intelijen, polisi dan pasukan unit pasukan khusus belum dibayar selama berbulan-bulan, dan bisa menjadi sasaran untuk perekrutan oleh teroris.
Menurut seorang mantan pejabat Afghanistan yang tidak disebutkan namanya, salah satu mantan rekannya, seorang mantan perwira Tentara Nasional Afghanistan yang bergabung dengan ISIS-K, tewas bulan lalu dalam baku tembak dengan unit-unit Taliban.
Pejabat yang tidak disebutkan namanya itu mengatakan, 'beberapa pria lain' yang dia kenal, semuanya mantan anggota militer dan pasukan intelijen, juga bergabung dengan Daesh-K setelah Taliban menggeledah rumah mereka dan menuntut agar mereka muncul di hadapan otoritas baru.
Di antara para pembelot adalah anggota pasukan khusus, yang dibawa keluar masuk hotspot di sebagian besar konflik untuk memerangi gerilyawan Taliban karena formasi tentara reguler terbukti tidak efektif. Banyak dari pasukan ini memiliki pelatihan dari US Navy SEAL dan Green Baret.
Taliban telah lama menuduh AS memberikan dukungan untuk Taliban, dan menuduh Daesh-K adalah ciptaan badan intelijen Afghanistan dan sekutu AS mereka. Washington dan Kabul dengan keras membantah tuduhan ini.
Ahmad Yasir, seorang pejabat senior di kantor politik Taliban di Qatar mengatakan kepada media AS bulan lalu, "tidak ada keraguan tangan jahat" AS berada "di balik serangan ISIS" yang mengguncang sebuah masjid Syiah di Kunduz pada 8 Oktober, di mana setidaknya 55 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.
Daesh-K juga mengaku bertanggung jawab atas serangan bandara Kabul 26 Agustus, di mana lebih dari 180 orang, termasuk 13 tentara AS, tewas. AS menanggapi dengan serangan udara terhadap apa yang awalnya diklaim Pentagon sebagai target teroris 'bernilai tinggi'. Militer kemudian mengakui bahwa sepuluh warga sipil, termasuk tujuh anak-anak dan pekerja bantuan, tewas dalam serangan itu.
Bulan lalu, juru bicara media sosial Taliban Qari Saeed Khosty mengatakan kepada Newsweek, kelompok itu tidak akan bekerja sama dengan AS melawan Daesh, karena AS telah "membantu" kelompok teroris itu berkembang.
"Imarah Islam tidak perlu bekerja sama dengan siapa pun untuk melawan ISIS, karena ISIS tidak memiliki akar populer di Afghanistan," ujar Khosty.
"Seperti yang Anda lihat, dengan bantuan Amerika dan bantuan pemerintah Kabul, ISIS kembali dan tumbuh," tambahnya.
BACA JUGA:
Pasukan Keamanan Afghanistan yang berkekuatan 300.000 tentara hancur pada pertengahan Agustus, setelah Taliban memasuki Kabul, hampir tanpa melepaskan tembakan, ketika anggota pemerintah, termasuk mantan Presiden Ashraf Ghani, melarikan diri dari negara itu.
Untuk diketahui, Amerika Serikat disebut menghabiskan 88 miliar miliar dolar AS untuk mempersenjatai dan melatih militer Afghanistan selama dua puluh tahun terakhir.